*)Puisi-Puisi Melki Deni
Yang Tak Berkesudahan
Tak semua kita mau abadi dalam sejarah. Entah disembunyikan dari kertas-kertas tua, namun berbisik dalam beberapa memori generasi kedelapan dan seterusnya.
Sebutir riwayat pun tak tersisa. Tidak seperti kematian ayam,
sapi, anjing dan hewan lainnya.dikubur dalam perut-perut kita. Tentunya
berbobot. Tak seperti kopi yang disangrai di atas kepanasan api yang tak
terpadamkan, ditumbuk menjadi bubuk yang amat halus. Diseduh dengan takaran sesuai selera, dan dikuburkan di dalam perut-perut kita. Nikmatnya selalu menagih tambah.
Tidak dengan kita yang belajar, tahu, reproduksi dan paham
dunia, kosmos dan Tuhan. Mulut-mulut media massa cerewet banget mewartakan spesies kita bunuh diri.
Gendang telinga dipekak oleh kabar kematian manusia sebab obesitas,dan kelebihan gizi. “Tak perlu lagi merasuk manusia, sebab manusia lebih kejam dari kita” kata serdadu penghuni neraka.
Jeritan janin-janin melengking ngeri di balik gerbang daging tak
bertulang. Anak-anak bersuamikan ayahanda. Para kakek beristrikan
menantu, dan cucu-cucu yang mungil.Sedang ibu-ibu menghampiri anak lelaki tetangga.
Apa yang tak berkesudahan dari kita? Jika tubuh berusia
sesaat, jiwa pun lenyap. Lalu ke mana Tuhan, setelah tubuh dan jiwa tak
lagi bekerja? Jika memang Tuhan berdiam di dalamnya! “Manusia lebih
jahat dari kita” gumam jenderal pasukan neraka yang berdiri di gapura
bumi.
Lelaki memerkosa lelaki, dan menikah.Juga gadis bernafsu sesama gadis, lalu kawin. Kita mati meninggalkan tubuh busuk dan tak seorang pun bermitos lagi tentang kita.Tak seorang pun mau makan daging-daging olahan kita sewaktu hidup. Tiada gunanya kita pelihara daging, bahkan membunuh semut-semut kecil bila hendak mencium kita.
Jadi, roh ‘kan tak berkesudahan? Tidak. Setelah ritus pengusiran dari dunia, tentu lenyap. Mungkin tak ada yang tak berkesudahan? Yang tak berkesudahan ialah otak kita, dan karya-karya kreatifnya mengawetkan bumi ini.
Tak mau berkesudahan, bermainlah dengan satu kata. Apakah itu? Logos. Jangan sesekali selingkuh! Sebab kau dan se-kata itu bermaksud menyingkirkan selingkuhan, pihak ketiga.
Tarian Mayat-Mayat di Bumi
Aurah mendung bulan Juli merengut, bertahan melawan kepulan-kepulan asap industri.
Wajah elok bumi mesti dimodif seiring jarum waktu. Tidak
sedikit lelaki senang bercinta dengan gadis berparas molek
menawan. Bergairah tak lekas surut. Tak pernah menyerah dalam setiap
pertempuran di atas ranjang tidur. Raut mendung bulan Juli
menghangat, membendung tetesan-tetesan air mata kepiluan yang tak pernah letih.
Tubuh seksi gadis mungil diimutkan oleh alunan gerakan-gerakan
erotis-alamiah. Tidak sedikit lelaki bernafsu liar menjelajahi setiap sudut
kulit suci nan manis. Bersensual tak kenal musim. Disetrumnya mimpi-mimpi meraih bulan dan menari di atas langit. Hangus, Tak bernilai lagi dan tidak berguna sedikit pun. Tidak lebih dari mayat-mayat berkeliaran di bumi para lelaki. Demikianlah riwayat gadis-gadis semok di atas ranjang-ranjang kehidupan.
Sepasang Kekasih di Kos
Sepasang kekasih menderita insomnia seminggu lebih sebelas detik. Siang
malam sama saja. Tidak pernah mengantuk. Apalagi lesuh! Seakan pernah
hidup sebelum penciptaan kosmos, mati dan bangkit lagi. Tak ada kisah
pernah tamat dalam seminggu lebih sebelas detik.
Batuk-batuk cinta tak bisa lagi ditahan. Sebab jika ditahan, akan menderita keselek yang menyesakkan. Cinta telah menyembuhkan penderitaan-penderitaan sebelumnya. Sepasang kekasih saling melempar rindu seminggu lebih sebelas detik. Bermain di dalam jejaring telkomsel. Gratisan telepon berlaku 24 jam. Tak seorang pun miskin. Tak seorang pun kaya. Seolah-olah telkomsel telah dikontrak selama seminggu lebih dua belas detik.
Rindu telah mematikan yang lain dan menghidupkan dua makhluk perindu. Sebab rindu diciptakan oleh cinta, bukan ruang dan waktu.
*Melki Deni, Mahasiswa Semester III STFK Ledalero Maumere, berasal dari Reo Manggarai. Penyair sering menulis pada beberapa media cetak dan daring