Oleh: Epin Solanta
Penulis Buku Dialektika Ruang Publik: Pertarungan Gagasan
Surat kabar Pos Kupang edisi Sabtu (20/07/2019) pada halaman empat menulis sebuah berita pada kolom salam dengan judul “Mengatasi Masalah Stunting di NTT”.
Pada berita tersebut dituliskan bahwa sesuai data dari pemerintah, prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) di NTT mencapai 40,3 persen.
Angka ini dikategorikan sebagai tertinggi di antara provinsi yang lain di Indonesia. Angka ini juga jauh di atas prevalensi stunting nasional sebesar 29,6 persen.
United Nations Childrens Fund (UNICEF) mendefinisikan stunting sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran World Health Organization (WHO).
Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk.
Stunting dan kondisi lain terkait kurang gizi, juga dianggap sebagai salah satu faktor risiko diabetes, hipertensi, obesitas dan kematian akibat infeksi.
Masalah stunting tentu saja bukan menjadi persoalan baru yang mendera masyarakat di NTT. Stunting lahir bersamaan dengan persoalan lain seperti kemiskinan yang terus meningkat, korupsi yang semakin masif, birokrasi yang bobrok, perdagangan manusia yang terus melonjak sampai pada pola pelayanan yang sangat jauh dari visi kesejahteraan.
Tulisan ini mencoba untuk memeriksa akar persoalan yang menyebabkan terus meningkatnya presentase stunting di NTT. Selanjutnya akan ditutupi dengan pilihan solusi yang perlu dan harus segera dilakukan dalam mengatasi persoalan stunting tersebut.
Akar Persoalan
Meningkatnya prevalensi stunting di NTT tentu saja tidak semata-mata dikarenakan oleh masalah kemiskinan yang kemudian diterjemahkan ke dalam kalimat seperti karena kekurangan gizi baik pada ibu yang sedang hamil atau pun pada si bayi.
Lebih dari pada itu, dalam pemahaman penulis, masalah stunting sesungguhnya akumulasi dari dua persoalan mendasar yaitu kejahatan yang sifatnya struktural dan kultural. Bagaimana dan seperti dua kejahatan ini bekerja sehingga berdampak pada masalah stunting?
Pertama, kejahatan struktural diterjemahkan dalam format atau desain kebijakan yang tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan di dalamnya terjadi praktek korupsi yang sifatnya sangat terstruktur dan sistematis.
Lahirnya korupsi ini juga sebagai perwujudan dari model politik transaksional yang terus berkembang biak dalam tubuh birokrasi yang semakin bobrok dan amburadul. Penulis sepakat bahwa stunting disebabkan karena faktor kekurangan gizi serta rendahnya tingkat pengetahuan orang tua terhadap kesehatan.
Tetapi untuk sampai pada kesimpulan ini, kita harus sepakat bahwa masalah gizi dan rendahnya pengetahuan akan kesehatan juga disebabkan oleh faktor lain. Faktor lain tersebut misalnya: distribusi keadilan ekonomi dan kesehatan yang tidak merata dan tidak tepat sasaran.
Selain itu, fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang seringkali luput dari perhatian pengambil kebijakan. Terkait dua hal ini kita bisa buktikan dengan pemberitaan menurunnya tingkat kualitas beberapa rumah sakit di NTT dan juga meningkat dan masifnya istilah tenaga suka rela bagi para pelayan kesehatan.
Bagaimana para pelayan kesehatan (perawat) bekerja dengan maksimal jika distribusi keadilan berupa upah tidak sebanding dengan kerja mereka.
Pemberitaan seperti korupsi alat kesehatan, dana kesehatan merupakan bukti nyata dari lemahnya pengawasan sekaligus keberpihakan pemerintah terhadap kesehatan masyarakat NTT.
Lantas kita harus mengatakan bahwa ini semata-mata masalah gizi yang harus diganti dengan daun kelor.
Kedua, masalah stunting juga merupakan bagian dari kejahatan kultural. Dalam bahasa yang sederhana, kejahatan kultural ini diterjemahkan dalam bentuk perilaku malas, tidak teratur atau pembangkang.
Kita seringkali menemukan para orang tua yang dengan sengaja menelantarkan anaknya, membiarkan anak-anak terjerumus ke dalam pola pergaulan yang tidak sehat.
Lemahnya pengawasan dan perlindungan orang tua merupakan perwujudan dari kejahatan kultural. Selain itu, absennya orang tua untuk mengikuti kegiatan sosialisasi kesehatan menjadi salah satu preseden buruk yang berujung pada menurunnya pengetahuan orang tua akan kesehatan.
Opsi Solusi
Menyelesaikan persoalan stunting di NTT tidak cukup dengan tahap meningkatkan sosialisasi kesehatan kepada masyarakat seperti membudayakan konsumsi daun kelor.
Sesungguhnya mengatasi stunting tidak semudah mengucap sekaligus mendapatkan daun kelor. Masalah stunting selalu berada dalam cengkeraman kemiskinan NTT yang merupakan perwujudan dari kejahatan struktural dan kultural yang terus bertumbuh subur di NTT. Oleh karena itu yang perlu dikritisi dan diperbaiki adalah dua kejahatan jenis ini.
Menurut hemat penulis, masalah stunting harus diselesaikan dengan mengembalikan format orisinalitas desain kebijakan pemerintah yang tepat sasaran dan terkesan pro rakyat.
Pemerintah harus benar-benar menjalankan dan melaksanakan program secara maksimal. Apa yang menjadi kebutuhan rakyat jangan kemudian diambil untuk mengisi kantong pribadi.
Birokrasi harus kembali pada misi utamanya untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jika aspek strukturalnya kembali normal dan bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, maka hal-hal yang berkaitan dengan aspek kultural bisa diatasi.
Membudayanya sikap malas dan pembangkangan terhadap masalah kesehatan dikarenakan oleh perilaku elit yang juga banyak mempertontonkan hal-hal yang buruk seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Oleh karena itu, prevalensi angka stunting bisa turun dan perlahan hilang apabila pemerintah dan juga masyarakat NTT sama-sama berkomitmen untuk menghapus praktek-praktek kotor seperti KKN dan mengoptimalkan kebijakan yang tepat sasaran.