Mbay, Vox NTT-FRK (13), KRL (12), dan MJB (12) masih dirundung sedih.
Tiga bocah kelas lima SDK Supi Lape, Kelurahan Lape, Kecamatan Aesesa, Nagekeo, NTT ini merupakan calon penerima sakramen komuni (ekaristi) yang diusir dari kapela St. Maria Penginanga, 23 Agustus 2019 lalu.
Oleh panitia, penundaan pemberiaan sakramen komuni lantaran orang tua mereka masih memiliki tunggakan iuran pembangunan aula kapela stasi St. Maria Penginanga.
Selain itu, ketiganya disebut telah mengabaikan prosedur dan syarat penerimaan sakramen komuni pertama sesuai hasil keputusan Pleno Dewan Paroki. Penerimaan komuni ketiganya pun batal hingga viral di media sosial.
Cerita diusirnya tiga bocah calon penerima komuni pertama ini bermula dari postingan netizen bernama Mario Podolski di grup Facebook Mbay Online pada Jumad 23 Agustus 2019.
Dalam postingan itu diterangkan bahwa ada dua orang anak yang tak dizinkan untuk menerima tubuh dan darah Kristus
dengan alasan Komunitas Umat Basis (KUB) belum melunasi uang “pembangunan aula”.
Postingan itu juga disertai foto kedua anak itu dengan dandanan layaknya anak sambut baru, menenteng lilin dan mengenakan jas.
Jejak digital itulah yang menjadi permulaan penelusuran VoxNtt.com guna mencari kebenaran informasi sekaligus menggali penyebab lain yang berujung pada insiden pengusiran.
Di hari naas itu, Jumat 23 Agustus 2019 sore, KRL (12) menjadi orang pertama yang berhasil ditemui Vox NTT.
Di rumahnya, ia ditemani kedua orang tuanya. KRL pun berkisah tentang pilu yang harus dia terima.
Hari bahagia itu berubah jadi lara sebelum pembacaan urutan daftar nama perarakan 65 calon peserta penerima komuni pertama oleh Gaspar Siga, bendahara pembangunan aula stasi St. Maria penginanga.
Pengusiran tiga calon penerima Komuni sebelumnya telah direstui oleh Camat Aesesa Pius Dhari. Pius juga menjabat sebagai Ketua Stasi St. Maria Penginanga, Kelurahan Lape.
Melalui pengeras suara di mimbar gereja, nama KRL dibacakan Gaspar, namun bukan sebagai calon peserta penerima komuni pertama melainkan penegasan untuk segera meninggalkan kapela.
“Saya dengar mereka baca saya pu nama, mereka (umat lain)
lihat ke saya, saya malu, saya langsung keluar,” ujar KRL polos.
Sebenarnya, KRL tak tahu bila orang tuanya dan panitia pembangunan aula telah ada kesepakatan penundaan pemberian sakramen komuni kepada peserta yang masih memiliki utang iuran pembangunan aula kapela st. Maria Penginanga.
Ia hanya tahu, bila seorang telah mengikuti pembinaan, misa pagi dan menerima sakramen pengakuan, maka mutlak hukumnya untuk menerima sakramen komuni.
“Misa pagi saya ikut, pembinaan juga, saya juga mengaku
(sakramen pengakuan), saya mengaku di Romo Domi,” ungkap KRL.
Ibunda KRL, yang duduk mendampinginya menyebut keluarga mereka masih harus menyetor uang sebesar Rp.460
ribu untuk pembayaran iuran pembangunan aula tahap dua. Informasi yang dihimpun VoxNtt.com, total keseluruhan iuran pembangunan aula sebesar 1,5 juta rupiah.
Utang iuran pembangunan aula, kata ibu KRL, sebenarnya bukan sesuatu yang sulit untuk didapat andai sepeda motor milik suaminya, Yohanes Joni, tidak digondol Polisi dalam razia lalu lintas Desember 2018 lalu.
Razia tersebut terjadi saat kembali dari pasar Danga usai mengantar sayuran untuk dijual.
Sejak saat itu, mereka kesulitan untuk mendapatkan uang demi kebutuhan setiap hari termasuk pembayaran iuran gereja.
Menyadari setiap tahapan persiapan pra-komuni telah diikuti KRL, bocah itu nekat menerobos masuk dalam kerumunan peserta “sah”.
Bermodalkan jas, celana panjang hasil pinjaman sepupunya, dipadu sepatu sekolah miliknya, langkah bocah itu mantap menuju Bait Tuhan.
Namun naas, gelegar suara Gaspar Siga dari mimbar Gereja mengurungkan niatnya mencapai altar. Hari itu, ia gagal bersatu bersama Yesus dalam sakramen ekaristi.
Tiga puluh langkah ke depan rumah KRL, ada bocah bernasib serupa di kapela yang sama hari itu.
Namanya FRK (13). Ia teman sekelas KRL yang pernah tertimpa batang pohon pepaya pada usia 5 tahun hingga koma sebulan di rumah sakit.
Tertarik dengan pekerjaan Ayah KRL, dia pun mencoba
menggeluti usaha serupa, yakni berjualan kangkung.
Dari sawah milik orang tuanya, sambil menenteng seikat kangkung, dia menyusuri pematang, berjalan kaki sejauh kurang lebih empat kilo meter menuju Pasar Danga. Itu bukanlah pekerjaan yang mudah bagi anak seusianya.
Perjuangan FRK berbuah manis, selama empat Sabtu, keringatnya berubah menjadi sepatu seharga Rp 100 ribu.
Namun lagi-lagi, gigih semangat FRK harus pupus di tengah jalan terkendala iuran.
Seperti temannya, ia terpaksa keluar dengan langkah malu-malu dari gereja usai suara Gaspar Siga menggelegar dari mimbar.
“Kami dua juga sama Om, sama-sama tunda sampai tahun depan, saya punya sepatu juga masih terlalu longgar (kebesaran)” ujar FRK polos.
Yang lebih malang lagi adalah nasib MYB (12), tinggal di rumah petak seukuran 16 meter persegi.
Meteran listrik PLN di rumahnya terus mengeluarkan suara kik kik. Layar digital meteran itu menunjukan angka 003/Kwh, petanda token segera diisi.
Di luar rumah itu, Maria Matrona Wuga, Bibi MYB, terus marah-marah saat wartawan VoxNtt.com mewawancarai MYB di dalam rumahnya.
Di depan pintu rumah berdinding bambu itu, Matrona sempat melongokan wajahnya sebentar ke arah wartawan lalu membalikan badan, namun dia tetap duduk di depan pintu itu.
Wajah asing wartawan VoxNtt.com dikiranya berasal dari para penagih hutang pembangunan aula stasi St. Maria penginanga yang diakuinya masih tertunggak sekitar Rp. 850 ribu.
“Pak datang mau omong apalagi, mau urus apalagi. Ini iman Pak, sejak dari kandungan kami sudah punya iman. Apakah ini karena perkembangan zaman sampai anak kecil yang mau terima Yesus kamu tolak buang. Hati saya masih sakit Pak kalau ingat peristiwa hari jumad itu,” hardik Bibi Matrona marah-marah.
Kesal hati Matrona makin menjadi tatkala VoxNtt.com berusaha menenangkan dia dan menjelaskan tujuan bertandang ke rumahnya, 24 Agustus 2019 sore.
“Sudah Pak, ini kalau ada Bapaknya, Pak bisa Bahaya. Uih lebih penting uang dari pada iman anak-anak, apa yang model begini”
Dari sesumbar Matrona diketahui bahwa sebenarnya dia sanggup membayar iuran itu. Namun, sang Bibi harus dihadapkan dengan pilihan pelik.
Sebenarnya, Matrona masih memilik sisa uang sebesar Rp. 900 ribu, tiga hari sebelum perayaan komuni Pertama di Stasi itu.
Uang itu, kata Bibi Matrona, akan digunakan untuk dua hal yang baginya sama sama mendesak, membayar cicilan iuran pembangunan aula agar MYB bisa menerima komuni atau menebus sertifikat tanah miliknya di dinas pertanian dan perkebunan kabupaten Nagekeo, yang belum diambil.
Atas saran guru agama MYB bernama Andreas, Bibi Matrona diyakinkan bahwa calon peserta yang telah mengikuti tahapan pra-komuni dan telah menerima sakramen pengakuan diperbolehkan untuk menerima sakramen ekaristi atau komuni.
Dengan sisa uang itu, tanpa pikir panjang Matrona lalu bergegas mengambil sertifikat tanah itu.
Namun apa sial bagi Matrona, saat di tangannya hanya menggenggam uang Rp 50 ribu, Jumad pagi MYB menghampirinya dan berujar “Mama, kami harus kumpul lagi uang Rp. 215 ribu, untuk sewa aula”.
Hampir shok bibi Matrona mendengar permintaan MYB. Dia tak menyangka masih ada uang lain di luar iuran pembangunan Aula Kapela.
“Itu uang apa lagi, aula kapela belum jadi, kok sudah ada uang sewa aula? Aula yang mana lagi,” kisah Matrona dengan wajah gusar lalu kemudian diam sesaat sembari memegang kepala dan dadanya.
Maklum, komplikasi pada jantung dan gangguan saraf pada mata, sering membuatnya kehilangan kesadaran bila ada yang mengejutkannya.
“Kalau tetap tidak bisa, biar nanti sekalian saat dia nikah, kalau tetap tidak bisa biar dia pindah agama saja” pinta Matrona dengan nada kesal.
Sementara MYB, wanita yang beranjak gadis ini terus menyeka air matanya tatkala ditanya VoxNtt.com perihal keterusirannya dari gereja.
“Saya sedih, saya sangat malu,” kata MYB sembari menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
Orang Tua Merantau di Kalimantan
Harapnya, usai menerima sakramen Komuni, MYB akan berbagi kabar dengan kedua orang tuanya yang saat ini tengah
mengais rejeki di Pulau Kalimantan.
Di Kalimantan, Ayahnya bekerja sebagai sopir sementara ibunya bekerja sebagai buruh kasar di perkebunan kelapa sawit.
Ayah dan ibunya pergi bersama dua anak. Sementara tiga anak termasuk MYB tinggal di kampung bersama bibi Matrona dan bapa besarnya.
Terakhir, orang tua mereka mengirim uang pada tahun 2017 sebesar 1 juta. Uang itu akan digunakan untuk biaya komuni pertama Novi, kakak MYB. Setelah itu, seperti diungkapkan Matrona, orang tuanya tidak pernah lagi mengirim uang.
Niat MYB juga akhirnya pupus, pembayaran iuran tahap dua sebesar Rp. 750 ribu, mengurungkan niat mendapat sakramen komuni.
Padahal aku MYB, dia sangat rindu mengenakan baju sambut baru serta menenteng lilin yang saat ini dibiarkan tergeletak di kamar tidurnya.
Ia juga mengaku sudah mengikuti persiapan prakomuni, namun apa daya niat bersatu dengan Tuhan terkendala aturan.
Hingga saat ini, bocah itu berharap agar tahun depan, orang tua mereka bisa mendapatkan rezeki yang cukup agar bisa menerima Komuni kudus.
Sementara Pastor Dominikus De Dowa, Pr, Pastor Paroki Stelamaris Danga, saat dihubungi VoxNtt.com, Sabtu (24/08/2019) sore, menyampaikan syarat agar bisa mendapatkan sakramen ekaristi (komuni).
Hasil pleno terkait persyaratan penerimaan komuni pertama, katanya, telah ditetapkan pada Oktober 2018 lalu.
Syarat pertama, adalah anak-anak yang sudah dibaptis yang dibuktikan dengan surat baptis.
Kedua, harus ada surat keterangan dari Kelompok Umat Basis (KUB) yang menjamin anak itu berasal dari Kepala Keluarga (KK) setempat.
Ketiga, orang tuanya harus terlibat dan aktif dalam KUB seperti ikut serta dalam kewajiban sebagai warga gereja.
Keempat, anak itu harus ikut pembinaan. Pembinaan dimaksud adalah pembinaan di sekolah dan ikut misa tiap pagi selama dua bulan sampai pada hari Komuni Pertama.
Terkait uang, kata dia, itu sudah normal terjadi.
“Dan itu sudah disepakati dalam pleno. Jadi bukan diputuskan oleh kita pada saat itu,” tuturnya kepada VoxNtt.com.
Pastor Domi juga menyebut selain terkendala persyaratan dua dari tiga anak yang diusir tersebut punya masalah yang sama terkait keuangan di tingkat Kelompok Umat Basis (KUB).
“Dua anak itu dari KUB yang sama dan juga penyakit yang sama yang menimbulkan soal finansial di KUB. Kali lalu mereka bilang mereka nanti baru lunas dan KUB yang bayar iuran. Iuran juga 50 atau 60 ribu. Tapi sampai hari ini tidak pernah bayar,” jelasnya.
Lebih jauh, Pastor Domi menjelaskan keputusan untuk tidak memberikan sakramen kepada tiga anak tersebut untuk menghindari konflik di tengah umat.
“Itu tetap tidak bisa di tengah situasi orang sudah tahu proses. Kan sudah diumumkan,” katanya.
Menyangkut iuran pembangunan, Romo Domi menegaskan itu bukan syarat utama.
“Kalau soal uang, datanglah dan omong secara terbuka, kita siap bantu. Kita sudah sering bilang uang itu bukan jadi penghalang untuk anak-anak terima komuni,” ungkapnya sehari setelah berita terkait kasus ini viral di media sosial. (VoN).
BACA JUGA Berita Terkait: