Oleh: Pius Rengka*
Musim politik segera tiba sudah. Gosip dan diskursus di banyak kalangan, mulai menakar pasangan calon.
Di Manggarai misalnya, ada yang bertanya. Akankah Deno Madur masih bersekutu ataukah pisah. Lainnya lagi, menimang wajah baru, siapa tahu laku di panggung pertarungan. Begitulah.
Padalah, pemilihan Bupati di sembilan wilayah di NTT (Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, TTU, Belu, Malaka, Sumba Timur, Sabu Rai Jua, Sumba Barat) baru digelar 2020, meski tawaran nama akan mulai datang September tahun ini, 2019.
Tetapi riak dan gelombang gosip, serta buih tudingan jahil tentang para calon, sudah meruak sejak usai pemilihan 17 April 2019. Begitu lepas Pilpres, banyak kalangan mulai menimbang sejumlah calon yang pantas dan patut.
Sebagaimana biasa, para politisi (atau yang disangka politisi) mamatok ancang-ancang, seturut kecenderungan yang sangat biasa, dan sama sekali tidak ada isu yang relatif baru atau tema diskusi yang menggairahkan pikiran kritis, entah tentang konteks, teks dan konten.
Yang dibicarakan, biasanya berputar-putar seputar partai politik apa mencalonkan siapa dan kisruh agak gadungan politisi sempalan. Tetapi amat sangat jarang dibicarakan, misalnya, untuk kabupaten apa pantas mencalonkan siapa. Dan, mengapa pula diperlukan menggeser tema sesuai perubahan jaman, era atau menyambut era digital revolusi industri point 4.
Banyak kalangan menduga elektoralitas legislatif paralel dengan elektoralitas bupati dan wakil bupati. Padahal dua hal itu konteksnya berbeda. Pada pemilihan legislatif, tidak semua orang terpilih bermutu tinggi atau sesuai dengan ekspektasi perubahan global, regional dan nasional.
Pada pemilihan legislatif, mungkin sekali para penganggur akut dapat saja tiba-tiba merasa berejeki (istilah ini pun agak sungguh memalukan) terpilih, meski tak secuil pun mengerti apa jagat legislatif itu dalam konteks politik pembangunan kawasan atau aneka jenis perubahan sosial.
Andalannya cuman, mantan tukang reparasi radio, tukang tambal ban motor, akrab nangkring di deker sudut kota, dan sesekali teriak seperti tanpa adab, tukang tenggak minuman keras murahan. Tetapi terpilih. Bagi mereka dianggap semacam rejeki nomplok yang jatuh ke tengah kekeringan gagasan dan wawasan.
Tidak begitu untuk calon bupati dan wakil bupati. Amat langka juga dibicarakan perihal kriteria macam mana kiranya yang patut dikenakan pada para calon dalam seluruh konteks sosial yang melingkupi perubahan sosial di sekitar kita di masing-masing kabupaten.
Ini hanya sebuah misal. Bagaimana menafsir perkembangan AFTA dan NAFTA dalam konteks Pilakda di Sabu Raijua, NTT? Bagaimana pula melihat kecenderungan pemilihan kabinet Jokowi dalam latar pengusungan calon bupati di Manggarai Barat, Malaka, Belu, Kefamenanu, Sumba Timur dst?
Ada kesan kuat, seolah-olah pilih bupati di NTT itu paralel dengan pilihan kepala suku dengan ukuran tebal saku, tebal dompet, meski pun calon itu bodoh bukan main dan tolol sekali.
Orang selalu menduga pilihan bupati itu selalu harus paralel dengan pemilihan kaum, kelompok etnik serta aliran politik. Dan, yang penting prasyarat yang disyaratkan Undang-undang terpenuhi, itu sudah lebih dari cukup.
Jika nantinya terpilih, maka urusan selesai. Soal bagaimana nantinya mengurus itu kabupaten, itu urusan nanti.
Amat jarang misalnya para politisi kita (jika pun pantas disebut politisi) membiasakan diri untuk melakukan diskursus publik tentang kapabilitas (intelectual capacity seturut konteks sosial yang melingkupinya) dan integritas (integrity) para calon.
Sepertinya tak ada sedikit keberanian untuk menyebut, misalnya, si Polan Tukang Radio itu meski cukup kaya atau gemar tersenyum, tetapi bodohnya pun bukan main kuatnya, kapasitas moralnya pun rapuh lunglai dan sebagainya.
Kalangan politisi pun sering dibimbing wacana serba klasik. Mereka tidak sanggup membangun relevansi pemilihan Bupati Sabu, misalnya, dengan perkembangan politik kawasan Pasific, kecenderungan economy Pasific, tidak sanggup mewacanakan tema pergeseran ekonomi global dari kecenderungan mainstream Atlantik oriented ke Pasific heavy yang dimotori China. Agak langka, misalnya, dibahas tentang kualitas sumberdaya manusia macam mana yang sensitif dengan perubahan zaman.
Bahkan kecenderungan borderless sebagaimana dikenalkan Kenichi Ohmae, tentang kian tak terbatasnya relasi lintas manusia di dunia ini, dan profil konteks itu ditarik dalam even politik lokal, pemilihan bupati? Usia tidak perlu dipertimbangkan. Memang. Tetapi, wawasan dan cakrawala pemikiran yang multidimensi mestinya dikalkulasi.
Itulah yang jarang saya lihat muncul dari para politisi kita. Yang kerap mereka gosipkan di warung kopi, adalah tentang calon orang kaya, calon bupati yang dekat Megawati, dekat SBY, dekat dengan kelompok garis keras dan garis lembut, dekat dengan Victor Lasikodat atau siapa pun sejumlah nama yang gemar dipanggungkan dalam politik kontemporer.
Bahkan orang mulai risau dengan mengusung calon yang terlalu dekat dengan Frans Leburaya, karena khawatir akan ditarik-tarik hubungannya dengan kasus NTT Fair, apalagi kekuatan Leburaya kian meredup seiring nasib sejarah yang ditulisnya sendiri.
Seolah-olah dekat dengan sejumlah nama itu menjadi jaminan meyakinkan dan atau merisaukan akan terjadi perubahan. Atau dekat dengan orang berkasus akan ikut berkasus justru membawa sial amat.
Padahal banyak bukti sejarah, dekat dengan orang kesohor belum menjamin apa pun dalam perubahan pilihan sosial, terutama opsi pembebasan masyarakat kita dari kemiskinan.
Dalam pemilihan Gubernur kemarin, Marianus Sae, misalnya, dia dekat dengan Megawati dan para dayang di sekitar Megawati, tetapi toh dia masuk bui juga. Tak ada pihak yang sanggup menolongnya.
Orang dekat dengan SBY seperti Benny K Harman, tumbang juga meski dia sangat cemerlang secara intelektual dan integritas pribadinya sangat kukuh dan kuat memeluk nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Eston Funay yang konon katanya sangat dekat dengan Prabowo, nyatanya dalam Pilgub kemarin tak mencapai garis nyaris. Kalah. Rakyat justru memilih Victor Laiskodat, karena ini tokoh dianggap khalayak enteng bicara, lugas berkata-kata, dan cara bergaulnya pun lintas sekat.
Tambahan lagi dia diduga sangat jujur dengar dirinya sendiri. Tindakannya, terkesan dobrak sana tabrak sini, menimbulkan turbulensi. Tetapi rakyat suka.
Siapa Yang Pantas Untuk Manggarai Barat?
Pada pemilihan bupati, saya ingin melihat khusus Pemilihan Bupati Manggarai Barat, Labuan Bajo. Mengapa? Manggarai Barat adalah kabupaten “internasional”. Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat yang kini terus dilirik nyaris oleh hampir semua penduduk bumi, terutama para investor, lantaran mereka mau melihat, mencermati, dan menemukan peluang yang pas untuk melakukan aktivitas bisnis di kawasan ini, selain datang melihat kelakuan binatang dungu yang ganas itu.
Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat, berencana hendak mengosongkan penduduk di Pulau Komodo agar biawak raksasa itu kembali ke dunia asalinya, liar, ganas dan malas. Tampaknya Presiden terpilih Jokowi setuju.
Masyarakat Pulau Komodo Bakal Direlokasi, Gubernur Viktor: Mereka Tinggal Liar
Namun, reaksi masyarakat lokal sporadik. Intinya reaksi masyarakat itu ialah tidak setuju rencana relokasi penduduk di situ, karena para penduduk di Pulau Komodo sudah tinggal di sana secara turun-temurun. Demonstrasi pun digelar.
Tetapi informasi lain menyebutkan, sesungguhnya penduduk di Pulau Komodo adalah kaum okupan yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia, terutama orang Bajo dari Sulawesi, orang Bima dari NTB dan orang-orang lain di sekitar.
Jadi sebutan penduduk asli dalam konteks manusia asli Manggarai di Pulau Komodo, sesungguhnya tidak ada.
Di Pulau itu memang kemudian ada penduduk yang tinggal sebagai okupan yang mengaso sejenak lantaran gelombang laut teramat ganas setelah mereka asyik mencari ikan dan teripang.
Urusan mengaso itu lambat laun menjadi dan merasa sebagai tuang atas tanah tempat di mana banyak biawak raksasa itu berdiam sejak lama.
Pulau itu selain dihuni biawak raksasa Varanus Comodoensis, juga kambing liar, rusa, dan babi liar yang sebelumnya tanpa tuan pemilik. Tetapi, manusia pelintas yang menyinggah di sana melihat ada mainan baru selain menangkap ikan yaitu menangkap rusa, kambing liar dan babi liar.
Sejak itulah sejarah okupasi itu dimulai. Kapan persisnya kejadian ini, masih perlu ditelisik lebih dalam dan jauh.
Tampaknya, Gubernur Victor Laiskodat, bersikeras. Gubernur tetap mengambil sikap jelas dan tegas, manusia harus direkolasi, agar di Pulau Komodo cukup untuk hidup biawak raksasa Komodo, kambing liar dan rusa, sehingga biawak raksasa ini kembali ke tabiat asalinya yaitu liar, ganas dan sanggup menyeberang laut dalam jarak 5 km. Biarkan kambing, rusa dan babi liar saling berjuang mempertahankan diri dan satu dengan lainnya saling mempredatori lainnya.
Kecuali itu, tercatat, Kota Labuanbajo, crowded, kumuh di bibir pesisir, padat bangunan, padat lalu lintas manusia kendaraan pejalan kaki, hilir mudik tentu arah dan bahkan lainnya tak jelas arah. Lapangan pacu pesawat direncanakan untuk diperpanjang, diperluas dan diperhalus agar sesuai dengan tuntutan “bisnis industri pariwisata”.
Sedangkan fasilitas air minum, listrik, telekomunikasi, dan jalan raya berjejaring laba-laba dari dan ke Labuan Bajo, tampak belum tuntas. Harga tanah pun sungguh gila-gilaan, nyaris orang menjadi “gila” seperti gila sungguhan. Pada satu lokasi yang sempat ditanya, diperoleh informasi, harga tanah 2,5 juta permeter, bahkan lainnya 5 juta/meter.
Tanah di kontur pebukitan, jauh lebih mahal lagi. Tebing di sekitar Kota Labuan Bajo, terutama di lekuk bibir sepanjang pantai, yang sebelumnya dikira tempat angker, kini justru disulap menjadi kawasan yang mempesona, dikonstruksi menjadi lokasi romantis yang menyanyikan lagu sunyi dalam senyap keheningan imajinasi.
Intinya, harga tanah kian melangit, sedangkan urusan di bawah langit Kota Labuanbajo masih biasa-biasa sebagaimana biasa dahulu kala. Lenggang kangkung, terkesan sangat santai sekali.
Pada sisi lain, arus gelombang wisatawan, kian mengalir deras. Kelakuan penduduk asli, gelisah karena ikut mematok model diri seturut modesta potongan wisatawan. Rambut para pemuda diplintir, bahkan terkesan nyaris jarang cuci.
Pertemuan-pertemuan penting para tokoh strategis dan taktis, digelar pula di sana. Para kesohor seperti pembalap motor Formula One, Valentino Rossi juga datang ke sana.
Para bintang sinetron, pejabat penting dan sangat penting, politisi, orang kaya, calo tanah, mafia tanah dan lain-lain menumpuk ke situ dan di situ, untuk mematok pilar-pilar kemungkinan peluang bisnis dan mencari untung.
Lainnya, bule laki atau perempuan kawin dengan penduduk lokal sebagai metode mendapatkan akses dan kontrol atas lahan. Selain lahan tanah didapat, lahan seluruh badan juga diraih dengan mengikuti gelombang waktu yang tak dapat menentu.
Di tengah keadaan itulah, kita mendapat sejumlah nama calon bupati pengganti Agustinus Dula. Bupati Gusti, demikian ia biasa disapa, memimpin Manggarai Barat dua periode.
Dia memang sudah berusaha sekuat tenaga membangun Labuan Bajo yang terkesan seperlunya dan secukupnya sesuai kapasitas terpasang yang dimilikinya.
Gusti Dula membangun infrastruktur, melanjutkan pembangunan yang telah dimulai oleh Bupati Perdana Manggarai Barat Fidelis Pranda.
Pembangunan selama Gusti Dula, bolehlah disebut cukup biasa atau semacam secukupnya sesuai imajinasi dan kemampuan yang tersedia.
Kemampuan anggaran, dan sumberdaya lain yang diperlukan. Postur birokrasi dan elemen lain berjalan normal-normal saja.
Nama-nama baru calon bupati pun tampil ke panggung gosip aneka arena. Disebutkan, drh. Maria Geong, PhD, kini Wakil Bupati, disebut-sebut akan maju jadi calon bupati.
Dia cerdas, lurus, jujur dan santun. Alumnus Wolonggong University, Australia, itu sangat ahli di urusan hewan.
Dia alumnus Fakultas Kedokteran Hewan UGM, study tepat waktu, tetapi linking politiknya ke partai masih harus terus diperjuangkan.
Disebut pula nama Fidelis Pranda, mantan Bupati Perdana Mabar itu. Konon, Fidelis Pranda, masih dirindui rakyat Mabar. Prestasinya yang patut dicatat, ialah pembangunan perkantoran untuk Pemda Mabar diselesaikan pada masa kepemimpinannya, yang kemudian disempurnakan oleh Gusti Dullah setelahnya.
Fidelis Pranda, mantan Sekda Kota Kupang, adalah juga salah satu petinggi di Partai Demokrat Manggarai Barat, setelah hijrah dari Partai Hanura sebagai ketuanya di sana.
Ada pula Dr. Bernard Barat Daya. Dia, doktor hukum, mantan aktivis kemanusiaan. Semasa mudanya, Bernard Barat Daya sangat gigih memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan selalu berpihak kepada kaum lemah.
Prinsip option for the poor, menjadi spirit utama perjuangan politiknya. Pikirannya sangat kritis dan selalu gelisah dengan aneka peristiwa kemanusiaan di kawasan itu.
Pada masa mahasiswa, dia aktif di lingkungan organisasi PMKRI. Tetapi, sekali lagi linkingnya ke partai politik masih harus gigih diperjuangkan. Tak selalu gampang dan tak selalu mudah.
Muncul juga Ir. Ferdy Pantas, MSi. Alumnus sekolah paskasarjana Fakultas Ekonomi UGM Yogya itu, dikenal cerdas dan cemerlang. Mantan Kepala Dinas Pariwisata dan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai ini, piawai merawat kultur, dan sanggup merunut kultur asali manusia Manggarai, sehingga dia juga dikenal tak hanya sebagai salah satu manusia cerdas, tetapi juga penutur adat Manggarai yang piawai.
Dia menguasai ilmu ekonomi dengan baik, sanggup mengkonstruksi pembangunan dengan gesit serta memiliki kesanggupan mencari peluang perubahan dalam skenario tatanan sosial yang khas dalam dunia yang sedang berubah cepat.
Tetapi, linking ke partai masih perlu dicari, meski dia kini sebagai salah satu petinggi penting di Partai Demokrat Manggarai Barat. Demokrat butuh koalisi dengan partai lain agar pas seturut syarat pencalonan menurut undang-undang Pilkada.
Lalu, muncul pula para pemain sangat muda. Ada Edi Endi dari Nasdem. Ia memang Ketua Partai Nasdem dan peroleh suara tertinggi individu dalam pemilihan anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat.
Disinyalir dia bakal memegang palu pimpinan DPRD Manggarai Barat yang akan dilantik tahun ini. Dulunya, dia di Golkar, tetapi, sebagaimana para polotisi jenis sekarang, biasa ricuh di situ hengkang ke sana, lalu entah ke mana lagi jika ada keributan di sana.
Tokoh muda lain adalah Edy Hamsi, begitu ia biasa disapa. Anggota DPRD NTT terpilih dari Golkar. Dia kini dua periode menjadi anggota DPRD Propinsi.
Lainnya Ir. Frans Sukmaniara. Frans adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat dan mantan Ketua Partai Demokrat Manggarai Barat.
Juga Andry Garu, anggota DPD RI. Dia salah satu petinggi Partai Hanura pimpinan OSO. Dia, tidak lolos ke DPR RI karena problem parliament threshold, kini merias diri untuk masuk ke kursi nomor satu di Kabupaten Manggarai Barat.
Pergaulannya agak luas, potret dirinya bersama para petinggi negara selalu ditayangkan dan diviralkan ke mana-mana, untuk menunjukkan kelas relasinya. Urusan foto memfoto ini memang selalu mungkin mengecoh.
Kecuali itu, intelektual Drs. Rofinus Djemana, Msi, alumnus Fakultas Ekonomi UI. Dia, disinyalir dirawat sejumlah partai berpengaruh untuk didandan masuk ke pelaminan istana Bupati.
Dia kritis, dan atas nama sikap kritisnya itu, dia selalu diminta menjadi tukang ajar para pegawai negeri di Badan Diklat Propinsi NTT.
Lainnya lagi, Piet Jemadu, mantan komisaris independen Bank NTT. Alumnus Paskasarjana Fakultas Hukum UGM ini kini kian rajin tampil di media sosial, menggelar senyum di sejumlah tayangan, dan mengajukan proposal perubahan untuk Manggarai Barat.
Tentu mungkin dalam beberapa waktu ke depan masih banyak lainnya yang akan muncul, karena memang banyak tokoh cemerlang dengan kualitas manusia Manggarai Barat yang dikenal sangat mumpuni.
Tentu saja, di tengah langit pertandingan siar nama dan siram pengaruh politik di sana, saya punya saran khusus. Saran saya jelas sangat sederhana, tetapi perlu dan penting. Sebaiknya calon Bupati di Mabar diutamakan tokoh yang sanggup membaca tanda-tanda zaman, gesit, lincah, berwawasan luas, dan aksesibiltasnya tak hanya seputar Labuan Bajo, tetapi berakses menasional dan menginternasional.
Dia juga harus mampu bergerak cepat dalam dunia yang berubah sangat lekas. Maka demi saran dan tuntutan itu, syarat tahu salah satu bahasa asing itu perlu dan niscaya agar selain sesekali rakyat Mabar boleh bangga melihat Bupatinya bercuap-cuap salah satu bahasa mancanegara, juga agak lebih ideologis yaitu agar aksesibel dengan derap kemajuan dan perubahan di Labuanbajo.
Hal itu tampak seperti sungguh sangat sederhana, tetapi syarat itu sangat diperlukan agar sang bupati tidak boleh terjebak dalam ruang akal-akal dan gampang diakali orang asing yang mau datang ke situ.
Tak hanya asing bahasanya, tetapi asing pula kulturnya, dan asing juga ideologi yang digendongnya. Demi itu semua, bupati yang dicalonkan sebaiknya tak terlalu asing benar dengan tema dan isu-isu berskala mondial itu, agar tidak melongo seperti orang bodoh di tengah keriuhan dinamika sosial.
Mabar adalah tempat di mana segala adab dibawa berkelana, berdialog dan bertemu. Segala ideologi mungkin saja bertarung dalam dialog, tetapi juga ditularkan. Dan, masyarakat Mabar sedang gelisah berat, karena gelinya telah sangat sah.
Masyarakat Labuan Bajo khususnya, belakangan ini dihujani aneka kebiasaan baru, tradisi bawaan para pelancong dari mancanegara, dan karena itu mereka sesungguhnya butuh pemimpin yang sensitif dengan perubahan sosial ekonomi dan politik yang aksesibel dengan percepatan. Tujuannya hanya satu agar rakyat tidak bingung, apalagi jangan gila. Begitulah.
*Penulis adalah jurnalis senior, Akademisi dan PU VoxNtt.com.