Drama Air Mata
Ibu-ku si pengemis yang tulen bersujud di bawah kaki Ibu(nya). Di setiap senja ia selalu bercengkerama di dalam hening. Ku lihat ia seperti kantuk dengan bayangan bening di sudut-sudut pelopak matanya yang bening lebih bening dari kaca spion mobil-mobil berplat merah, kuning, dan hitam.
Senja kali ini, kulihat ia begitu beda. Ingin mendekat namun niatku seperti ambruk di persimpangan lampu hijau jalan kota. “Ibu kau sedang menangis?” Bukankah kemarin ibu baru usai merayakan hari ulang tahun? Tamu yang kita undang pun tak seperti biasa bahkan banyak berjas hitam, dompet pun diperhitungkan atau jangan-jangan ibu lagi mengingat beban keluarga.
Usai membatin bersama dengan diam. Ku berjingkrak di balik tubuhnya yang mulai menuai senja. “Ibu senja itu begitu romantis” seromantis ibu dan ayah semasa muda puluhan tahun yang lalu. Namun mengapa ibu menangis? Sudah keceplosan tanyaku. Ibu bangun merengkuh tubuhku yang mungil dicubitnya berulang kali, disulamnya pipihku dengan ciuman mesra, dielusnya kepalaku dengan doa. “Nak.. kemarin sehabis ibu berpesan di depan kakak dan tamu-tamu undangan kita, ibu lupa bahwa hari ini perayaan kita kemarin masih sebuah drama senjanya ibu.” Nak kau lihat ibu(mu) masih diam saat ibu menangis.
Kata ibu(ku), “Nak.. di timur puisimu nanti ada pawai perjuangan dengan drama air mata di barat sini.
Niceplace suatu malam, Agustus 2019.
Di Timur Puisiku
Banyak air mata yang bergumul dengan darah. Aku tak kuat, aku ingin menangis, menangis yang panjang.
Masih ada air mata, kataku. Aku ingin menulis puisi, menulis sejauh mungkin bayangan darah yang kubaca di kolom-kolom beranda rumahku. Aku bilang, baca sebanyak-banyaknya sedang kau masih bercengkerama dengan narasi yang begitu panjang.
Sudah terlalu malam kita menunggu bulan, gelap masih begitu indah di bawah semesta dengan bias lampion ibu kota. Puisimu, katanya akan dipindahkan. “Iya, jawabku lantang” kamu sendiri mau kemanakan narasimu? “Narasi ini kubaca di halaman rumah berkaca gelap”.
Ah sudhalah.
Maaf jika kelak narasimu tak jadi kukampayekan mungkin saat itu puisiku akan kupindahkan ke timur. Di timur puisiku kutulis dan kudiamkan di dalam rumah yang kelak malam akan kuminta bicara kepada bulan untuk memberikan aku satu bintang agar aku dapat menyampaikan rinduku untuk serumah asal tangganya bersamamu.
Di timur itu, puisiku memiliki rumah.
Niceplace, 2019.
*Tentang Penulis
Chan setu merupakan mahasiswa semester III di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK-L), saat ini menetap di wisma Arnoldus-Nitapleat, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Maumere. Penulis juga merupakan salah satu anggota kelompok minat sastra dan teater ASAL-ALTHEIA Ledalero.