Oleh: Tony Mbukut
Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero
Sakramen merupakan tanda kesalamatan yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah kepada manusia. Dengan demikian sakramen pada dasarnya gratis. Allah Yang Mahabaik berkenan menyelamatkan umatNya tanpa menuntut sepeser rupiah pun dari manusia.
Allah menyelamatkan manusia bukan karena besarnya jasa yang dilakukan oleh manusia atau karena banyaknya korban yang dipersembahkan oleh manusia ataupun karena setianya manusia menjalankan ritual peribadatan kepadaNya, tetapi karena Ia semata-mata murni mengasihi manusia. Entitas Allah adalah kasih (Deus caritas est).
Media Vox NTT pada 23 Agustus 2019 menerbitkan berita bahwa tiga orang anak calon penerima Komuni Suci Pertama asal Nagekeo diusir dari Kapela Santa Maria Penginanga sebelum misa dimulai.
BACA JUGA:
- Tiga Anak Calon Penerima Komuni di Nagekeo Diusir dari Gereja
- Soal Pengusiran Calon Penerima Komuni, Ini Penjelasan Lengkap Pastor Paroki Danga
Ketiga anak itu diusir diduga karena orang tua mereka belum melunasi iuran tahap tiga untuk pembangunan Aula Kapela St. Maria Penginanga sebesar Rp. 300 ribu.
Berdasarkan konfirmasi dari pastor paroki sebagaimana yang diberitakan oleh Vox NTT edisi 24 Agustus 2019, tidak 100% benar bahwa ketiga anak itu diusir karena belum melunasi iuran pembangunan.
Satu anak memang bukan anggota paroki karena tidak diperkenankan menerima komuni pertama di paroki tersebut dan dua yang lainnya tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan antara lain mengikuti misa pagi, mengikuti pengakuan dan melunasi iuran pembangunan.
Sedangkan menurut pengakuan ketiga anak ini sebagaimana yang diberitakan oleh Vox NTT bahwa mereka telah mengikuti proses pembinaan untuk sambut baru dan menerima sakramen tobat sehari sebelumnya.
Mereka juga datang ke kapela tanpa didampingi oleh orang tua. Mereka hanya bermodalkan kenekatan. Berdasarkan pengakuan ketiga anak ini dapat disimpulkan bahwa mereka sudah mengikuti proses pembinaan dan mengaku dosa, tetapi belum melunasi iuran pembangunan.
Siapakah yang harus disalahkan dalam peristiwa ini? Dalam berbagai komentar di media sosial, netizen pada umumnya menyalahkan pastor dan pengurus stasi yang dianggap tidak memiliki nurani karena tega mengusir anak-anak tersebut dari Kapela.
Penulis sendiri tidak mau begitu saja menyalahkan pastor dan pengurus stasi karena peristiwa pengusiran tersebut. Bagi penulis, bahasa pada dasarnya sangat terbatas dalam mengungkapkan pengalaman.
Pengalaman pada hakikatnya jauh lebih kaya dan lebih luas dari pada kata-kata yang dapat diungkapkan. Dalam peristiwa pengusiran ketiga anak dari kapela di atas, penggunaan kata ‘usir’ yang dipakai oleh media Vox NTT mungkin perlu ditelaah lebih dalam lagi.
Kata ‘usir’ belum tentu secara tepat menggambarkan bagaimana sebenarnya peristiwa di Kapela Penginanga itu berlangsung.
BACA JUGA: Kisah Tiga Bocah yang Gagal Terima Komuni: dari Jualan Sayur hingga Orang Tua Merantau
Bisa jadi waktu itu pastor dan pengurus stasi berbicara dengan sangat santun dan memberikan pengertian yang cukup baik kepada ketiga anak tersebut. Anak-anak tersebut memang dipanggil keluar dari kapela, tetapi belum tentu mereka diusir.
Mereka mungkin hendak diberi pengertian yang baik oleh panitia dan juga panitia tidak hendak mengusir mereka untuk pulang ke rumah dan tidak boleh mengikuti perayaan ekaristi hari itu.
Dapat dipahami bahwa Pastor dan pengurus stasi tersebut pada dasarnya sedang berusaha menegakan aturan. Jika saja mereka tidak tegas dalam menjalankan aturan maka semua orang akan dengan mudah melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Namun dalam peristiwa ketiga anak tersebut, pastor dan pengurus stasi Penginanga seharusnya menerapkan kebijakan khusus. Ketiga anak tersebut tidak seharusnya gagal menerima komuni pertama.
Kesungguhan mereka selama mengikuti pembinaan dan kenekatan mereka untuk tetap datang meski tanpa didampingi orang tua sebenarnya dapat menjadi pertimbangan untuk tetap melayakkan mereka menerima komuni pertama. Namun hal ini tentu saja jika penghalang mereka hanya iuran pembangunan.
Bagi penulis, peristiwa kegagalan ketiga anak di stasi Penginanga untuk merima komuni pertama karena antara lain terhalang uang pembangunan merupakan indikasi nyata kelirunya orientasi karya pastoral Gereja.
Jebakan Pembangunan Fisik
Sangat terlihat jelas bahwa karya pastoral Gereja lebih berorientasi pada pembangungan fisik Gereja ketimbangan pembangunan iman umat. Hal ini tidak hanya terjadi di stasi Penginanga.
Ada kesan umum bahwa indikasi karya pastoral yang sukses adalah pembangunan fisik Gereja yang sukses.
Dengan demikian, jika gedung Gereja yang megah berhasil dibuat, aula dan pastoran yang indah juga berhasil dibuat maka karya pastoral dinyatakan berhasil.
Bagi penulis, pandangan ini merupakan pandangan yang keliru. Orientasi utama karya pastrol Gereja seharusnya adalah pembangunan iman umat dan pembebasan umat dari situasi kemiskinan dan ketidakadilan.
Bukti iman umat bukan pada pembangunan gedung Gereja yang megah, tetapi pada hidup dan keseharian umat yang sungguh-sungguh dijiwai oleh semangat injil.
Umat di Nusa Tenggara banyak yang hidup miskin dan diperlakukan tidak adil. Gereja seharusnya fokus hadir untuk membebaskan mereka.
Jika saja tidak ada orientasi yang berlebihan untuk melakukan pembangunan fisik, pembatalan menerima komuni pertama atau juga kadang batal menerima sakramen permandian akibat tunggakan iuran pembangunan, jelas tidak ada.
Peristiwa di Penginanga ini harus menjadi pembelajaran bersama semua agen pastoral Gereja. Karya pastoral yang berorientasi pada pembangunan fisik berupa Gereja yang megah, aula paroki yang besar dan pastoran yang indah harus segera ditinggalkan.
Karya pastoral semacam ini secara kasat mata bertentangan dengan semangat yang dikobarkan sejak Konsili Vatikan II, yaitu ‘Gereja yang berpihak pada orang miskin.’
Karya pastoral Gereja sudah seharusnya berorientasi pada pembangunan iman umat dan pembebasan umat dari situasi kemiskinan dan ketidakadilan.
Jika saja tidak ada pembangunan Gereja yang megah atau aula atau pastoran yang indah, iuran pembangunan jelas tidak ada.
Jika iuran pembangunan tidak ada, jelas tidak ada halangan untuk menerima komuni pertama atau pembatalan permandian akibat tunggakan iuran pembangunan.
Jika saja antara lain tidak terhalang iuran pembangunan setidaknya 2 dari 3 anak itu jelas tidak gagal menerima komuni pertama.