Ende, Vox NTT-Pelayanan medis terhadap keluarga Maksimus Mane dan Mathilda Rina warga asal Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro, Kabupaten Ende, Flores, NTT menjadi sorotan dan keprihatinan publik.
Maksimus yang mendampingi istrinya Mathilda yang hendak menjalani proses persalinan harus menerima peristiwa nahas, dampak dari buruknya pelayanan kesehatan baik dari Puskesmas Maukaro maupun di RSUD Ende.
Karena pelayanan medis dianggap buruk, hingga akhirnya bayi dari keluarga ini meninggal dunia tepat pada momentum HUT RI ke-74 pada Sabtu (17/08/2019) Pukul 19.40 Wita di Maukaro.
Kronologi Masalah
Pada Selasa, (13/08/2019) Mathilda sudah mempersiapkan diri untuk menjalani proses persalinan. Bidan Desa (Bides) di wilayah setempat menyarankan Mathilda bersalin di Puskesmas Maukaro.
Oleh karena Puskesmas Maukaro saat ini sedang dalam proses renovasi, maka Mathilda dan keluarganya bertahan di salah satu ruangan di Kantor Camat Maukaro selama dua hari.
Selama bertahan di sana, Maksimus, suami dari ibu hamil tersebut keluhkan pelayanan petugas medis yang terkesan tidak profesional. Padahal, istrinya sempat mengeluhkan rasa sakit sebagaimana lazimnya dialami oleh ibu hamil.
Maksimus mengatakan, selama bertahan di ruangan sementara tersebut, dr. Arief dan para medis yang sedang bertugas di Puskesmas Maukaro belum membuat surat rujukan kepada Mathilda untuk menjalani proses persalinan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ende.
Pada Kamis, (15/08/2019) pukul 11.30 Wita, keluarga ibu hamil baru mendapat surat rujukan guna menjalani operasi persalinan dan steril kandungan di RSUD Ende. Surat Rujukan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh dr. Arief dan Maksimus, suami Mathilda.
“Kami baru terima surat rujukan pada siang hari sehingga langsung menuju Ende. Sebagai suami, saya cukup panik dengan kondisi istri saya yang beberapa kali mengeluh sakit. Namun, dalam hati saya tetap kuat dan percaya dengan pertimbangan medis,” ungkap Maksimus saat dikonfirmasi media ini, Minggu (18/08/2019) malam.
Dalam perjalanan menuju RSUD Ende, ibu hamil mengeluhkan rasa sakit dan mau bersalin. Keluarga lalu memutuskan untuk bertahan di Puskesmas Kecamatan Nangapanda.
Berkat bantuan dan pelayanan medis di puskesmas itu, sekitar pukul 14.15 Wita, Mathilda akhirnya menjalani proses persalinan secara normal.
Meski demikian, Maksimus khawatir dengan kondisi ibu dan bayi pasca persalinan yang termasuk kategori bayi inkubasi. Sebab, berat badan bayi hanya 2,1 kilogram sehingga secara medis bayi harus mendapat perawatan darurat.
Maksimus dan keluarga lalu melanjutkan perjalanan menuju RSUD Ende dengan harapan mendapat perawatan lanjutan sesuai surat rujukan dari Puskesmas Maukaro.
RSUD Ende Menolak
Di hari yang sama, setelah tiba di RSUD Ende pada pukul 15.25 Wita, berbekal Surat Rujukan dari Puskesmas Maukaro, suami Mathilda lalu berkonsultasi dengan seorang dokter di RSUD Ende agar ibu dan bayi mendapat perawatan lanjutan. Namun, pihak medis di RSUD Ende berdalih dan menolak permohonan Maksimus.
Maksimus mengatakan bahwa penolakan medis karena surat rujukan dari Puskesmas Maukaro sudah tak berlaku, dengan alasan persalinan terjadi “di luar” (Puskesmas Nangapanda, red).
“Dokter bilang bahwa waktu sudah lewat dan surat rujukan tidak berlaku lagi. Sehingga untuk perawatan lanjutan di RSUD Ende, ibu dan bayi yang baru dilahirkan itu tergolong pasien umum dengan beban biaya ditanggung oleh pihak keluarga. Untuk perawatan bayi dikenai biaya Rp 300.000 per malam, sementara untuk ibu dikenai biaya Rp 600.000 per malam,” kata Maksimus.
Sementara orang tua bayi yang berlatar belakang petani itu mengaku, dengan segala keterbatasan biaya perawatan, ia berharap mendapat jaminan melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dimiliki.
Namun, pihak RSUD Ende sekali lagi menolak lantas mengabaikan keselamatan ibu dan bayinya. Karena merasa kesal, Maksimus pun menyobek surat rujukan dari Puskesmas Maukaro tersebut.
Ironisnya, meski pihak keluarga bayi sempat mengaku tidak menyanggupi biaya perawatan seperti yang disampaikan, namun petugas medis yang menemui keluarga bayi di RSUD itu terkesan ‘merayu’ agar perawatan bisa terjadi di RSUD Ende.
“Keluarga terutama saya sangat kesal, karena kami nilai bahwa ini lebih penting uang dibandingkan dengan keselamatan manusia terutama ibu dan anak. Padahal, kesehatan kami sudah dijamin oleh pemerintah melalui kartu (KIS) ini,” kata Maksimus.
Menginap di Rumah Keluarga
Setelah tidak mendapat tanggapan dari pihak RSUD Ende, ayah, ibu dan bayi yang baru dilahirkan itu memutuskan untuk bertahan menginap di rumah keluarganya di Woloare.
Karena merasa kesulitan untuk mendapatkan akses dan jaminan perawatan dan kesehatan kepada ibu dan bayi, keluarga lalu memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Kobaleba, Maukaro pada Jumat (16/08/2019).
Dari Ende, perjalanan cukup jauh dengan memakan waktu kurang lebih tiga jam ke Maukaro. Selama di perjalanan, kondisi bayi mulai mengalami demam tinggi dan suhu badan meningkat.
Sehingga, pada Sabtu pagi (17/08/2019), Maksimus lalu berkonsultasi dengan bidan desa setempat terkait kondisi bayinya. Oleh bidan, disarankan ke Puskesmas Maukaro guna mendapat perawatan.
Kembali Rujuk ke RSUD Ende
Dokter Arief yang bertugas di Puskesmas Maukaro kembali membuat Surat Rujukan perawatan agar bayi dirawat di RSUD Ende dengan alasan peralatan yang dimiliki sangat terbatas.
Keluarga kemudian mengajukan keberatan. Hal itu karena, berawal dari ketidakjelasan jaminan rujukan soal persalinan yang sebelumnya ditolak oleh pihak RSUD. Kemudian mempertimbangkan kondisi bayi yang sedang menderita demam tinggi.
Keluarga yang memilih pasrah dengan situasi yang dihadapi berharap perawatan intensif dari tenaga medis di Puskesmas Maukaro. Namun nahas menimpa bayi malang itu hingga akhirnya meninggal dunia pada Sabtu (17/08/2019) Pukul 19.40 Wita.
Ketidakpastian Jaminan KIS
Dengan musibah yang dialaminya, kepada media ini keluarga bayi, Wolfgang, mengaku prihatin dengan profesionalitas pelayanan kesehatan di Puskesmas Maukaro yang terkesan sangat buruk bahkan tidak ada tindakan emergensi darurat oleh Kepala Puskesmas Maukaro Jacob Ndore.
Keluarga juga menuturkan bahwa kepemilikan KIS justru dipersulit dengan pelbagai persyaratan administratif, bahkan mengabaikan sisi kemanusiaan yaitu keselamatan ibu dan bayi, baik proses persalinan hingga perawatan intensif.
Keluarga dari bayi malang tersebut mengaku, kejadian serupa bukan pertama kali terjadi di wilayah Kecamatan Maukaro, melainkan sudah beberapa bayi yang akhirnya meninggal dunia.
Beberapa tokoh masyarakat di Desa Kobaleba bahkan mendesak agar Kepala Puskesmas Maukaro dicopot dan para tenaga medis yang sedianya tidak menjalani sebagaimana mestinya dalam proses pelayanan terhadap pasien.
“Kejadian ini bukan pertama kali, miris dan prihatin. Ini menunjukkan bahwa kinerja tenaga medis di daerah tidak mampu bekerja optimal dalam melayani kesehatan masyarakat yang mayoritas adalah petani. Jika tidak dibenahi secara serius, maka ke depan pasien akan mengabaikan syarat-syarat administrasi yang berbelit-belit lalu mengabaikan keselamatan. Jangan sampai kesehatan masyarakat kecil dipersulit,” kecam Wolfgang.
Penulis: Ian Bala
Editor: Boni J