Oleh: Viktorius P. Feka
Alumnus Prodi S2 Linguistik UGM
Pelbagai berita bohong (hoaks), penistaan, penghinaan, provokasi, dan serupanya yang berseliweran di media massa, baik media arus utama maupun media sosial, membuat saya prihatin. Prihatin memikirkan kata yang sedemikian buruk digunakan untuk kepentingan buruk pula.
Kata, salah satu satuan lingual dalam ilmu bahasa—secara umum boleh disebut juga sebagai bahasa, tak sesuci sebagaimana ia awalnya ada. Kata tak digunakan lagi untuk menyebar kebaikan, tapi lebih dari itu untuk menyebar kejahatan.
Kata-kata digunakan untuk mengadu domba dan memecah-belah kerukunan antarsesama umat manusia. Kata sepertinya telah dikutuk menjadi pedang pembunuh, yang siap menikam lambung toleransi.
Membunuh dengan kata rupanya telah menjadi sarana efektif-efisien lantaran tak begitu banyak biaya, waktu, dan tenaga yang dihabiskan.
Lagi pula, kemajuan teknologi saat ini pun telah turut membantu melancarkan pembunuhan kemanusiaan dengan kata. Inilah fakta yang tengah mengerumuni dunia kata. Fakta dan kata disandera kejahatan.
Kejahatan manusia terhadap kata seperti ini, oleh Yuval Noah Harari (2018:253), disebut sebagai homo sapiens post-truth—spesies manusia yang hidup di era pascakebenaran, yang kekuatannya bergantung pada penciptaan dan keyakinan pada fiksi.
Fiksi yang dimaksudkan di sini secara metaforis dapat ditafsirkan sebagai pengemasan dan penyebaran kata kepada khalayak secara tunafaktual, tak berdasarkan fakta, sehingga yang ada hanyalah kebohongan.
Kebohongan disebar luas dengan intensi khusus, bisa saja, misalnya untuk menghujat, menghasut, memfitnah, menghina, ataupun untuk memengaruhi publik untuk memercayai penyebaran berita kebohongan sebagai berita kebenaran.
Metode ampuh ini jauh sebelumnya telah ditawarkan Joseph Goebbels, maestro propaganda Nazi dan mungkin penyihir media paling sukses di era modern. Ia pernah menyatakan bahwa ‘kebohongan yang diceritakan sekali itu tetap kebohongan, tetapi kebohongan yang diceritakan seribu kali akan menjadi kebenaran’ (lihat Harari, 2018:257). Mungkin pernyataan inilah yang dipegang teguh para penjaja kata untuk mendandani fakta dengan kata-kata tak benar.
Padahal, bila menengok kisah penciptaan jagat raya (alam semesta) beserta isinya, Allah hanya berfirman (berkata) (bdk, Kejadian 1:1-31). Allah menggunakan kata secara luhur nan suci untuk menghadirkan atau mengubah yang tiada menjadi ada. Sebab, memang pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah (bdk, Yoh: 1-1). Bila Firman itu adalah Allah, kata tak pernah kotor karena Firman itu suci adanya.
Namun, yang terjadi saat ini adalah Firman dilumuri dengan noda kebatilan. Firman, yang juga diterjemahkan sebagai kata, digunakan secara semena-mena untuk kepentingan yang semena-mena pula. Kata tidak digunakan lagi untuk saling memuliakan, tapi untuk saling merendahkan.
Tak heran bila dunia kata saat ini kian disesaki tumpukan kata-kata kotor. Bila berselancar ke dunia media massa akan didapati pelbagai berita mengenai penodaan atau penistaan terhadap kata. Kata diperalat untuk berbohong, menista, menghujat, menghasut, dan semacamnya.
Kata tak lagi digunakan untuk menumbuhkan kedamaian, tapi untuk menumbuhkan kebencian. Kata tak lagi digunakan untuk saling meneduhkan dengan rimbunan tenggang rasa (tepa salira), tapi untuk menyemaikan benih umpatan.
Dalam diskusi tentang asal-usul bahasa oleh para filsuf, misalnya, kaum bahasa berpendapat bahwa bahasa itu berasal dari Tuhan. Tuhan telah melengkapi pasangan manusia pertama: Adam dan Hawa, dengan kepandaian untuk berbahasa (lihat Chaer, 2015:48).
Secara historis-religius, saya kira, pendapat itu bisa benar atau dibenarkan ketika manusia pertama belum jatuh dalam dosa. Pada masa itu, bahasa masih suci. Bahasa masih digunakan untuk saling memuliakan, selain memang bahasa digunakan manusia pertama untuk menamai segala sesuatu yang ada di jagat raya.
Bahasa tak digunakan untuk menyebar kejahatan. Bahasa yang diberikan Tuhan kepada manusia pertama itu suci adanya. Bahasa pertama yang digunakan manusia pertama untuk saling berkomunikasi mulai bernoda dosa ketika bahasa itu disalahgunakan untuk melawan perintah Tuhan dengan berbohong, tuding-menuding.
Manusia pertama yang jatuh dalam dosa dengan memetik buah terlarang, buah pengetahuan yang diharamkan Tuhan, mulai menyimpangkan hakikat bahasa untuk berdosa. Secara asali, kesucian bahasa mulai berlumur kebatilan dari kejatuhan manusia pertama dalam dosa. Manusia pertama menggunakan bahasa untuk berlaku jahat. Jadi, dosa asal pada manusia pun berkait erat dengan dosa penyalahgunaan kata (bahasa).
Itulah sebabnya, seorang filsuf Jerman, Von Herder, menyatakan dengan tajam bahwa bahasa tidak mungkin berasal dari Tuhan karena bahasa sedemikian buruknya tidak sesuai dengan logika karena Tuhan Maha Sempurna (lihat Chaer, 2015:48).
Von Herder mengemukakan pendapatnya demikian karena memang bahasa manusia saat ini lebih cenderung digunakan untuk berbuat jahat. Bahasa digunakan secara sekongkol untuk memenuhi kepentingan jahat. Bahkan, bahasa digunakan dengan kode-kode khusus-berahasia demi kepentingan jahat.
Logika bahasa berasal dari Tuhan mesti dipatahkan Herder karena bahasa telah digunakan untuk mengkhianati Tuhan. Bahasa sesungguhnya adalah roh suci yang ada dalam diri setiap manusia. Karena bahasa adalah roh suci, tak ada padanya kata-kata buruk. Yang ada hanyalah kata-kata yang menyejukkan.
Di suatu media massa (Abadi, 1971), Kang En (lihat Soeparno, 2013:16-17) menulis sebuah artikel yang agak provokatif dengan judul “Bahasa yang Merusak Mental Bangsa”. Tulisan ini tampaknya bertolak dari hipotesis Sapir-Whorf.
Ada tiga persoalan yang dikemukakan oleh Kang En, yaitu
(1). Masalah kata sapaan. Di sini dikemukakan bahwa kata sapaan formal dalam bahasa Indonesia seperti “Bapak”, “Ibu”, dan “Saudara” ternyata meminjam dari perbendaharaan kata yang menyatakan hubungan kekerabatan, yaitu “bapak”, “ibu”, dan “saudara. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat pemakainya memiliki sifat familiar dan nepotisme,
(2). Masalah kala. Bahasa Indonesia tidak memiliki penanda kala, sehingga masyarakatnya sering tidak menghargai waktu atau tidak disiplin dibanding masyarakat lain yang memiliki kala dalam bahasanya.,
(3). Salam. Salam di Indonesia yang paling popular adalah “Apa kabar?” atau “Halo, apa kabar?”. Yang menjadi persoalan adalah samakah perilaku bangsa yang menggunakan salam “Apa kabar?” dengan perilaku bangsa yang menggunakan salam “How do you do?”. Pemakain kata “do” di sini memiliki sugesti kepada penuturnya untuk melakukan sesuatu, seperti membaca buku, sedangkan “apa kabar” memiliki sugesti kepada penuturnya untuk “memburu berita” alias hanya “ngobrol”.
Contoh di atas menggambarkan betapa bahasa begitu kuat dalam memengaruhi perilaku, kebiasaan, dan tabiat masyarakat penutur suatu bahasa tertentu. Bahasa memengaruhi budaya masyarakat. Contoh itu seakan menguatkan hipotesis Sapir-Whorf di tahun 1971 ketika Kang En menulis artikel tersebut.
Lalu, bagaimana dengan kondisi sekarang? Apakah memang hipotesis Sapir-Whorf juga masih tampak dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia? Hemat saya, hipotesis Sapir-Whorf masih berlaku dalam konteks Indonesia saat ini.
Andaikan saja Sapir-Whorf ada di Indonesia saat ini, mereka tentunya akan menepuk dada karena hipotesis mereka mengancangi kebenaran. Soal utamanya adalah bahasa seakan menjadi penggerak segala aktivitas manusia Indonesia. Apapun yang dikerjakan atau dilakukan dikontrol ketat oleh bahasa.
Maka, tawaran sederhana, walau rada abstrak, guna mengembalikan “roh suci” kata (bahasa) adalah dengan merohanikan kata itu sendiri. Menjadikan kata meroh suci dalam penggunaan dan penuturannya.
Salah satu jalan suci dari delapan jalan suci Buddhisme, yaitu kata-kata yang benar (lihat Snijders, 2006:44) patut dijalankan. Berkata benar sesungguhnya merupakan roh suci dari kata itu sendiri, yang tak boleh diubah ke dalam kata-kata batil. Sebab, menurut Buddhisme, setiap orang yang meniadakan keinginan atau meniadakan egonya, misalnya untuk berkata batil, disebut “orang yang diterangi” (Buddha) dan setiap orang yang diterangi akan menyatu dengan Kenyataan Mutlak atau Kebenaran (Tathata) (lihat Snijders, 2006:45).