*) Cerpen Arnus Setu
Meski sudah tahu hasilnya nihil, perempuan itu sampai sekarang terus saja memandangi daun-daun pepaya itu. Lagi pula tidak mungkin daun-daun pepaya kemudian bertanya: Mengapa kamu terus memandangi aku? Sebenarnya apa yang kamu pikirkan? Ceritakan padaku! Tidak. Tidak mungkin. Ia tahu dan sadar-sesadarnya tentang itu. Namun, mau bagaimana lagi. Memandangi daun-daun pepaya yang sebaskom itu kadang kala menjadi pilihan yang tak menuntut alasan.
Sekali-kali terdengar gesekan kayu bakar dari tungku perapian yang saling bersahutan dengan kokokan ayam. Si mentari yang masih prematur pun perlahan-lahan tapi malu-malu mulai menerobosi celah-celah gedhek lapuk itu. Sepuluh tahun lalu, ketika gedhek itu dijadikan dinding, warna kuningnya menjadi pembeda tersendiri. Beraktivitas di ruangan 3×4 itu pun tidak menjadi soal. Tapi kini, setelah musim-musim berlalu, ia mulai lapuk dimangsa hujan dan letih di hadapan panas. Ia tak menjadi seperti pepatah lawas itu, “tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas”. Warna kuning itu telah hilang. Lenyap. Yang tersisa hanyalah anyaman bambu lapuk dengan noda-noda hitam yang menebal di mana-mana.
Kepulan hitam dari tungku api mendadak menebal dan membumbung ke langit-langit seng. Batuk mulai terdengar bersahutan dengan ludahan dahak yang kental. Wanita itu buru-buru mengambil kipas dari kardus lalu mengebas asap-asap itu. Ditiupnya tungku itu dengan pipa khusus. Api menyambar seketika ketika diambilnya segelas air hangat dan meminumnya. Subuh terasa lebih hangat.
***
“Bang, tolong siapkan daun-daun pepaya itu ya. Nanti siang saat bubaran baru kubayar”, kata Tirah setelah selesai merapikan barang-barang dagangannya.
Tomas, pedagang di sebelahnya hanya menjawab dengan sekali anggukkan kepala.
Tidak jauh dari tempat Tirah dan Tomas sebuah percakapan alot bernada gugatan memecah kesibukkan para pedagang pagi itu. Adalah Dantu, seorang penjual ikan sekaligus pedagang senior di pasar itu mendadak naik pitam mendapati tembok belakang tempat dagangannya basah kuyup oleh guyuran hujan.
“Kurang ajar betul orang-orang itu. Berani mereka muncul kembali di hadapanku, akan kulempari mereka dengan air cucian ikan ini”.
“Aku juga akan lempari mereka dengan telur-telur busuk ini. Biar mereka kapok”, sahut Jilah sambil memegang satu telur ayam di tangan kanannya. Jilah ikutan marah karena tenda dagangannya basah kuyup sebab atap di atasnya bocor. Bahkan sisa-sisa air hujan masih menggumpal di beberapa titik.
“Betul sekali, teman-teman. Mereka harus membayar semua janj-janji palsu itu. Jangan hanya bisa nikmati enaknya saja. Padahal dulunya kita-kita ini yang pilih mereka. Betul-betul tidak tahu malu”, kata Duta mulai memprovokasi.
Kemarahan itu bukan tanpa alasan. Sudah tiga tahun sejak janji-janji kampanye itu diobral bak pakaian rombengan di pasar mereka, pasar itu tak kunjung berubah. Alih-alih berubah, atap bocor, tenda basah, hingga dinding-dinding yang lapuk dan berujung hancur itu menjadi pemandangan sehari-hari yang tak terelakkan. Intinya, para pedagang itu belum sama sekali menghirup udara segar perubahan yang sudah didambakan sejak dulu.
Dari salah satu sudut pasar itu, munculah Tuba, pedagang senior yang amat dihormati teman-teman pedagang lainnya. Ia coba menengahi pembicaraan yang sudah menyita perhatian teman-temannya sepagi itu.
“Teman-teman sekalian. Bukan maksudku menggurui atau menasihati teman-teman, aku kira kita mesti sudahi pembicaraan ini. Sudah saatnya kita memikirkan jalan keluar dari masalah bangunan pasar kita. Aku ada ide, bagaimana kalau kita membentuk semacam koperasi kecil. Di samping nantinya dapat membantu kita untuk simpan dan pinjam uang, sisanya bisa dipakai untuk memperbaiki beberapa bagian dari pasar kita yang telah rusak.”
Ide tersebut kemudian disetujui segenap pedagang pasar. Siang hari setelah para pedagang lain bubar, beberapa pedagang senior mulai berkumpul di sudut pasar, bersebelahan dengan tempat dagangan Pak Tuba. Pembicaraan siang itu menghasilkan beberapa keputusan penting. Pertama, ketua koperasi itu dipercayakan kepada Tirah dengan pertimbangan Tirah pernah kuliah ekonomi.
Kedua, setiap pedagang di pasar itu diwajibkan membayar sejumlah uang sebagai bentuk simpanan pokok. Pembayaran ini dilaksanakan sekali saja. Ketiga, setiap pedagang juga harus membayarkan sejumlah uang sebagai bentuk simpanan wajib yang dibayarkan setiap bulannya.
Keempat, mengenai simpanan sukarela yang mirip seperti tabungan dengan jumlah dan waktu simpanan tidak ditentukan. Kelima, keuntungan koperasi dalam bentuk sisa hasil usaha tidak dibagi kepada anggota, tetapi digunakan untuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak pada pasar.
Keesokan harinya, koperasi itu mulai berjalan. Sebelum bubar, dengan menenteng buku bergaris dan sebuah pulpen, Tirah mengelilingi pasar itu. Ia mulai meminta sejumlah uang sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama. Tanggung jawab baru itu di samping membuat kerjanya bertambah, namun menjadikannya kelihatan lebih bahagia. Ia benar-benar menikmati pekerjaan baru itu. Meski butir-butir keringat terus saja membasahi pipinya yang merah, senyuman makin merekah dari bibirnya.
Satu tahun pun berlalu. Tidak terasa koperasi itu telah mengantongi begitu banyak uang. Saat melaporkan jumlah keuangan koperasi dalam rapat anggota yang ke sekian, para hadirin yang tidak lain adalah pedagang-pedagang pasar tersebut bertepuk tangan sambil mengucapkan pujian dan syukur. Sesekali, pujian bertubi-tubi menyeruak dari mulut-mulut mereka. Mendapat pujian yang tak terhitung itu, Tirah menjadi semakin bahagia. Ia merasa kinerjanya dihargai. Akhirnya, cita-cita untuk memperbaiki sebagian titik yang telah rusak dalam pasar itu sebentar lagi terealisasi. Dua keputusan pun disepakati sore itu.
Pertama, pembentukkan panitia kecil yang bertanggung jawab terhadap perbaikan pasar. Setelah melakukan voting, Tomas akhirnya dipilih sebagai ketua panitia. Menyusul terbentuk juga berbagai divisi kerja yang dikepalai Tomas. Ada divisi konsumsi, perlengkapan, keamanan, tenaga kerja, hingga humas. Kesepakatan kedua yang tak kalah menariknya ialah dilaksanakannya sebuah perayaan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan untuk pencapaian koperasi tersebut.
Keesokan harinya, tenda pesta akhirnya didirikan di halaman rumah Pak Tuba. Sejumlah ekor ayam dan satu ekor sapi pun disembelih demi acara itu. Saat acara syukuran tiba, tidak hanya para pedagang pasar yang terlibat, tetapi tampak juga segenap keluarga dari para pedagang itu. Kegembiraan pun menyelimuti ruangan terbuka beratapkan tarpal itu.
Menjelang detik-detik akhir perayaan, semua yang hadir mulai larut dalam gegap-gempita letupan kembang api di udara. Meski malam telah terang oleh taburan bintang di mana-mana, kehadiran kembang api menjadi pembeda tersendiri. Langit seketika menjelma raksasa merah . Entah kenapa, lampu-lampu di tenda mendadak padam saat itu. Namun, bukannya kaget, segenap hadirin malah mengamini hal itu sebagai bagian dari tata urutan perayaan malam itu.
Tirah mendadak kaget. Seperti ada sesuatu yang menjanggal dalam kepalanya. Dengan buru-buru ia berlari ke dalam tenda dan langsung menuju sebuah kursi di barisan paling depan. Saat ia sampai di situ, lampu-lampu di tenda telah menyala. Namun, kaki Tirah mulai terasa keram. Keringat dingin pun bercucuran seketika. Matanya mulai memerah dan kelihatan layu. Dengan sekuat tenaga ia berteriak, “Di mana tas hitamku? Uang koperasi di dalamnya”. Beberapa orang yang mendengar teriakan itu langsung berhamburan ke dalam tenda. Salah seorang dari mereka menemukan selembar kertas tidak jauh dari situ lalu menyerahkannya kepada Tirah. Mendadak kertas itu terlepas dari tangannya, bersamaan dengan rubuhnya tubuh mungil Tirah ke tanah.
***
Tubuhnya mulai terasa panas. Gumpalan asap tebal kini memenuhi ruangan itu. Menyesakki rongga hidungnya. Membuat setiap tarikan napasnya seperti menelan daun-daun pepaya yang pahit. Matanya yang tertutup dipaksanya terbuka, asap disertai panas melumpuhkan mata itu hingga tak bisa terbuka lagi. Gedhek di sekelilingnya telah memerah.
“Maaf dan hanya maaf. Aku membutuhkan uang-uang ini”, sebaris kalimat tulisan Tomas tiba-tiba memenuhi kepalanya bersamaan dengan pekikan suara minta tolong. Gerombolan orang mulai mengelilingi rumah itu dengan ember-ember air di tangan. Sayang, tak ada satu pun yang mampu melumpuhkan si jago merah ketika ia garang. Kematian menjadi tak terelakkan. Kenangan terakhir telah merampas paksa nyawa Tirah,wanita tak berdosa itu.***
Tentang Penulis
Arnus Setu berasal dari Detusoko, Ende, NTT. Alumnus SMA Seminari Mataloko. Belajar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.