*) CERPEN Rio Berchmans
Siang itu udara terasa panas. Cucuran keringat membasahi sekujur tubuh. Lelaki yang memiliki tubuh kecil nan kurus itu tengah menghela jalanya ke daratan. Rupanya tangkapan hari ini tidak seberuntung hari kemarin.
Nama lelaki itu adalah Samsudin. Ia mempunyai seorang anak laki-laki. Samsudin adalah satu-satunya orang tua yang tersisa setelah istrinya minggat saban hari. Ia berusaha menyembunyikan segala luka dan pedih dari anaknya bahwa sebenarnya ia tidak mampu lagi menjalani hidup ini apalagi membiaya hidup dan pendidikan anaknya.
Tapi, demi ketulusan cinta dan janji suci yang ia sumpahi di depan mayat istrinya, ia pun melakukan banyak cara guna mendapatkan uang demi membiayai pendidikan anaknya tersebut.
Diantara para kerabatnya, Samsudin dikenal sebagai lelaki pendiam namun suka senyum dan suka menolong sesama. Ia memang miskin, tapi keadaan itu tidak menjadikannya sebagai penghalang dalam membantu orang lain. Suatu hari ia pernah dikatai kerabatnya, “Samsudin, mendingan kau batalkan saja anak kau melanjutkan pendidikannya. Kau panggil dia pulang, ikut bantu kau menangkap ikan. Anakmu sarjana, ujung-ujungnya jual ikan, lagi pula perangainya macam setan saja. beda sekali dengan kau.”
Namun, ayah dari anak itu tidak mengambil hati dengan semua celoteh ngawur kerabatnya. Ia tetap tersenyum. Ia justru menjadikan hinaan itu sebagai penyemangat untuk mencari uang. Keyakinan lelaki kurus kerempeng itu cuma satu, melihat anaknya berdiri di atas podium sambil berapi-api memberikan pidato. Samsudin ingin sekali anaknya menjadi politisi hebat yang mengatakan kepada orang-orang bahwa kesuksesan dan kejujuran merupakan sapu tangan menghapus lelah orang tuanya, Samsudin. Cuma itu.
***
Pada suatu hari yang indah, ketika matahari baru saja menapaki kaki di ufuk timur, saat si jago baru saja berkokok membangunkan seisi kampung. Samsudin yang tadinya menyiapkan jala, tiba-tiba ia didatangi Jokro, hansip kampung. Jokro membawa sepucuk surat di tangannya. Surat itu rupanya baru saja tiba setelah kapal Samoedra berlabuh di dermaga yang letaknya lumayan jauh dari gubuk Samsudin.
Surat itu merupakan surat dari anaknya yang tinggal jauh di negeri seberang sana. Samsudin pun segera menerima surat itu dari Jokro. Demi menerima surat itu, hati Samsudin yang sebelumnya gundah, girang tak kepalang. Diciumnya surat itu berkali-kali. Ia senang sekali setelah beribu-ribu rindunya itu terbayar dengan kehadiran sepucuk surat dari anaknya. Ia rindu sekali. Akan tetapi, rupanya Samsudin buta huruf. Ia tidak tahu maksud tulisan yang dibuat oleh anaknya. Namun, ia tidak berkecil hati. Dibukanya surat itu dengan penuh hati-hati, lantas diberikannya kepada Jokro guna membaca isi surat itu. Baca pertama, Samsudin kurang puas. Dimintainya lagi si Jokro untuk mengulanginya kembali.
Kemudian disuruhnya Jokro berhenti sejenak, Samsudin teringat dengan sesuatu lantas lari ke dalam rumah, diambilnya perahu tua yang ia buatnya sendiri sebagai hadiah ulang tahun ke-8 anaknya kala itu. Ia memeluk surat dan perahu tua tersebut erat-erat. Air mata Samsudin pun jatuh. Ia yakin bahwa cepat atau lambat, ia akan segera membalas surat dari anaknya.
***
Segala musim telah berlalu. Angin timur kembali ke barat. Pecahan ombak di antara bebatuan karang kembali tenang, itik laut bergerak dengan malas. Matahari seperti biasanya menghadirkan sepotong cahaya yang masuk di antara cela-cela gubuk reotnya. Semuanya seperti biasa. Namun, tidaklah demikian dengan Samsudin. Ia yang sehari-harinya bersemangat kini terasa sepi.
Setelah surat yang ia terima terakhir kali dari anaknya itu, Samsudin tak pernah lagi mendengar kabar tentang dia. Samsudin yang sebelumnya periang, sekarang mulai murung. Rumahnya yang di pinggir pantai tak lagi terawat, kubur istrinya di samping rumah menjadi sarang ayam tetangga. Kumis Samsudin yang dulunya dicukur rapi kini tumbuh tak teratur. Persisnya seperti hutan lebat. Semuanya menjadi buruk. Samsudin kini gila.
Kabar tentang Samsudin gila tersiar di seluruh kampung, kerabatnya nimbrung dan bingung. Segala cara telah mereka buat, tapi Samsudin semakin menjadi-jadi. Kerabatnya mencari dukun sakti mandraguna, tapi di depan samsudin ilmu sakti mandraguna sang dukun seakan dipertanyakan. Berbagai jenis obat didatangkan, alhasil samsudin semakin tak waras.
Hingga, suatu ketika munculah ide berlian dari tetua kampung. Idenya adalah mendatangkan anak yang mirip dengan anak samsudin. Selang beberapa waktu, setelah persiapan itu telah matang, tibalah saatnya anak tipuan itu dihadapkan kepada Samsudin. Melihat anak itu, Samsudin, yang awalnya gila tiba-tiba senyum sumringah. Dipeluk dan diciumnya anak itu berkali-kali. Kepala kampung terkekeh melihat samsudin kembali menampakan wajah gembira serta senyumnya yang khas. Orang-orang kampung senang bukan main.
Apalah daya, meski Samsudin gila namun ia masih mengenal anak kandungnya. senyum itu hilang lenyap setelah samsudin mengetahui bahwa anak itu bukanlah anaknya. Samsudin kembali gila. Tetua kampung dan orang-orang kampung yang sebelumnya tersenyum lebar tiba-tiba berubah menjadi sedih. Sumringah mereka segera menjadi ratapan. Samsudin rupanya telah mencapai gila nomor wahid.
Kegilaan Samsudin pun menjadi keresahan bersama warga kampung. Bahkan, pada titik tertentu, orang-orang kampung pasrah. Topik pembicaraan tentang keprihatinan terhadap samsudin kini tak terdengar lagi. Sebaliknya, di balai-balai bambu tempat orang berkmpul, keprihatinan itu justru menjadi bahan lelucon bersama. Jika Samsudin lewat, orang-orang kampung mengejeknya. Tertawa terpingkal-pingkal. Dan pada tempat lain ia dilempari batu. Samsudin terluka.
Saking terbiasanya, Samsudin menganggap hal itu biasa saja. Sesungguhnya, dalam hati kecil Samsudin menyimpan keyakinan bahwa anaknya akan pulang.
***
Dan pagi ini, Samsudin ditemukan meninggal di gubuk reotnya, kakinya yang mungil tergeletak di atas balai yang sudah lapuk dimakan rayap, sementara tubuhnya yang kecil ditahan oleh sebatang tiang penyangga. Sedangkan, tangannya yang lain mendekap perahu tua hadiah untuk anaknya. Banyak lalat bertebaran sana sini mungkin karena aroma tak sedap dari luka samsudin yang kini mulai membusuk. Sungguh mengenaskan. Ia diduga meninggal beberapa hari yang lalu lantaran ia kelaparan, dan karena sakit oleh sebab luka yang tidak dijahit. Sebetulnya juga ia meninggal karena tak kuasa menahan sepi. Adalah lebih baik baginya segera pergi dari dunia ini daripada membebankan orang lain, terlebih khusus untuk anaknya.
Mendengar Samsudin meninggal, orang-orang kampung tumpah ruah memenuhi gubuk dan halaman gubuk itu. Tak ada air mata yang mengiringi kepergian Samsudin. Orang-orang hanya berbisik satu sama lain. “kasihan..”
Adalah si jokro, yang mengetahui secara pasti penyebab kegilaan sampai kematian Samsudin. Hanya saja ia menyembunyikan berita itu dari warga kampung. Ia takut jika ia terlanjur jujur, warga kampung akan melemparai dia dengan batu karena dituduh menfitnah. Kalian tahu apa isi surat itu? Beberapa waktu lalu, ketika Samsudin meminta Jokro membaca surat dari anaknya, Jokro sangat kaget bahkan tak percaya jika anak yang dibesarkan oleh ketekunan Samsudin hari itu akan ditembak mati lantaran telah terbukti mencuri uang negara. Sebetulnya, anak itu sudah menjadi “orang” di negerinya, hanya saja anak yang tidak tahu diuntung itu lupa rimbanya.
Bagi Samsudin, ini menjadi malapetaka, ia tidak tahan dengan berita tersebut. Hidupnya seakan sia-sia. Baginya, gila adalah cara terbaik menutup malu, dan mati merupakan langkah mendesak menghilangkan jejak.
*Penulis tinggal di Ritapiret.