Atambua,Vox NTT-Warga kelahiran Timor-Timur harus mengungsi lagi ke hutan di Desa Rinbesihat, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu setelah menumpang 20 tahun di lahan warga Leun Tolu dan lahan pemerintah di Sukabitetek, Desa Leon Tolu, Kecamatan Raimanuk.
Mereka kembali mengungsi lantaran sejak eksodus Timor-Timur 1999, mereka tinggal di tanah milik warga Leun Tolu. Namun belakangan tanah tersebut dijual pemiliknya, sehingga mereka terpaksa harus mengungsi dan tinggal di hutan.
Aksi yang warga 50-an jiwa ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah yang kurang memperhatikan mereka, terutama kepastian soal tempat tinggal mereka.
Aksi ini dilakukan untuk memperingati Hari Integrasi dan mengenang 15 tahun meninggalnya Raja Alexandrino Borromeu, tokoh perintis yang menandatangani Deklarasi Balibo pada 30 November 1975 tentang Integrasi Timor-Timur ke dalam NKRI.
Hal tersebut diungkapkan Ratu Azia Borromeu, puteri kandung mendiang Alexander Borromeu saat ditemui sejumlah awak media di gubuk tempat mereka mengungsi, Jumat (19/07/2019).
Aksi yang dipelopori Ratu Alas-Manufahi, Azia Borromeu dilakukan sejak Selasa (16/07/2019) dimana mereka mulai membersihkan lokasi dan membangun tenda darurat menggunakan terpal dan dinding daun kelapa.
Tenda tersebut digunakan sebagai tempat tinggal Ratu Azia Borromeu dan puluhan warga termasuk perempuan dan anak-anak.
Ratu Azia mengatakan, selama 20 tahun sejak eksodus pasca jajak pendapat tahun 1999, tempat tinggal mereka tidak jelas. Selama ini, mereka tinggal di Sukabitetek, Desa Leon Tolu di lahan pemerintah dan sebagian tinggal di lahan milik warga sekitar.
Namun demikian, selama 20 tahun, nasib mereka tidak diperhatikan Pemerintah RI. Mereka dibiarkan tanpa tempat tinggal yang pasti. Sebagai WNI, kata Ratu Azia, mereka juga memiliki hak untuk mendapat kepastian termasuk tempat tinggal.
Kepada wartawan, Ratu Azia mengisahkan, ia lebih dahulu keluar dari Sukabitetek dan membangun tenda darurat di hutan di Desa Rinbesihat, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu.
Ia membangun tenda untuk menampung warga eks Timor-Timur yang saat ini tidak memeliki lahan dan tempat tinggal.
“Saya ini seorang ratu dan anak Raja. Saya rela tinggal di tempat seperti ini karena kami sudah diusir. Kami tidak punya tempat tinggal lagi. Saya bangun tenda ini supaya saya punya rakyat yang datang bisa tinggal di sini,” kata Ratu Azia.
Ratu Azia menegaskan, ia tetap tinggal di tenda darurat tersebut sampai pemerintah RI memberikan kepastian tempat tinggal bagi mereka.
Selama beberapa hari ke depan mereka tetap melakukan kegiatan di lokasi, baik diskusi maupun kegiatan lainnya yang intinya mereka tidak akan kembali ke tempat tinggal yang lama karena di tempat tinggal yang lama adalah tanah milik warga sekitar yang sudah di jual
Karena itu, kata Ratu Azia, jika pemerintah RI tidak memperhatikan nasib dan penderitaan warga eks Timor-Timur maka ia akan memperjuangkannya hingga pemerintah memperhatikan mereka.
Rintih Resah Ribuan Warga Eks Tim-Tim di Kantor Gubernur NTT
“Saya tidak terima, saya tidak main-main, saya muak dengan sikap pemerintah yang menelantarkan rakyat saya. Harga diri rakyat Timor-Timur dipermainkan dan saya akan memperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Sebagai anak Raja saya akan perjuangkan itu,” tegas Ratu Azia.
Hal senada diungkapkan tokoh adat Alas-Manufahi, Abel Bareto. Abel mengatakan, mereka bersama rakyatnya khusus warga eks Timor-Timur asal Alas-Manufahi yang selama ini menetap di lahan milik salah satu warga lokal sejak tahun 1999 terpaksa meninggalkan lahan itu karena lahan itu sudah dijual ke orang lain.
Ia bersama 50 KK lainnya terpaksa kembali mengungsi dan tinggal di lahan seluas 24 are di hutan.
Sejak hari ini kata Abel, mereka tinggal di hutan karena bertepatan dengan peringatan Hari Integrasi Timor-Timur ke NKRI tanggal 17 Juli 1975 dan mengenang jasa perjuangan sekaligus mengenang 15 tahun meninggalnya Raja Alexandrino Borromeu selaku tokoh apodeti dan perintis Integrasi.
Dituturkan, selama ini mereka menempati lahan pemerintah di LP3T kurang lebih 20 tahun tanpa ada perhatian pemerintah. Jika ada bantuan seperti rumah, mereka tidak dapat karena lahan yang mereka tempati merupakan lahan pemerintah, bukan lahan pribadi, sehingga mereka memutuskan untuk keluar dan tinggal di hutan untuk meminta perhatian pemerintah.
Ia mengakui, pemerintah tidak meminta warga untuk meninggalkan atau mengosongkan lahan itu sekarang, tetapi sewaktu-waktu pasti pemerintah akan menggunakan lahan itu untuk kebutuhan pemerintah.
“Kalaupun pemerintah belum menggunakan tanah itu, kami memang tidak mau lagi tinggal di lahan pemerintah karena selama ini kami tidak berhak mendapatkan bantuan apa-apa karena tinggal di tanah pemerintah. Kalau ada bantuan, kami dibilang tidak berhak karena kami tinggal di lahan pemerintah. Kami tidak bisa beli tanah karena kami tidak mampu,” ujarnya dengan nada terbata-bata.
Penulis: Marcel Manek
Editor: Boni J