Oleh: Ican Pryatno
Mahasiswa STFK Ledalero, Anggota Kelompok Diskusi Centro-John Paul II Ritapiret, Maumere
Indonesia kini diwarnai isu rasisme yang menimpa Papua. Eskalasi atas peristiwa ini bermula tatkala beredarnya informasi (palsu) jatuhnya Bendera Kebangsaan di depan kawasan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Aksi penggerebekan seraya dibalut ucapan rasistik yang dilakukan aparat bersama kalangan ormas pun dilontarkan. Sejak perkara rasisme tersebut, beberapa pergolakan beruntun kian bermunculan.
Pada Senin, 19 Agustus 2019, di Jayapura, ribuan masa mendatangi kantor gubernur dengan agenda penghapusan rasisme terhadap orang Papua.
Saat bersamaan, di Manokwari, masyarakat menunjukan kekecewaannya dengan membakar kantor parlemen. Sementara di Sorong, warga melakukan perusakan terhadap fasilitas publik dan turut melumpuhkan aktivitas bandara dalam beberapa jam.
Dalam mencermati isu rasisme papua yang bergejolak akhir-akhir ini, sesungguhnya sangat mudah dimaklumkan betapa informasi yang belum tentu diyakini objektifitas kebenarannya justru memantik kisruh dalam ranah publik. Kabar kebohongan yang ‘diwartakan’ menimbulkan kegertakan dan kelumpuhan total demokrasi.
Karena itu, dari serangkaian pergolakan yang terjadi akhir-akhir ini, penulis memaklumkan beberapa hal. Pertama, sesungguhnya problem rasisme papua yang memantik kedukaan dalam ruang publik merupakan konsekuensi serius dari faktum ketidakberesan informasi (hoax).
Kedua, persoalan hoaks yang membuncah akhir-akhir ini adalah gambaran konkret akan krisis ‘ruang publik’. Ruang publik yang sesungguhnya menjadi ruang yang otonom dan kritis, yang diisi dengan beragam perdebatan dan uji argumentasi logis-rasional, nyatanya ‘membeo’ akibat hoaks yang banyak berseweliran.
Ekspansi pasar (baca: hoaks) ke wilayah-wilayah publik menghasilkan ‘naturalisasi’, yakni proses-proses komunikasi dalam kebebasan untuk saling pengertian dalam ruang publik diganti dengan mekanisme survival untuk mengonsumsi atau menaklukan pihak lain (Budi Hardiman (ed.), 2010: 193).
Ruang publik yang sejatinya menjadi arena perbincangan untuk memintal kesalingpemahaman nyatanya direduksi menjadi lanskap yang diisi dengan kebohongan, arena pewartaan kabar kepalsuan. Ia menjadi arena produksi dan konsumsi dusta dan penipuan.
Ketiga, hoaks yang melingkupi persoalan papua sesungguhnya menunjukan sinyalemen akan kondisi politik pasca-kebenaran.
Politik pasca-kebenaran merupakan politik palsu atau politik paska fakta, di mana perdebatan publik dibingkai oleh daya tarik pada emosi dan perasaan masyarakat, terlepas dari fakta atau maksud politik yang sebenarnya (Mansford Prior, Epilog dalam Madung, 166: 2017).
Opini publik dan narasi politik dibuat dengan sangat pragmatis dan sekaligus tertinggal jauh dari kebenaran konkret. Sensasi dan pernyataan palsu terus diumbar hingga meyakinkan kelompok rakyat.
Keempat, persoalan hoaks yang terjadi dalam bingkai rasisme papua merupakan representasi atas krisis imajinasi (ketiadaan berpikir). Krisis imajinasi (ketiadaan berpikir) menurut Hannah Arendt merupakan ketiadaan kemampuan untuk merefleksikan dan merenungkan tindakan, serta membayangan konsekuensi dari tindakan itu (Keladu Koten, 2018:162).
Karena itu, persoalan hoaks yang terjadi belakangan ini menjadi bukti kehadiran pribadi yang tidak mampu mengkritisi beragam konten kebohongan yang beredar dalam ruang publik. Ketiadan usaha berpikir menyanggupkan mereka untuk mengkonsumsi beragam informasi murahan yang beredar.
Mereka tidak lagi bersikap kritis dalam membaca informasi yang bertebaran dan alhasil mereka sangat mudah dikendalikan dan diprovokasi. Layaknya massa mengambang, mereka sangat gampang dihantar pada usaha untuk menghujat, memfitnaah, mencela, berkonflik, dan berkelahi.
Selain itu, rentetan persoalan hoaks yang terjadi sesungguhnya muncul karena ketiadaan berpikir yang dialami sekelompok orang yang memiliki kuasa mewartakan kebohongan. Krisis imajinasi dan kedangkalan berpikir nyatanya kembali hadir dan bersemi dalam insan-insan yang gemar memproduksi, mempreteli, dan mewartakan kebohongan.
Matinya kesadaran berpikir dan erosi imajinasi membuat mereka tidak sanggup menilai tindakan hoaks beserta efek fatalistik yang ditimbulkan. Mereka juga tidak memiliki rasa malu, dan karenanya memperkeruh demokrasi melalui sejumlah karya kebohongan yang kemudian menciptakan kegaduhan dan peperangan.
Meme dan Kolonialisasi Kesadaran
Di dalam karyanya The Evolving Self: A psychology for the Third Millenium, Mihaly Csikszentmihalyi, mengembangkan ide yang menarik tentang bagaimana perkembangan informasi mempengaruhi perkembangan diri.
Ia menggunakan istilah meme untuk menjelaskan unit informasi budaya yang berkaitan dengan istilah gen sebagai unit informasi genetik pada makluk hidup (Amir Piliang, 2011:65). Bagi Csikszentmihalyi, sebagaimana Yasraf Amir Piliang, istilah meme sesungguhnya digunakan untuk membentuk manusia.
Meme diciptakan secara sengaja dan sadar oleh manusia untuk satu tujuan tertentu. Tatkala beraksi, ia mulai memformasi kesadaran baru orang-orang yang ada disekitarnya.
Meme mengkolonialisasi kesadaran dan menggiring pikiran manusia. Manusia dan kesadarannya dibuat tak berdaya, dan pada akhirnya manusia menjadi rapuh dan lumpuh di hadapan ‘sang meme’.
Meme yang diciptakan adalah sesuatu yang hidup. Oleh karena kemampuannya mengendalikan dan membentuk kesadaran manusia, ia tidak lagi menjadi barang ciptaan yang mati, melainkan hidup. Ia menguras perhatian, kesadaran, pikiran, dan persepsi manusia, sebagai energi kehidupannya.
Maka, sekali meme itu menyebar dan menguras kesadaran dan pikiran banyak, ia akan senantiasa berkembangbiak dan hidup dalam kenyataan ruang publik.
Meme menjadi hidup atas dasar imperialisme pikiran dan kesadaran manusia.
Berpijak pada persoalan hoaks yang menyelimuti isu rasisme papua akhir-akhir, dapat dimaklumkan betapa informasi palsu yang bertebaran (meme) merembes dan menjajahi ruang otonomitas manusia.
Meme (perkara hoaks) yang berkelindan secara massif sesungguhnya mempresentasikan imperliasme pikiran dan kesadaran manusia. Ia menarik, menggiring dan membajak persepsi, pikiran dan kesadaran manusia.
Karenanya, manusia beserta otonomitas dirinya serasa dibuat tak berdaya. Manusia pun menjadi rapuh dihadapan kekuasaan informasi palsu (hoaks).
Oleh karena kedikdayaan informasi, manusia direduksi sebagai hamba. Manusia yang sudah mengalami imperialisme kesadaran dengan mudah menjadi patuh. Situasi penjajahan atas ruang kesadaran dan hilangnya otonomitas diri, menjadikan mereka layaknya masa mengambang, yang dengan mudah digerakan untuk melakukan sesuatu yang banal.
Karena itu, sangat boleh jadi, persoalan hoaks dalam lingkup isu rasisme papua beberapa waktu lalu, menjadi bukti konkret keperkasaan informasi palsu (meme) yang memagari dan menjajah ruang kesadaran dan keberpikiran manusia.
Kekuasaan informasi (palsu) jatuhnya Bendera Kebangsaan di depan kawasan asrama mahasiswa Papua di Surabaya justru menggarap ruang kesadaran banyak orang. Sehingga akhirnya ia menggerakan mereka untuk melakukan tindakan sadistik, dengan melontarkan cacian dan ucapan-ucapan rasistik. Keperkasaan informasi palsu menggerakan banyak orang untuk bertindak tak karuan di dalam bingkai demokrasi Indonesia.
Rekonstruksi Kesadaran
Berpijak pada persoalan hoaks yang memompah pergolakan rasisme papua, sesungguhnya dapat dimaklumkan bahwa kini manusia Indonesia mengalami imperialisme kesadaran. Dengan itu, hemat penulis, sesungguhnya Bangsa Indonesia mestinya belajar dan mulai kembali merawat dimensi kesadaran.
Manusia Indonesia mestinya menunjukan otonomitas dan rasionalitasnya seraya keluar dari kungkungan kolonialisme informasi. Karena itu, guna mencapai hal itu, penulis memproposalakan beberapa hal.
Pertama, dengan berpijak pada pergolakan terakhir, atensi total kalangan intelektual mestinya dikedepankan. Mereka mestinya menunjukan kesejatiaanya dengan secara radikal melakukan pencerahan dalam aras publik. Mereka mesti berani turun gunung, mencebur diri di tengah realitas masyarakat seraya mengedepankan gerakan pencerahan dan pengadaban.
Kedua, usaha merawat kesadaran dan sikap kritis manusia Indonesia dapat dilakukan melalui radikalisasi konsep pedagogi kritis.
Menurut Henry Girioux, keutamaan konsep pedagogi kritisnya terletak pada usaha kritik. Baginya, kritik adalah sebuah penyelidikan menyeluruh terhadap sebuah fenomena sosial, termasuk budaya, institusi, ideologi, dan pola hubungan yang terjadi (Wattimena, 2018).
Hal ini dapat digapai, mengandaikan sekolah sebagai ladang pendidikan mestinya mendorong anak untuk berpikir kritis dan penuh kesadaran.
Selain itu, pengetahuan siswa tidak boleh digapai melalui usaha menghafal. Mestinya, pengetahuan itu senantiasa diolah dan dikritisi secara bersama. Dengan itu, ruang kesadaran dan sikap kritis anak bangsa senantiasa ditata.