Borong, Vox NTT-Sudah sekian lama Tobias Akut dan keluarga tinggal di sebuah rumah reyot di Desa Rana Kolong, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim)- Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tempat tinggal itu bak rumah panggung yang hanya beralaskan pelupuh, beratap bambu dan berdinding pelupuh. Di beberapa bagian dinding sudah berlubang, begitu pula atapnya.
Terkadang Tobias hanya memanfaatkan karung atau terpal untuk menutupi lubang-lubang itu.
Rumah Tobi demikian lelaki 65 tahun itu disapa, cukup jauh dari pemukiman warga.
Kendati demikian, Tobi dan sang istri Yani Lusia Ndelos tetap memilih menghabiskan waktu di tempat itu. Mengadu, mengais rezeki dan menggapai mimpi-mimpi dari anak-anak mereka.
“Kami tidak punya tanah di sini. Ini tanah keluarga dari istri saya. Kami mati hidup di sini,” ucap Tobi kepada VoxNtt.com saat ditemui di kediamannya belum lama ini.
Wajah sedih pun tergambar dari paras keduanya ketika menceritakan tentang ziarah hidup yang dialami.
Sejak memilih hidup sebagai pasangan suami istri (Pasutri), Tobi dan Yani dikaruniai 9 orang buah hati.
Namun, satu di antara 8 orang lainnya merupakan penyandang disabilitas. Namanya Ristan Akut. Ia lumpuh sejak terlahir pada 13 September 2003 silam.
Hari-harinya bocah 16 tahun itu mengahabiskan waktu di kamar dan di halaman rumahnya.
Terkadang dia hanya seorang diri. Itu ketika sang ayah, ibu dan adik-adiknya pergi ke hutan untuk mencari kayu.
Kayu-kayu itu pun dikumpulkan. Bila masih mentah kulitnya dikupas, dikeringkan lalu dijual kepada masyarakat.
Satu ikat kayu dijual Rp 10.000. Bila rezeki mereka bisa mendapatkan uang Rp 500.000 untuk tiap bulannya.
Dikisahkan, suatu hari Tobi, istri dan ke-8 anaknya pergi mencari kayu di hutan. Ristan hanya seorang diri di rumah. Namun, ketika mereka pulang dan tiba di rumah putranya itu hilang entah ke mana.
“Kami sangat takut dan kaget waktu itu, tetapi anehnya waktu kami cari kami ketemu dia di dekat pohon bambu. Kami semua heran mengapa dia ada di sana waktu itu,” kisah Tobi.
Kayu adalah sumber dan tumpuan hidup bagi mereka sekeluarga. Bila tidak, anaknya akan “lapar”, tragisnya lagi ke-6 anaknya yang kini masih mengenyam pendidikan harus berhenti dari sekolah.
Jual Jamur
Paskalis Tehario merupakan anak ke-5 dari Tobi dan Yani. Bocah kelahiran 30 Mei 2011 ini tengah mengenyam pendidikan dasar di Kampung Wojang.
Namun demikian, bocah 8 tahun ini memilih cara lain agar bisa membantu orangtuanya.
Seusai pulang sekolah Tehario ditemani adiknya Irenius Jenon pergi ke hutan untuk mencari jamur.
Jamur ini pun mereka jual Rp 10.000-Rp.15.000. Variasi harga itu pun dikarenakan ukuran jamur mereka yang dapat.
“Kadang dapat kadang tidak, tergantung rejeki kaka. Kaka bantu kami e.,” ucap Jenon.
Tidak Pusing
Tobi dan Yani tak peduli dengan masa lalu dan kehidupan yang mereka yang alami saat ini. Tujuan hidup berfokus pada kebutuhan pokok dan pendidikan anak.
“Tidak apa-apa kami sebagai orangtua mereka makan pisang atau ubi tapi anak kami harus makan nasi,” ucap Tobi.
Bahkan Tobi memaksa anak-anaknya itu untuk tetap sekolah. Mimpinya hanya satu, berharap kelak mereka bisa mengubah keadaan keluarga.
Sesekali ia juga memaksa dirinya untuk bekerja, walau dalam kondisi tidak sehat. Beban hidup menjadi tanggungan walau penuh tantangan.
“Ini saja pekerjaan kami, tidak ada pekerjaan lain, semoga ada yang bisa membantu anak-anak kami,” imbuh Tobi.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba