*) Cerpen Edy Soge Ef Er*
(Keluhan dalam Percintaan)
Rindu adalah keluhan paling dalam di dalam percintaan. Setelah perpisahan suatu siang di bandara El Tari, Kupang, Amora, gadis manja asal Timor mulai berjuang menentramkan gairah mudanya dengan membaca puisi.
Ia sadar bahwa sesudah kepergiaan ini, ia akan mengeluh tentang jarak dan chatting yang tak terjawab sempurna. Sejak saa itu, ia mulai merapikan carik-carik rindu.
Ia mengutip beberapa larik puisi Kangen karya W. S. Rendra sebagai pesan WA untuk kekasihnya.
“Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku/menghadapi kemerdekaan tanpa cinta/kau tak akan mengerti segala lukaku/karena cinta telah sembunyikan pisaunya./Membayang wajahmu adalah siksa.”
***
TransNusa mengudara dengan tenang menjelajahi langit yang cerah menuju Maumere. Ramalan cuaca menunjukkan penerbangan akan berjalan lancar. Namun Ello, salah seorang penumpang tak henti-hentinya mengutuki penerbangan ini.
Ia sadar bahwa Amora akan sendiri dan itu menyakitkan. Ia ingat apa yang ditulis Agus Noor dalam Percakapan Kopi, “Mana lebih hitam/secangkir kopi yang dibiarkan dingin/atau hati perempuan kesepian.”
Ia sepertinya sadar bahwa hati Amora akan menjadi hati perempuan kesepian. Ia tunduk dengan teduh dan sedih berteduh di sudut matanya. Hidangan ringan tidak digubrisnya.
“Hallo saudara,” Suara dari samping kanan,”ada apa? Mengapa kamu menangis dalam diam?” Ello tak menoleh. Bulir-bulir air mata jatuh satu demi satu seperti irama detik jam dinding.
Pertanyaan simpatik dan ingin tahu itu sepertinya tambah mengguncang teluk matanya sehingga rintik mata pun tumpah. Namun intuisi intelektual Ello diganggu dan ia berusaha memberikan jawaban yang jujur. Sambil membereskan wajahnya ia berkata, “Saya meninggalkan pacar saya dan itu menyakitkan. Saya menangis karena hati ini terlanjur bergetar oleh perpisahan.”
Pria sebaya di sampingnya tersenyum mendengar curhat Ello. Lalu berusaha meneguhkan hati Ello dengan diksi Jokpin, “Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan. Cinta seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya”
“Iya,” jawab Ello, “tetapi mau apa rindu ini seluasa cakrawala.” Ia mulai tegar dan menggaris senyum di bibirnya. Ia mengakui bahwa sebagai manusia ia hidup di dalam kerinduan. Hanya melambai, tak sampai gapai. Sudah ia genggam, tetapi tetap keluar dan menghilang. Rindu adalah bagian dari misteri cinta.
“Saudara, apakah rindu masih tetap ada dan hidup jika ruang dan waktu bisa dijangkau dengan mudah lewat media sosial?” Rupanya orang itu berpikir bahwa Ello bisa diajak berdiskusi. Ia terkesan dengan cara ucap pemuda yang menempuh studi di Kota Provinsi dan sekarang berlibur ke kampung halaman. Ia yakin bahwa Ello bisa diajak bicara.
“Rindu adalah kehidupan,” jawab Ello yakin.
“Apa artinya itu?”
“Iya, selama kita masih menghembuskan napas, rindu tetap ada. Manusia adalah kerinduan.”
“Apa yang kita rindukan?”
“Kita merindukan sesuatu. Sesuatu yang misteri, tetapi ada. The presence of the absurd.”
Lawan bicara mengangguk-anggukkan kepala. Ia ingin terus mendengar Ello berargumentasi. Ia ingin membongkar isi kepala mahasiswa itu. Ia bertanya lagi, “Apakah kerinduan memiliki dimensi metafisis?”
Ello melukis senyum yang cemerlang saat menyimak pertanyaan itu. Orang ini pasti punya bacaan yang berkelas. Pikirnya.
“Tentu saja,” Ello menanggapi, ”tetapi sebetulnya kerinduaan memiliki juga di dalam dirinya dimensi ontologis; ada yang mendunia. Sesuatu ada yang tampak mengaktifkan intuisi intelektual dan afeksi lalu tercipta kerinduan untuk menggapai yang transeden. Jadi, ketika saya merindukan kekasih saya, saya sebetulnya merindukan suatu persekutuan dalam harmoni kebahagiaan yang mustahil saya miliki. Rindu tak punya akhir. Barangkali, ketika suatu waktu kami serumah dan sekamar, saya masih tetap merindukan sesuatu. Entah sampai kapan…”
“Sampai pesawat ini tiba,” kelakar orang itu membuat keduanya tertawa. Mereka saling berjabat tangan. Meyakinkan diri satu sama lain bahwa tidak hanya di kampus dialektika itu hidup, tetapi di atas pesawat juga harus dihidupi. Mereka lupa seorang pramugari sedang menatap mereka dan banyak penumpang hanya tersenyum.
45 menit berlalu. Ello turun dengan sukacita karena ia akan melihat kampung halamannya dan bersama keluarga dalam beberapa minggu. Namun lebih dari itu berpikir dialektis telah membebaskan dirinya dari belenggu perasaan.
Sebelum ke tempat pengambilan barang, Ello membaca pesan WA dari kekasihnya. Ia berpikir sejenak tentang kalimat terakhir, membayang wajahmu adalah siksa. Ternyata rindu itu melukai, atau kata Dilan rindu itu berat. Namun ia yakin rindu menyembuhkan, memberi hiburan yang menghidupkan kenangan.
Ello bergegas memantapkan situasi untuk pergi ke rumah dengan baik. Ia berlibur dengan harapan bahwa kekasihnya tidak memilih rusuk yang lain. Malam pertama di rumahnya ia menulis pesan WA buat Amora dalam bentuk puisi:
“Rindu adalah beban paling manis/yang setia memiliki pundak//ada kelelahan yang merona pada setiap butir peluh/yang berderit pada pori-pori kenangan//beban tanpa lelah adalah ilusi,/sebagaimana kau tahu, aku kecapaian/tapi lelah ini adalah salju/ yang mengajarkan aku mencintai tubuh memeluk jiwa//ah…/kuk rindu adalah dirimu/yang manis dan manja.”
Pesan puisi menyayat hati Amora yang lugu. Ia lafal ulang bait terakhir, “ah… kuk rindu adalah dirimu yang manis dan manja.” Ia juga menjadi beban perasaan Ello. Keduanya saling mengisi carik-carik rindu lewat WA.
Menjelang minggu terakhir hari libur Ello, Amora mengirim pesan. “Apabila aku dalam kangen dan sepi/itulah berarti/aku tungku tanpa api”. Ia masih mengutip Rendra ‘Si Burung Merak’. Amora sendirian ke Tamnos. Ia memikirkan Ello di seberang pulau. Malam itu ia dingin sendiri; menggigil tanpa kekasih. Ia menunggu dengan sabar pesan dari Nusa Bunga, Flores jauh.
Ello mengutip Cintaku Jauh di Pulau karya Chairil Anwar – “cintaku jauh di pulau,/gadis manis, sekarang iseng sendiri//perahu melancar, bulan memancar,/di leher kukalungkan oleh-ole buat si pacar./angin membantu, laut terang, tapi terasa/aku tidak ‘kan sampai padanya.”
Amora tambah tersiksa. Ia berteriak dengan keras malam itu. Ia memberontak. Ia menangis. Menangis dalam-dalam. Namun kemudian ia menguatkan perasaan dan mengerti keadaan.
“Merindukanmu adalah salah satu bentuk penghargaanku terhadap cinta,” tulis Amora dari Tamnos.
“Makasi Feto (bahasa Dawan sebutan untuk anak perempuan). Lusa saya kembali.”
***
Bandara El Tari Kupang. Agustus 2019.
Amora kembali menemui kekasinya. Ia mengikhlaskan sebuah pelukan atas nama cinta. Ia telah belajar merelakan untuk mendapatnya kembali. Barangsiapa melepaskan dengan ikhlas dan jujur akan meraihnya kembali dalam senyum dan sukacita istimewa. Hati kosong terisi penuh kembali dengan pertemuan. Carik-carik rindu dihiasi oleh huruf-huruf rasa yang tak berakhir.
Ello membalas pelukan dengan santun. Kemudian berbisik, “Pada akhirnya kita belajar untuk saling merelakan, supaya mengerti rindu itu rupa apa, doa ini buat siapa.”
Nitapleat (Suatu Hari Rindu), Agustus 2019
*Edy Soge Ef Er, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere. Tinggal di Wisma St. Arnoldus Nitapleat.