Atambua, Vox NTT- Sebanyak 38,6% bayi di bawah lima tahun (balita) di kabupaten Belu menderita stunting yakni gangguan pertumbuhan akibat kurangnya asupan gizi.
Data tersebut diungkap Bupati Belu Wilybrodus Lay dalam kegiatan Rembuk Stunting Kabupaten Belu tahun 2019 yang diselenggarakan di gedung Betelalenok, Selasa (30/07/2019).
Dalam kesempatan itu, Willybrodus Lay mengatakan stunting bukan saja merupakan masalah di kabupaten Belu, tetapi juga masalah nasional.
Disampaikannya, sesuai data prevalensi stunting di Indonesia, tahun 2013 sebesar 51,07% dan tahun 2018 turun menjadi 30,08%.
Sementara di provinsi NTT angka stunting mencapai 51,07% pada 2013 dan turun menjadi 42,06% pada tahun 2018.
Khusus untuk kabupaten Belu, pada tahun 2013 sebanyak 46,08% dan sesuai hasil riskerdes turun menjadi 38,06%.
Untuk prevalensi stunting dari 12 kecamatan di Belu yakni, Kecamatan Nanaet Duabesi 58,22%, Kecamatan Raimanuk 45,04%, Kecamatan Lamaknen 43,83%, Kecamatan Lamaknen Selatan 50%, Kecamatan Tasifeto Barat 41,21%, Kecamatan Tasifeto Timur 28,04%, Kecamatan Lasiolat 19,21%, Kecamatan Atambua Barat 16,33%, Kecamatan Atambua selatan 14,11%, Kecamatan Kakuluk Mesak 13,03%, Kecamatan Raihat 12,08% dan Kecamatan Atambua Kota 7,67%.
Bupati beralasan, masih tingginya angka stunting disebabkan jauhnya jarak dari desa ke kota sehingga mengakibatkan kebutuhan akan protein sangat sulit.
Akses ke kota begitu sulit, serta kemiskinan dan asupan gizi yang kurang menjadi pemicu masih tingginya angka stunting di kabupaten yang berbatasan langsung dengan RDTL ini.
Namun demikian, Bupati Wily mengajak masyarakat untuk bisa keluar dari kemiskinan yakni dengan meningkatkan etos kerja, sehingga kemiskinan bisa ditekan dan pada akhirnya asupan gizi bagi anak-anak bisa terpenuhi.
Untuk diketahui, kegiatan Rembuk Stunting ini dilakukan guna menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam upaya penurunan stunting.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Belu, Theresia M.B Saik ketika yang ditemui VoxNtt.Com di ruang kerjanya, Selasa pagi(31/07/2019), menyampaikan, intervensi persoalan stunting lebih banyak pada sektor atau dinas lain.
Menurut dia, bicara soal stunting adalah soal asupan gizi.
“Kalau asupan gizi berarti kita bicara soal makan. Kalau makanan berarti pertanian, perernakan dan perikanan. Jadi itu yang disebut dengan gizi sensitif 70%, kami kesehatan gizi spesifik 30% saja” jelas Theresia.
Dirinya mengaku, langkah-langkah penurunan stunting sudah disepakati bersama dalam sebuah tim koordinasi di mana target penurunan stunting sebesar 3% per tahun.
Tim kerja yang dibentuk terbagi dalam empat pokja (kelompok kerja) yakni pokja layanan kesehatan, pokja pemberdayaan dan komunikasi, pokja ketahanan pangan serta pokja air bersih dan sanitasi.
Penulis: Marcel Manek
Editor: Irvan K