Oleh: Paul Randjang
Mahasiswa STFK Ledalero dan Anggota Kelompok Diskusi Centro John Paul, Tinggal di Ritapiret
Indonesia kembali berduka. Tindakan diskriminasi dan rasisme menimpa mahasiswa asal Papua. Peristiwa ini tentunya menyadarkan kita, bahwa sejatinya Indonesia belum dewasa dalam berdemokrasi. Setidaknya kasus ini merupakan potret kedukaan demokrasi di negara ini.
Duka Demokrasi
Sejak awal, glorifikasi terhadap sistem demokrasi dikangkangi oleh faktum yang mendevolusi demokrasi. Teori dan diskurusus Francis Fukuyuma yang meramalkan bahwa manusia akan memasuki human government; suatu fase akhir dari evolusi ideologi dan gerakan demokrasi liberal juga kelihatan absurd.
Di Bosnia-Herzegovina misalnya, terjadi perang saudara dan pembasmian etnis. Begitupun di Azerbaijan, Armenia, Makedonia dan Yunani terjadi konflik nasional.
Sementara di Indonesia dijumpai konflik yang berbasis etnis atau agama, mulai dari Ambon, Poso, Sampit, dan Papua. Ada pula realitas degradasi multidimensional yang mencengkram praksis politik pemimpin, ketidakadilan ekonomi dan politik, korupsi di level pemerintahan (eksekutif, yudikatif, legislatif), penegakan hukum yang masih tebang pilih, meningkatnya kriminalitas di tengah publik termasuk ekspansi hoaks dan ujaran kebencian yang meluluhlantakan kehangatan berwarganegara dan cita rasa berdemokrasi.
Terhadap problem di atas, saya yakin bahwa saat ini kita tengah mengalami ‘’duka demokrasi’’. Duka ini begitu terasa tatkala beragam artikulasi politik ekstrem seperti radikalisme agama, terorisme, hoaks, ujaran kebencian, isu marxisme termasuk tindakan rasis yang baru-baru ini menimpa mahasiswa asal Papua kembali bercampur menjadi racun bagi demokrasi.
Pada aras ini, patut disadari bahwa salah satu persoalan yang tidak tuntas di Indonesia adalah bagaimana meramu diversitas kultural yang incommensurable antara satu dengan yang lain ke dalam satu nuansa politik demokrasi dengan level toleransi tingkat tinggi (Baghi, 2012: 14).
Dan begitu miris, keberagaman yang kaya, perbedaan identitas, budaya, nilai, dan agama justru terlampau sering dialami sebagai laknat yang berkepanjangan dan bukan sebagai rahmat ataupun berkat.
Laporan freedom House (2018) misalnya pernah menunjukan, demokrasi sedang diserang dan mengalami kemunduran di seluruh dunia, seiring standar demokrasi Amerika yang mengalami kemerosotan begitu cepat.
Dan Francis Fukuyama (2018) dalam bukunya yang terbaru, Identity: Contemporary Identity Politics and Struggle for Recognition menandaskan, kemerosotan demokrasi ini dipicu oleh praktik politisasi identitas yang ditunjukan dalam pemilihan besar 2016, pemungutan suara di Inggris (Brexit) untuk meninggalkan Eropa, dan pemilihan presiden Amerika Serikat.
Di Indonesia pun terjadi demikian. Bahwasannya, tak jarang elite politik melakukan improvisasi dan manuver pilitik yang melemahkan demokratisasi. Selain itu pada level yang amat kronis, tsunami hoaks, viralisasi kebencian, tindakan diskriminasi dan rasis kerap menimbulkan stigmatisasi terhadap kelompok minoritas, ras dan agama tertentu.
Dalam kaitan ini, sentimentalitas massa makin menguat sehingga aneka prasangka, stigmatisasi, diskriminasi, pengadilan massa dan primordialisme menjadi dampak ikutan yang sulit dihindari.
Karena itu, sadar atapun tidak, aktus berdemokrasi di negeri ini kerap menumpulkan nalar publik. Ide-ide luhur demokrasi tenggelam dalam pertarungan ‘’elitis’’ dan brutalitas massa.
Demikianlah lewat sentimenya orang memutuskan untuk membenci, mengintimidasi, mendiskriminasi, mencaci, dan menghancurkan, semata-mata karena tartgetnya telah menimbulkan sentimen itu (Hardiman, 2018: 14).
Inilah potret demokrasi di negara kita, demokrasi yang hanya memperkuat sirkulasi dendam, kebencian dan kekerasan di antara kelompok. Dalam nada yang cukup arkais, Chantal Mouffe di dalam bukunya On The Political (2005) membahasakan situasi ini sebagai ranah di mana kekuasaan, konflik, dan antagonisme menjadi unsur pembentukan institusi masyarakat.
Dominasi Media Sosial
Jika dikritisi, situasi kedukaan demokrasi ini kian meruncing lewat percepatan tekno-kapitalis media sosial.
Andrew Guess, Brendan Nyhan, dan Jason Reifler, dalam jurnal Selective Exposure to Misinformation: Evidence from the Consumption of Fake News during the 2016 US Presidential Compaign (Januari, 2018) pernah menuliskan, efek ‘’ruang gema’’ dan ‘’gelembung penyaring’’ di media sosial mampu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan informasi bohong.
Itu berarti, potensi media sosial menjadi lahan beternaknya narasi kebohongan dan kebencian begitu besar. Terhadap tindakan rasis yang menimpa mahasiswa asal Papua misalnya terdapat dua hoaks yang dideteksi oleh Kominfo, yaitu hoaks foto warga Papua tewas dipukul aparat di Surabaya dan hoax Polres Surabaya menculik dua pengantar makanan untuk mahasiswa Papua (Detiknews, 20/8/19).
Dalam kaitan ini, informasi-informasi yang berseliweran di media sosial tak jarang tidak lebih dari mainan kebohongan. Bukan tak mungkin, hegemoni hoaks semacam ini membahayakan rasionalitas publik.
Persis problem inilah yang tampak dalam gerakan-gerakan fasis di Jerman dan Italia pada pertengahan abad ke-20 di mana propaganda dan provokasi menjadi alat penyebaran informasi-informasi palsu untuk mengacaukan opini publik dan untuk sentimentalisasi massa (Hardiman, 2018:159).
Dan di Indonesia, dominasi persebaran hoaks makin berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar kebohongan. Mengacu pada hasil survei penetrasi dan perilaku pengguna internet Indonesia 2017 yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebanyak 54,68 persen warga Indonesia atau 143,26 juta jiwa merupakan pengguna Internet.
Dari jumlah itu, 87,13 persen pengguna internet memanfatkan dunia maya untuk aktif di media sosial. Bahkan, 55,30 persen warga net Indonesia telah menjadikan internet sebagai sumber informasi mereka, baik soal politik, keagamaan, kesehatan, maupun olahraga.
Celakanya, keadaan ini makin diperparah dengan merosotnya tradisi baca tulis masyarakat. Hasil studi Most Litered Nation in the world tahun 2016 misalnya memperlihatkan, minat baca di Indonesia menduduki peringakat 60 dari 61 negara.
Survei terakhir dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2015) juga memperlihatkan, angka buta huruf di Indonesia mencapai 3, 56 persen dari seluruh penduduk Indonesia (atau 5,7 juta orang).
Bahkan, bila mengacu pada data UNESCO pada tahun 2012, minat baca Indonesia hanya 0,001 yang menandakan setiap dari 1000 orang di Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca.
De facto, faktum demikian berpotensi memupuk sentimentalisasi massa. Massa pun cendrung menanggalkan pikiran kritis serentak meminati aneka tindakan anarkis dan diskriminasi.
Peran media
Di tengah persoalan tindakan rasis dan diskriminasi yang menimpa mahasiswa asal Papua di Surabaya, dan Malang, Jawa Timur, setiap orang dipanggil untuk makin cerdas berdemokrasi.
Kita yakin, demokrasi seharusnya mengatasi sentimentalitas, sebab salah satu kesuksesan demokratisasi adalah pertumbuhan penalaran publik dan berkurangnya sentimentalitas seperti pemakaian isu suku, ras, agama dalam proses-proses demokrasi.
Karena itu, keseriusan problem ini mesti dikawal dengan peran media selaku agen kebenaran. Tentang kebenaran, Immanuel Kant menuturkan, kebenaran merupakan sesuatu yang harus ditegakkan, apapun resiko yang ada.
Itu berarti, kebenaran pantas diterima dan kebohongan mutlak ditolak. Penolakan terhadap kebohongan beralasan karena kebohongan menjadi lawan kebenaran.
Alvin Day menjelaskan (2006: 78), lawan dari kebenaran adalah bohong (lying), penipuan (deception) dan ketidakjujuran (dishonesty).
Deception menurutnya, menjadi pesan komunikasi yang disengaja agar orang lain mendapatkan pemahaman yang salah, atau agar mereka meyakini apa yang kita sendiri tak yakin akannya.
Dalam konteks interaksi sosial Mufid (2009: 74), memberi tiga alasan kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang penting.
Pertama, ketiadaan integritas dalam komunikasi antarmanusia akan berdampak pada penggusuran otonomi individu. Hal dikarenakan manusia sebagai makhluk rasional yang sangat bergantung pada akurasi informasi yang diperoleh. Kondisi ini memungkinkan manusia menggunakan kebebasannya dalam hal memilih (freedom of choice).
Kedua, komitmen terhadap kebenaran adalah karena kebenaran menunjukkan rasa menghargai orang lain sebagai tujuan, bukan sebagai alat (tool).
Dalam konteks sosial, penghargaan terhadap orang lain berdampak menumbuhkan kepercayaan antar-individu.
Ketiga, kebenaran merupakan unsur esensial bagi kelancaran proses demokrasi. Menurut Habermas, negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis intensif antara ruang publik dan sistem politik.
Sebagai pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, yudikatif dan legislatif, jurnlisme dan media massa perlu memperhatikan standar minimum sebagai konsep dari kebenaran dalam me-report kebenaran (Ibid., hlm. 77).
Pertama, report harus akurat, dengan cara melakukan verifikasi fakta sehingga diperoleh bukti yang valid.
Kedua, untuk mendukung kebenaran dalam media, seorang jurnalis perlu melakukan upaya pencerdasan dengan cara mendorong pemahaman publik.
Ketiga, suatu laporan mesti bersifat fair dan seimbang. Prinsip ini menghindari bias yang sangat mungkin timbul dalam pemberitaan.
Dalam pada itu, muara akhir dari ketiga peran jurnalis di atas ialah merawat dan menjaga intelektualitas publik dari ambiguitas kebenaran. Artinya, rasionalitas publik mesti dinutrisi dan dibentengi dengan kualitas pemberitaan yang baik.
Karena itu, menyitir Aristoteles bahwa media harus memiliki kebajikan intelektual. Kebajikan intelektual merupakan kebajikan paling bernilai sebab selalu berbasiskan hal empiris.
Di sini, media harus sanggup berkontemplasi tentang kebenaran. Yang diutamakan adalah hasil kerja akal budi yang berdasarkan realitas-realitas nyata, bukanya asumsi spekulatif.
Artinya, manakala publik dilepaskan dari ambiguitas kebenaran, akan terjadi seleksi dan verivikasi rasional terhadap argumen-argumen dengan kemenangan argument yang lebih baik yang lalu mendapat kualitas sebagai opini publik.
Hanya dengan melaksanakan tugas ini, media mampu meresistensi nalar publik dari teror kebohongan yang berusaha memantik sentiment kelompok massa tertentu.
Mari mewujudkan cita-cita demokratisasi bercorak liberasi, emansipatoris dan jauh dari tindakan rasis-diskriminasi di negeri ini.