Oleh: Fransiska C. Kurniati
Mahasiswa UNDANA Kupang
Setiap bulan September kita memperingati bulan “Gemar Baca dan “Hari Kunjung Perpustakaan.” Lalu pertanyaan yang muncul, sejauh mana kita memaknai bulan gemar baca dan kunjungan perpustakaan ini?
Menurut hemat saya, salah satu bentuk pemaknaan akan bulan gemar baca dan kunjungan perpustakaan ini ialah penanaman semangat membaca dalam diri anak sejak dini.
Maka tulisan ini hendak mengupas peran orangtua dalam membangun semangat baca dalam diri anak. Maka keluarga menjadi sekolah pertama bagi anak-anak. Tugas orangtua ialah membimbing anak-anak menjadi pribadi yang mencitai buku.
Cara ini sangat baik dalam proses pembentukan dan pendidikan anak-anak dalam keluarga. Kelak anak-anak mengerti akan pentingnya semangat baca buku. Sebab setiap orang yang mau menulis mesti dilandasi oleh semangat membaca buku.
Franz-Magis Susesno dalam buku “Membangun Kualitas Anak Bangsa” menegaskan bahwa setiap orang yang memiliki kemampuan menulis mesti diawali dengan sebuah semangat baca yang tinggi.
Ada suatu proses “membukukan manusia” atau “memanusiakan buku” (Suseno, `1997:20). Artinya buku mesti dilihat sebagai suatu benda yang mampu mencerahkan manusia demi kemajuan bangsa.
Konsep ini kemudian dapat dijabarkan dalam kerangka pembentukan dan pendidikan manusia secara utuh. Secara sederhana buku merupakan salah satu media pemanusiaan manusia. Peradadaban manusia juga sangat ditentukan oleh pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan yang berkualitas hanya mungkin ketika ada kesadaran umum bahwa buku menjadi salah satu titik dasar kemajuan bangsa. Hanya dengan semangat literasi yang kuat anak-anak bangsa dapat maju dan mampu bersaing di ranah global.
Kendala
Namun ada berbagai masalah yang dihadapi dalam menumbuhkembangkan minat baca pada anak dalam keluarga.
Pertama, kekurangan buku bacaan dalam rumah. Kekurangan bacaan dalam rumah sangat mempengaruhi pola minat baca anak. Anak selalu dihadapkan dengan budaya lisan. Secara sosio-kultural masyarakat NTT pada umumnya memiliki semangat budaya lisan yang tinggi. Akibatnya anak-anak tidak dilatih dengan budaya baca.
Kedua, perhatian orangtua terhadap anak sangat minim. Hal ini salah satunya dipicu oleh himpitan ekonomi. Persaingan ekonomi yang cukup ketat membuat sebagian besar orangtua harus bekerja keras.
Akibatnya mereka tidak memperhatikan secara penuh pendidikan anak. Hal ini kita rasakan di daerah-daerah terpencil. Orangtua-orangtua yang sehari-harian mengais rejeki di kebun atau di pasar tentu memiliki waktu sedikit dengan anak-anak. Pergi pagi, pulang malam. Artinya, persiapan dan bimbingan terhadap anak di rumah sangat sedikit.
Ketiga, anak-anak semakin berminat pada TV dan game HP. Semangat anak-anak untuk nonton TV cukup signifikan. Pulang sekolah langsung di depan TV. Berbagai hiburan di TV membuat anak-anak terhipnotis dengan fantasi dan hiburan yang kurang bermanfaat. Ada berbagai tayangan hiburan yang mampu melemahkan daya pikir anak.
Di samping itu, tidak adanya kontrol terhadap penggunaan HP pada anak-anak usia dini menyebabkan mereka berkembang ke arah yang salah. Game HP lebih menarik dibandingkan dengan buku-buku.
Keluarga: Solusi Konstruktif
Kenyataaan di atas tentunya membutuhkan solusi yang konstruktif. Solusi yang saya tawarkan ialah membangun literasi dalam keluarga.
Keluarga menjadi rumah baca pertama dan utama sebelum anak mendapatkan pendidikan di sekolah. Sudah sekian lama kita terjebak dalam logika yang salah, bahwa sekolah yang menggerakan semangat baca anak. Bahkan tidak jarang kita temukan para pegiat literasi menyerukan penanaman semangat baca di sekolah. Membumikan literasi di sekolah-sekolah! Padahal sekolah pertama dan utama anak-anak ialah rumah dan keluarga.
Maka konsep tentang literasi sekolah, kita balikkan menjadi literasi rumah. Sekolah hanya manjadi tempat lanjutan untuk mengembangkan semangat baca pada anak. Maka tugas orangtua ialah mempersiapkan bahan-bahan bacaan bagi anak. Tujuannya ialah untuk memberikan suatu pengaruh bagi pembentukan jiwa dan karakter membaca buku dalam diri anak.
Orangtua kemudian berperan aktif dalam mengontrol anak-anak di rumah. Betapapun sibuk, orangtua mesti berperan dalam pendidikan anak. Orangtua juga mesti mengontrol penggunaan TV atau HP bagi anak-anak. Baik TV maupun game HP merupakan alat yang membelenggu cara berpikir dan imajinasi anak.
Perhatian orangtua tentu mengefektifkan proses belajar dan perkembangan anak. Karena itu orangtua mesti mempunyai pemahaman dan orientasi yang jelas terhadap pendidikan anak.
Hal yang perlu dilakukan ialah dengan menyiapkan buku-buku menarik sesuai usia dan minat anak. Degan paradigma literasi keluarga seperti ini, kita mencoba untuk melahirkan pribadi-pribadi yang cerdas.
Di samping itu, peran pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sangat penting. Pemerintah mesti terlibat dalam menyumbangkan buku-buku bagi masyarakat yang kurang mampu, terutama di daerah terpencil.
Sebagian besar orangtua di daerah-daerah terpencil seluruh NTT merindukan anak-anaknya cerdas dan sukses. Namun, akses mereka terhadap bahan-bahan bacaan sangat minim. Anak-anak di daerah terpencil mengharapkan uluran tangan dari pemerintah dalam proses belajar mereka.