Kupang, Vox NTT – Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Manggarai Timur (DPRD Matim) mendatangi Kantor Badan Pengelola Perbatasan (BPP) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (17/07/2019).
Ke-dua anggota DPRD Matim itu yakni, Herman YWD Tojong dari Partai Bulan Bintang (PBB) dan Blasius Jawa dari Partai Gerindra.
Keduanya diterima langsung oleh Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pengelola Perbatasan (BPP) Provinsi NTT, Linus Lusi.
Herman YWD Tojong saat diwawancarai VoxNtt.com mengaku, keduanya datang untuk meminta klarifikasi terkait kasus perbatasan Matim-Ngada.
“Dan operasionalnya sudah dilakukan oleh Gubernur NTT pada tanggal 14 Mei yang lalu dan tindaklanjut seremonial pada tanggal 17 Juni yang lalu,” kata Herman yang juga putra asli dari wilayah perbatasan Matim-Ngada itu.
Hingga saat ini kata dia, mayoritas masyarakat di wilayah perbatasan itu menolak keputusan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat pada 14 Mei 2019 lalu.
Terutama kata dia, masyarakat Matim yang masih bertahan untuk tidak memberikan sejengkal tanahnya ke wilayah Ngada atas keputusan tahun 1973 dan Undang-undang Nomor 36 tahun 2007 tentang pembentukan tapal batas Kabupaten Manggarai Timur.
“Situasi sosial masyarakat di sana menolak. Karena itu kita datang untuk meminta tanggapan dan penjelasan dari Pemerintah Provinsi NTT,” katanya.
Herman mengatakan, persoalan krusial yang terjadi di wilayah perbatasan itu terutama pergeseran tapal batas yang merujuk pada tahun 1973 ke wilayah Manggarai Timur di-17 titik.
“Luasnya kita tidak bisa prediksi karena sistem kalibrasi zum satelit itu tidak berdasarkan fakta lapangan tetapi hanya diambil bagian selatan dan utara, sedangkan di bagian tengah sistem zoom satelit dari data yang kita peroleh,” jelas Herman.
Kementerian Dalam Negeri, kata dia, belum memberikan sosialisasi di mana persisnya zoom satelit itu pada fakta lapangannya.
“Di situ menimbulkan kebingungan masyarakat,” tegasnya.
Upaya Pemerintah Provinsi NTT untuk menyelesaikan tapal batas Matim-Ngada itu jelas Herman, menimbulkan gejolak di tengah masyarakat hingga saat ini.
“Kami datang ini karena tanggal 14 Mei 2019 itu,” tutur Herman.
Ia berharap pembangunan masyarakat tidak serta merta akan menimbulkan korban bagi orang-orang tertentu.
“Jadi, kita inginkan semua mendapatkan pembangunan yang baik tidak ada korban, tidak ada gejolak. Apalagi penyelesaian tapal batas ini, dua masyarakat dari Matim dan Ngada tidak boleh ada gejolak yang menyebabkan pertumpahan darah,” katanya.
Menanggapi kedatangan dari kedua anggota DPRD Matim itu, Pelaksana tugas (Plt), Linus Lusi mengatakan, polemik perbatasan antara Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Ngada sudah cukup lama sejak tahun 1973.
“Kita semua tahu bahwa persoalan inikan sudah cukup lama. Tetapi dalam tataran tertentu pemerintah Kabupaten Ngada dan lokasi masyarakat tertentu itu belum menerima sehingga rapat yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi NTT maupun Mendagri selama ini berulang-ulang sepakat tetapi juga mengalami persoalan di lapangan,” kata Linus.
Karena itu kata dia, pihak Kementerian Dalam Negeri memberi ruang kepada kedua pemerintah kabupaten. Baik kabupaten Matim maupun Ngada.
“Dimediasi oleh Pemerintah Provinsi di sini, baik pada masa pemerintahan pak Frans juga sebelumnya, toh terakhirnya juga menthok. Sehingga di bulan Mei 2018 itu tim survey terpadu antara pemerintah pusat, Provinsi NTT, dan tim dari kedua kabupaten itu juga melaksanakan survey lapangan,” ujarnya
Merujuk pada fakta di lapangan lanjut dia, tahun 2018 Kementerian Dalam negeri mengelar rapat di Bogor yang dihadiri kedua pemerintah kabupaten Matim dan Ngada.
“Hasil kesempatan juga pemerintah dua belah pihak menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat,” tuturnya.
Dan ketika pihak Kementerian Dalam Negeri lanjut dia, opsi pertama, merujuk pada SK 1973.
“Punya kelebihan dan kekurangan,” katanya.
Opsi kedua, merujuk pada Undang-undang pemekaran Kabupaten Manggarai Timur.
“Punya kelebihan tapi punya kekurangan,” ujarnya.
Opsi ketiga, tidak ikut Undang-undang 1973 dan tidak ikut Undang-undang pemekaran.
Berdasarkan tiga opsi itu jelas Linus, maka dibuat pertemuan pada tanggal 14 Mei 2019 untuk dibahas bersama-sama.
“Diberi wewenang kepada pemerintah Provinsi oleh kementerian dalam negeri untuk memediasi lagi. Berdasarkan itu di undang dua Bupati dan tokoh masyarakat lalu dibahas sama-sama. Ketika ditayangkan peta dengan tiga opsi lainnya,” jelasnya.
“Maka disepakati opsi yang ketiga itu, tidak ikut keputusan 1973, juga pemekaran tahun 2007 tapi mengakomodir sesuai fakta di lapangan. Kita tayangkan semua dan disepakati bersama. Sehingga proses lanjutan pada tanggal 14 Juni kemarin Gubernur dan dua Bupati turun ke lokasi untuk penanaman pilar (Pilar penanda batas). Sedangkan, pilar utamanya nanti ditanam oleh Kementerian Dalam Negeri melibatkan pihak ketiga,” tutup Lusi.