Kupang, Vox NTT-Eleman masyarakat yang tergabung dalam forum Masyarakat NTT Penjaga NKRI, menggelar aksi bertajuk Rapat Akbar di Taman Nostalgia Kupang, Kamis, (03/10/2019).
Forum ini terdiri dari para rektor dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kota Kupang serta elemen masyarakat.
Lewat aksi tersebut, mereka berkomitmen mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Joko Widodo –Ma’aruf Amin.
Sejumlah tokoh masyarakat NTT yang hadir dalam rapat akbar ini diantaranya mantan Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Rektor Undana Fred Benu, Rektor Unkris Arta Wacana, Ayub Meko, Rektor Muhammadiyah Zainur Wula dan Rektor Unika Widya Mandira, Philipus Tule.
Pada kesempatan itu, mereka mendeklarasikan lima butir pernyataan sikap untuk merespon kondisi bangsa yang belakangan cukup dinamis, diantaranya:
1. Bersama pemerintah yang sah berkomitmen menjaga keutuhan NKRI yang berideologi Pancasila
2. Kami menolak dengan tegas kehadiran organisasi atau kelompok yang berniat memporakporandakan NKRI dan mengganti ideologi Pancasila
3. Negara Indonesia adalah negara hukum, karena itu menyerukan seluruh eleman masyarakat untuk menegakkan konstitusi dan supremasi hukum
4. Mendukung pelantikan presiden dan wakil presiden atas nama Ir. Jokowi Widodo dan KH Maaruf Amin yang terpilih secara konstitusional
5. Menyerukan kepada suluruh elemen bangsa ini untuk menjaga ketertiban, keamanan, kenyamanan, persatuan dan kesatuan serta perdamaian bangsa.
Namun kehadiran forum ini mendapat kritikan pedas dari ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Kupang, Rio Banta.
Pasalnya menurut Rio, para mahasiwa yang tergabung dalam forum tersebut terkesan dipaksakan oleh surat edaran para rektor.
Anehnya, lanjut dia, beberapa waktu lalu para rektor ini juga mengeluarkan surat edaran kepada mahasiswa yang ingin menyelamatkan NKRI dari upaya pelemahan KPK dan beberapa RUU kontroversial lainnya.
“Inikan sudah inkonsisten. Sebelumnya mereka melarang mahasiwa turun ke jalan, tetapi hari ini mereka ramai berteriak di jalan menggunakan atribut kampus,” kata Rio dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Kamis (03/10/2019).
Seharusnya menurut dia, gerakan sosial seperti itu mesti dilandasi kesadaran dari setiap individu yang bergabung. Bukan karena keterpaksaan, apalagi diembel-embeli oleh surat edaran.
Rio juga mengeritisi sikap para rektor yang lantang berteriak Selamatkan NKRI, sementara realitas kehidupan masyakarat NTT saat ini menjauh dari spirit dasar lahirnya negara-bangsa Indonesia.
Pertama, terkait komitmen menjaga NKRI yang berlandaskan Pancasila, Rio menilai pernyataan sikap tersebut hanyalah pemanis mulut para rektor.
Dia membenturkan komitmen tersebut dengan realitas masyarakat NTT yang sampai saat ini masih dilanda kemiskinan, perdagangan orang, elit yang korup, serta ketimpangan sosial yang masih menganga.
Padahal kata dia, spirit dasar negara ini lahir karena adanya mimpi bersama untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan.
“Komitmen pada point pertama di atas justru paradoks dengan kondisi riil masyarakat NTT. Yang menjadi pertanyaannya, di mana peran kampus-kampus di NTT selama ini untuk memperbaiki kondisi sosial-masyarakat?” tuturnya.
Kedua, ia menyoalkan pernyataan sikap yang menyebut kehadiran organisasi atau kelompok yang berniat memporakporandakan NKRI dan mengganti ideologi Pancasila.
Pernyataan ini menurutnya perlu didukung oleh data yang akurat soal organisasi atau kelompok yang dituduhkan mengancam NKRI dan menggantikan Pancasila.
“Jangan sampai para rektor ini menjadi aktor perpecahan di tengah masyarakat dengan opini yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Mereka seharusnya menyebutkan organisasi apa dan bagaimana cara mereka merusak NKRI dan Pancasila. Ini yang harus dijelaskan biar tidak memicu ketegangan serta ketakutan sosial” tandasnya.
Rio juga menyoroti poin ketiga yang menyatakan komitmen para rektor untuk menegakan supremasi hukum.
Menurut dia, banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum di NTT yang absen dari perhatian kampus. Misalnya kasus penembakan Poro Duka di Sumba, ratusan kasus kematian TKI yang tidak diproses hukum, kasus pencaplokan wilayah kelola rakyat, kasus pengerusakan lingkungan, dan kasus korupsi yang sekarang menggempur desa-desa di NTT.
“Selama ini kampus jarang terlibat menyuarakan kasus-kasus ini. Jarang kita mendapatkan hasil kajian mereka. Lalu pada saat yang sama, mereka meneriakan selamatkan NKRI, bukankah itu malah menjadi ironi?” tuturnya.
Ia pun menyarankan agar para rektor ini menjaga NKRI dengan pendekatan kontekstual sesuai dengan masalah-masalah aktual dan faktual di NTT.
“Jangan sampai hanya sebatas wacana tetapi keterlibatan nyata kampus sebagai agen perubahan sosial dan penjaga NKRI, jauh panggang dari api,” tuturnya.
Rio juga menduga ada motif lain dari forum ini. Salah satunya, ajang pamer diri dari segelintir orang yang ingin dipandang penting oleh pemerintah pusat. Apalagi forum tersebut juga dihadiri oleh politisi.
“Kita patut menduga forum ini ditunggangi kepentingan politik segelintir orang” tuturnya. (VoN).