Oleh: Karel Pehe*
Salah satu persoalan klasik yang memantik animo publik saat ini ialah pertanyaan seputar apakah agama mendidik orang untuk semakin bermoral ataukah moral saja sudah cukup tanpa agama?
Ringkas dan jelasnya adalah apakah moral muncul sebagai sesuatu yang independen in sech dan karena itu tidak perlu dilaburi oleh unsur-unsur aksidental internal semisal agama atau institusi sosial-religius lainnya?
Clinton Richart Dawkins, seorang penulis, ahli etiologi, biologi evolusioner dan juga seorang ateis yang vokal mengemukakan gagasannya dalam bentuk lisan maupun tulisan pernah menulis “Iman bisa saja sangat berbahaya, dan dengan sengaja menanamkannya ke dalam pikiran yang rentan dari anak yang tidak bersalah adalah kesalahan besar”.
Bahasa realitas tentang sistem kepercayaan yang dianut bisa saja sangat berbahaya jika penganutnya tidak memilki pemahaman yang rasional dan resisten tentang sistem yang dipercayai itu.
Tesis aksioma yang dikonstruksi pada bagian ini adalah orang harus yakin dengan sistem nilai yang ada dan diharapkan bisa menjadi corong pengasah untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dalam konteks ini, preferensi pertanyaan yang sama bisa dialamatkan pada pada agama. Apakah agama saat ini sungguh menjadi pembawa kebaikan bagi manusia?
Arah dasar pertanyaan ini selalu bersinggungan dengan factum diametral serentak dilematis seperti realitas kekerasan atas nama agama, fanatisme ras etnik, suku atau golongan tertentu, implifikasi politik identitas dan masih cukup banyak isu anyar dan krusial yang memotori ruang gerak kita saat ini.
Tulisan sederhana ini merupakan sebuah ikhtiar sekaligus unek-unek kepedulian untuk melihat sejauh mana peran konstruktif moral dalam membangun dan mentematisasi model beragama yang bijak.
Moralitas Terbuka dan Moralitas Tertutup
Moralitas merupakan karakteristik dasariah yang dimiliki manusia untuk mengurai secara keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruknya suatu tindakan/aktus.
Kekhasan ini secara habitual disponsori oleh ratio dan hati nurani manusia sendiri. Berangkat dari realitas ini muncul sebuah kesadaran moral yang selalu berhubungan dengan kewajiban mutlak untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar seturut hati nurani.
Keberadaan hati nurani selalu ditopang oleh daya nalar kritis-progresif yang merepresentasikan suatu realitas personal yang membuat diri kita bernilai dan berharga.
Di dalamnya ditemukan rasa aman yang mewajibkan kita untuk bersikap optimistis yakni memilih yang benar dan menolak yang jahat. Namun, apakah kesadaran moral yang dibangun bisa berdampak bagi manusia seutuhnya?
Pada bagian ini akan dielaborasi secara komprehensif terkait dua jenis moral dan distingsi antara keduanya. Jenis moralitas tersebut dikelompokkan atas moralitas tertutup dan moralitas terbuka.
Moralitas tertutup lahir dari kecenderungan primordial manusia yang menjadi anggota suatu kelompok untuk saling melindungi dan membela kepentingan kelompoknya melawan kelompok lain.
Moralitas tertutup ini mempunyai tiga sifat yakni bersifat konservatif, eksklusif dan uniformistik. Hubungan emosional antar warga kelompok seringkali melahirkan pelbagai bentuk tindakan separatis untuk melindungi kelompok dari intervensi kelompok lain seperti sikap intoleransi, diskriminasi dan penyerangan terhadap agama lain.
Lain halnya dengan moralitas terbuka. Moralitas terbuka lahir dari emosi kreatif manusia dalam partisipasinya untuk memperhatikan sesamanya (Sugiharto dan Agus rahmat, 2000: 112-117).
Moralitas terbuka disebut juga moral humanistik yang menghargai dan menghormati manusia yang sederajat dan berusaha menciptakan iklim yang baik bagi perkembangan manusia seutuhya.
Menurut H. Bergsons, moral terbuka harus bersumber pada sesuatu yang ilahi, mengatasi kesadaran dan rasio manusia yang terbatas.
Dengan demikian, hubungan personal yang dibangun antara manusia dan realitas absolut akan mengalirkan suatu emosi kreatif manusia untuk memperhatikan, menumbuhkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap sesama.
Jadi, emosi kreatif ini dapat membongkar sikap ekslusif, konservatif dan uniformistik dari cara pandang manusia lama menuju suatu pembaharuan.
Mesti ada peralihan dari moralitas yang sempit menuju moralitas yang terbuka. Pelbagai diskusi menarik mengenai disorientasi pemahaman beragama yang bijak saat ini semakin banter dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Klaim kebenaran mutlak oleh agama tertentu menimbulkan monopoli “kebenaran”. Seseorang menjustifikasi bahwa orang lain salah.
Persepsi semacam ini meruncing orang untuk semakin penat dalam pesimismenya akan pengakuan terhadap dimensi keberimanan yang lain. Misalkan saja ceramah dari ustad Somad, atau perdebatan antara ustad Yahya Waloni dan pendeta Ezra Soru yang mengafirmasi kebenaran dari agama masing-masing.
Menurut saya, dalil yang mengklaim kebenaran agama tertentu berimplikasi pada kehilangan originalitas dari agama itu sendiri yakni keanekaan.
Keanekaaan dalam agama menginisiasi suatu keterbukaan pandangan dan refleksi yang kritis tentang Allah Yang Esa. Originalitas ini mesti ada dan harus dihayati secara masif sehingga tidak menimbulkan ekstrasi yang berlebihan.
Itulah makna terdalam dari moralitas terbuka. Apapun agama yang dianut nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi pegangan dalam berperilaku.
Moralitas Beragama: Opsi dan Kekuatan Pembebas
Manusia memiliki dorongan untuk mencapai kesempurnaan. Menurut Imanuel Kant, dorongan untuk mencapai kesempurnaan ini mengakibatkan manusia teralienasi dari hidupnya sendiri.
Ia memberikan sebuah solusi yang bersumber dalam diri sendiri untuk mengatasi keterasingan manusia ini dengan mengikuti berbagai imperatif moral untuk melakukan kebaikan. Tindakan kebaikan yang kita lakukan terhadap sesama sebaliknya akan berdampak juga terhadap kehidupan kita.
Imperatif moral yang dimaksudkan Kant tidak hanya bersumber pada hasil penalaran rasio yang merefleksikan tindakan kebaikan yang dilakukan oleh manusia tatapi lebih pada kesadaran pengolahan hati nurani yang mengakibatkan manusia berbuat kebajikan.
Di sini, hati nurani mensintesiskan tindakan manusia dalam kebebasannya untuk melakukan kebaikan. Dalam hati nurani, nilai moral merekonstruksi keutamaan-keutamaan dan kewajiban manusia untuk tidak menjadi manusia anonim melainkan manusia yang bermartabat.
Pengolahan hati nurani dan penalaran rasio yang bijak membawa manusia pada pemahaman yang benar mengenai beragama. Moral beragama merepresentasikan penghargaan terhadap pluralitas sehingga agama sungguh-sungguh menjadi bonum commune yang dicita-citakan bersama.
Ada beberapa solusi alternatif yang ditawarkan agar kita tidak terjebak dalam primodialisme agama namun menjadi cerdas dan bijak dalam beragama.
Pertama, kematangan moral akan terjadi jika kesadaran dan tanggung jawab yang kita bangun bersumber pada hati nurani. Atau dalam alur pikir Magnis-Suseno, moralitas merupakan disposisi hati nurani untuk melakukan kebaikan.
Kedua, moral beragama mengandaikan pendidikan agama yang diperoleh berdampak positif terhadap perilaku penganutnya. Namun pertanyaannya, sistem pendidikan yang macam mana?
Basis utama keberhasilan pendidikan agama yang bermoral ialah manusia tidak terjebak dalam fanatisme agama, ekslusifisme agama dan konservatif.
Tujuan pendididkan agama ialah membantu setiap anak didik agar menjadi kritis terhadap klaim-klaim kebenaran yang dianut dan mengakui rasionalitas dan kebenran dari agama lain.
Yang perlu dikembangkan adalah menumbuhkan sikap kritis, cerdas, empati dan memberi ruang bagi penganut agama lain untuk mengekspresikan motivasi religiusnya. Moral beragama berarti kokoh terhadap agama sendiri tetapi sekaligus terbuka terhadap pluralitas.
Ketiga, sistem regulasi yang adil dari pemerintah. Di sini, regulasi yang adil berkaitan dengan terjaminnya hak-hak masyarakat seperi yang tertera dalam Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 29 ayat 2.
Diberlakukannya perda-perda berbau agama merupakan salah satu contoh praktik ketidakadilan yang mengancam kebebasan manusia.
Mengutip ungkapan K. Bertens, menghormati hak-hak sesama merupakan tuntutan etis yang sangat diperlukan. Untuk itu, kesadaran moral yang dibangun tidak hanya terbatas pada pengakuan hak individu saja tetapi juga hak orang lain.
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero