Kupang, Vox NTT – Sejumlah elemen masyarakat Kota Kupang yang tergabung dalam ‘Gerakan Masyarakat NTT Tolak Revisi UU KPK ‘ menggelar aksi demonstrasi di Kantor DPRD NTT, Senin (16/09/2019).
Kedatangan puluhan masyarakat itu untuk menolak revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) beberapa waktu lalu.
Pantauan VoxNtt.com, aksi demonstrasi itu dimulai dari depan Kantor Gubernur NTT, Jalan El-tari, Kota Kupang menuju Kantor DPRD NTT.
Saat tiba di Kantor DPRD NTT, mereka diterima langsung oleh Ketua Sementara Yunus Takandewa dan Wakil Muhammad Ansor.
Tak hanya itu, tampak hadir pula perwakilan dari seluruh fraksi DPRD NTT
Koordinator umum aksi Primus Nahak mengatakan, ‘Gerakan Masyarakat NTT Tolak Revisi UU KPK’ turun ke jalan untuk menyikapi persoalan bangsa dan Negara.
”Korupsi yang telah terjadi secara meluas, sistematis, dan kolutif telah merugikan keuangan Negara, perekonomian nasional, dan menghambat pembangunan nasional, sehingga dalam upaya pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien diperlukan kerja sama erat antara seluruh eleman masyarakat,” ujar Primus.
KPK sebagai lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang nomor 30 tahun 2002 kata dia, dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberanatasan tindak pidana korupsi. Dengan kehadiran KPK membuat para koruptor takluk dan dihukum.
”Namun, saat ini para elit anggota DPR RI dan Presiden RI memiliki niat busuk untuk melemahkan lembaga KPK agar tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemberantasan korupsi dengan merevisi UU KPK dengan menggantikan pasal-pasal yang tidak memilki kekuasaan,” jelasnya.
Pasal-pasal yang tidak memiliki kekuasaan itu jelas dia, di antaranya:
Pertama, indenpendensi KPK terancam. Menurutnya, draf RUU KPK mengatur seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil Negara, yang terdiri dari pegawai pemerintahan dengan perjanjian paruh waktu dan pegawai negeri sipil (PNS). Pegawai tetap non PNS KPK atau lazim dikenal pegawai internal bakal menyandang status PNS.
“Hal ini dinilai akan menghilangkan indenpendensi pegawai karena kenaikkan pangkat dan pengawasan akan berkoordinasi dengan kementrian terkait,” kata Primus.
Kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi. Itu kata dia, bila revisi UU disetujui, maka KPK harus memohon izin ke dawan pengawas untuk melakukan penyadapan, bahkan penggeledahan dan penyitaan.
Dikatakan Dewan pengawas terdiri dari lima anggota yang dibentuk oleh DPR atas usulan Presiden berpotensi memiliki konflik kepentigan.
“Kontrol yang dimiliki dewan pengawas dan juga berpotensi membuat operasi tangkap tangan KPK bocor. Soal penyadapan ini diatur dalam revisi UU KPK pasal 12 B, 12 C, pasal 37 B dan E,” tutur Primus dalam pernyataan sikap yang diterima VoxNtt.com.
Ketiga, dewan pengawas. Ia mengatakan, DPR kembali mengusulkan adanya dewan pengawas KPK.
“Dewan pengawas ini adalah reprsentasi pemerintah dan DPR yang ingin ikut campur terhadap KPK proses pemilihan mirip dengan seleksi calon pimpinan KPK menggunakan panitia seleksi. Maski hal ini ditolak berkali-kali dalam upaya revisi UU KPK,” katanya.
Keempat, sumber penyidik dan penyelidik dibatasi. Menurut Primus, draf RUU, KPK hanya berwenang mengangkat penyidik dan penyelidik dari kepolisian serta kejaksaan.
“Hal ini melanggar ini melanggar putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 yang memberikan wewenang kepada KPK untuk mengangkat sendiri penyidiknya,” tandasnya.
Kelima, harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Ia menyatakan, draf mengatur bahwa proses penuntutan perkara korupsi berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, sehingga KPK tak independen lagi dalam menjalankan fungsinya.
“Ini adalah sebuah kemunduran, karena KPK hanya sebagai lembaga yang menggabungkan dalam tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap,” kata dia.
Keenam, atensi publik tidak lagi jadi kriteria. Dalam RUU kata Primus, KPK hanya berwenang menangani kasus yang meresahkan publik dengan membatasi kerugian Negara sebanyak 1 miliar.
“Hal ini bakal menyulitkan KPK dalam menangani kasus suap,” tegasnya.
Ketujuh, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ia menegaskan, kewenangan KPK menerbitkan SP3 termakktub dari draf RUU KPK pasal 70 huruf C. Itu menganggap adanya kewenangan menghentikan penyidikan atau SP3.
Baca: Presiden Jokowi Tolak Empat Usulan Revisi UU KPK
“Hal ini justru akan berdampak negatif dalam penanganan kasus. Kalau ada SP3, akan ada langkah politik yang bisa ditempuh supaya mendapatkan surat tersebut,’ imbuhnya.
Kedelapan, wewenang supervisi KPK dipangkas. Draf RUU KPK kata dia, menyatakan KPK hanya boleh mengambil alih penyidikan kasus korupsi yang ditangani oleh Polisi dan Jaksa.
Baca: Jokowi Sebut KPK Perlu Dewan Pengawas untuk Tangkal Penyalahgunaan Wewenang
“Sementara dalamaturan saat ini, KPK dapat mengambil alih kasus korupsi dari tahap penyidikan dan penuntuta,” tegas Primus.
Kesembilan, kewenangan KPK dalam mengelola LHKPN dibatasi. Draf RUU lanjut dia, membatasi KPK untuk hanya melaksanakan supervisi dan koordinasi atas pelaksanaan, pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara Negara.
Ia menambahkan, dalam proses pengajuan nama calon anggota KPK oleh presiden ke DPR RI dan sekarang telah dipilih menjadi ketua KPK (Irjen Pol. Firli Bahuri) memiliki cacat hukum.
“Karena telah secara nyata melakukan pelnggaran kode etik berat ketika masih menjadi Direktur penindakan KPK,” tutup Primus.
Menanggapi tuntutan itu, Ketua Sementara DPRD NTT Yunus Takandewa mengatakan, aspirasi ini tentu akan ditindaklanjuti ke pimpinan DPRD NTT terpilih nanti.
“Sambil menunggu pimpinan DPRD NTT definitif. Aspirasi ini tentunya kami akan serahkan ke pimpinan definif nantinya,” kata Politisi PDIP itu.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba