Oleh: Pius Rengka
Dunia sudah terbuka. Bahkan, keterbukaan informasi sungguh mengesankan. Dunia kini kian terasa kecil, meski tidak mengecil. Tetapi transparan, sebagaimana ruang kaca.
Informasi tentang peristiwa atau ucapan tokoh politik atau mereka yang diduga tokoh politik yang terjadi di pulau kecil Semau, tempat asal Gubernur NTT atau Pulau Sabu, tempat dari mana Walikota Kupang berasal, dapat segera dan lekas diketahui orang lain di Brasilia, atau bahkan didiskusikan kaum peduli NTT di Moscow Rusia dalam rentang jarak ruang wilayah nun jauh dan pola waktu persis berbeda.
Ketika di Kupang hari Senin, di Brasil sudah atau baru hari Kamis, dan di Rusia hari telah atau masih Minggu. Nama hari berbeda pada waktu yang juga berbeda meski kecepatan warta sampai sama.
Ketika kita di NTT hari Minggu tekun ke gereja mengikuti kotbah pastor atau pendeta dan disiarkan langsung melalui handphone pintar, saat bersamaan mereka yang tinggal di Brasilia sedang menonton main bola sepak dan teriak riuh di tepi stadion menyaksikan Neymar mengoceh lawan tanding. Sementara di Rusia, Presiden Vladimir Putin mungkin sedang memimpin sidang penting nan genting.
Informasi begitu lekas sampai. Bahkan segera tiba di belahan dunia dan negara berbeda tidak lebih dari tiga detik. Maka dalam era keterbukaan informasi di era revolusi industri keempat sebagaimana dialami hari ini, ucapan pejabat atau calon pejabat, mendunia atau ucapan itu pergi ke seluruh dunia dan dapat didengar ulang berulang-ulang, dibaca ulang atau terus dicermati ulang entah oleh kelompok sosial manapun.
Hanya ada satu ancaman. Informasi itu tidak segera sampai ke mana-mana dan di mana-mana jika listrik mati. Maka listrik itu penting, para pekerja di PLN amat sangat penting.
Kita membahas ucapan para tokoh politik. Tulisan yang mendokumentasi ucapan para tokoh politik, misalnya, tercatat. Sulit diubah jika sudah masuk ke wilayah kuasa digital.
Jejak digital dapat diunggah kembali oleh siapa saja. Terutama diunggah oleh mereka yang peduli. Dari jejak digital itulah kita, nantinya, menemukan diri kita sendiri. Apakah kita merasa sedang hidup berdampingan dengan para pecundang, tukang tipu atau pembohong ataukah kita sesungguhnya sedang bahagia hidup berdamai dengan aktor politik jujur yang setia pada kata-kata yang pernah diucap. Kata-kata yang datang, memang silih berganti, datang dan pergi. Tetapi, catatan kata-kata tetap menetap. Reaksi pun berbeda.
Jika ada tokoh serba marah-marah di Jakarta, dikira lelucon di Kupang, atau dikira membadut di Sabu, atau diduga bodoh di tempat lain. Reaksi berbeda atas ucapan yang sama atau peristiwa yang sama, menimbulkan aneka tafsir.
Para tokoh masyarakat yang peduli pada ucapan calon pemimpin atau para pemimpin yang dicatat sebagai catatan politik, entah oleh kawan main politik maupun oleh lawan politik. Catatan itu dicermati, dilihat kembali, ditelusuri jejak sejarahnya dan kemudian dievaluasi.
Catatan para pemerhati itu (entah teman atau lawan tanding), dikategorikan ke dalam dua gatra. Pertama, janji politik. Kedua, politik janji.
Janji politik, adalah serial harapan baik. Para calon pemimpin memberi harapan kepada khalayak ramai. Janji politik yang diucapkan berkali-kali memberi kesan sangat kuat bahwa itu janji pasti ditepati nanti. Dan, tukang janji pasti dan wajib ditagih.
Sebab, janji yang diucapkan berulang kali itu, dicatat berkali-kali pula. Rakyat pun mengambil sikap jelas memberi dukungan politik dengan cara sangat sederhana yaitu memilih si tukang beri janji sebagai pemimpin mereka. Kata mereka itu makna demokrasi.
Jika demokrasi itu berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka pada demokrasi itu sudah jelas dari rakyat, jelas pula oleh rakyat, tetapi, yang selalu pasti tidak jelas itu adalah bagian untuk rakyat. Itulah sebabnya janji politik itu perlu dicek berkali-kali.
Mestinya, atau warasnya, janji politik dikerjakan sungguh-sungguh agar janji yang dirumuskan sangat abstrak itu menjadi sungguh nyata dalam kenyataan. Dan, menjadi daging dalam pengalaman. Dalam bahasa agak biblis disebutkan: Sabda telah menjadi daging.
Pada akibatnya, si tukang janji disebut pemimpin. Dia layak digugu dan didukung. Tetapi jika sebaliknya, semua janji yang pernah diucapkan tetapi belum ada tanda-tanda penggenapannya, maka orang mulai ragu. Apakah yang datang itu pemimpin atau pemimpi. Pembuat solusi atau pembual involutif. Pemecah masalah atau penambah masalah. Mesias baru bajingan.
Janji politik biasanya adalah serial harapan. Harapan yang diberikan calon pemimpin atau pemimpin untuk menyelesaikan problem rakyat atau khalayak sebagaimana kapasitas yang paling mungkin dikerjakannya.
Dengan kata lain, janji politik itu seruan sekaligus ajakan pembebasan. Ajakan exodus bagi rakyat NTT dari derita dan dhuka khalayak menuju gerbang kebahagiaan, pembebasan melalui serial tindakan yang konkrit.
Janji politik diucapkan baik oleh seorang calon pemimpin maupun saat sedang memimpin. Itu artinya, umumnya janji politik lebih banyak diucapkan saat sebelum seseorang itu memimpin atau atau diucapkan saat pemimpin sedang berkuasa. Disarankan, mestinya ucapan kian berkurang, kerja kian banyak menggenapi ucapan yang dijanjikan.
Maka janji politik adalah segala hal ikhwal (biasanya ditujukan untuk memenuhi aspirasi pemilih) yang diiming-imingkan dalam kampanye oleh parpol dan/atau calon kepada pemilih untuk dilaksanakan apabila dipercaya dan terpilih menduduki kursi, baik legislatif (DPR/D, DPD, Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Desa).
Bagi pemilih, janji politik pada dasarnya menunjukkan harapan (expectation) akan apa yang akan dikerjakan calon untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan serta menjawab permasalahan yang dihadapi pemilih. Pada konteks itulah janji politik penting dan perlu. Janji politik itulah satu faktor kunci yang mempengaruhi kemenangan calon dalam Pemilu.
Politik Janji
Janji politik mestinya harus disesuaikan dengan politik janji. Politik janji adalah serial proses pengambilan keputusan untuk menentukan janji politik mana saja yang aksesibel dikerjakan dengan kapasitas tersedia untuk memenuhi janji politik.
Janganlah membuat janji politik yang tidak mungkin dikerjakan, meski itu janji merupakan bagian aspirasi rakyat dan menyenangkan banyak orang. Politik janji merupakan variabel kunci mengukur kejujuran si tukang janji.
Jika janji politik dirumuskan lain dari politik janji, maka hasilnya, si tukang janji disebut pembual, perumit soal, asal bunyi (asbun) atau bodoh. Jika dia ternyata tidak sanggup mengerjakan apa yang dijanjikannya, maka pemimpin itu tidak lebih dari tumpukan atau kiloan daging yang karena bentuk antropologisnya saja disebut manusia.
Pada gilirannya, si tukang janji politik, mungkin akan hidup dalam lingkaran masalah yang diciptakannya sendiri atau tidak tahu harus mengerjakan janjinya mulai dari mana dan akan ke mana. Akibatnya, semua janji politik seperti ucapan para pembual yang hanya enak didengar, tetapi nihil akibat.
Politisi hendaknya menghindari menjajikan yang ruwet diselesaikan, melainkan menjanjikan segala sesuatu yang disesuaikan dengan takaran yang dimiliki. Kemampuan diri pribadi pemimpin atau politisi, kemampuan keuangan dan lembaga yang menyelesaikan janji politik, sungguh niscaya. Sebab dalam prakteknya, janji politik diikat juga oleh politik janji.
Porto Alegre di Brasil. Tempat kelahiran pesepak bola sangat indah itu, Ronaldinho. Pemimpin di daerah itu, sebagai salah satu contoh tentang laku pemimpin yang aksesibel dan koheren antara janji politik dan politik janji.
Warga Porto Alegre, sadar sekali, bahwa tidak mungkin memang kemiskinan di daerah itu tuntas dikerjakan hanya dalam satu periode kekuasaan. Tetapi, mereka menyadari bahwa apa yang dikerjakan oleh pemimpinnya bersama seluruh rombongan kekuasaannya akan segera mengerjakan yang paling mungkin dikerjakan dan berhasil, karena ada progres yang tampak dan berhasil. Progres kelihatan, harapan sebagaimana dijanjikan tampak dalam kenyataan sehingga mereka menaruh kepercayaan sangat kuat pada pemimpinnya.
Di Porto Alegre, unsur pembeda antara orang kaya dan miksin hanya dibedakan dengan luas rumah tempat tinggal para warga. Tetapi, dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih, kebersihan kota dan mobilitas kemakmuran rakyat dialami bersama sehingga rakyat merasa nyaman dan mereka percaya pemimpinnya.
Victor dan Jefri
Rakyat NTT, tentu saja, selepas Frans Leburaya, memang menaruh banyak tumpangan harapan dengan kehadiran pasangan Victor Yos. Pasangan ini, tak hanya gemar menaburkan banyak bibit janji politik kemakmuran dan mengucapkan janji-janji politik dengan kemasan politik janji yang dapat dikerjakan, tetapi juga lantaran gerakan keduanya padu dalam satu formasi dengan postur birokrasi yang mengerjakannya.
Misalnya, konstruksi jalan propinsi NTT, dijanjikan tuntas dikerjakan dalam tempo 3 tahun. Sekarang sudah satu tahun lewat, tersisa 2 tahun. Tentu saja, jalan propinsi dikerjakan oleh kontraktor handal yang tak sedikit pun berniat curang atas pekerjaannya.
Kasus human trafficking (HT) juga begitu. Dijanjikan, kasus HT akan dihajar tuntas, terutama jaringan penjahat dan para cecunguknya. Meski janji-janji itu diucapkan di tengah gelimpangan kiriman mayat yang kian mengalir deras dari berbagai negara tahun ini, tetapi kita semua tetap yakin dan percaya penuh, bahwa tak mungkin seorang Victor B. Laiskodat berjanji tanpa dia sendiri bimbang mengerjakannya.
Dia didukung oleh komponen staf birokrat yang solid, kuat dan liat, serta cerdas dan lincah. Apalagi, di DPRD NTT, postur legislatif kita diwarnai dengan manis oleh para mantan aktivis gerakan sosial yang memimpin lembaga ini, dan dihujani kaum perempuan cerdas yang melukis keindahan perubahan itu.
Dapat dipastikan, anggota legislatif kali ini, tak lagi seperti anggota legislatif di jaman-jaman lampau yang agak gemar menjadi calo proyek, ikut mengerjakan proyek. Mereka kini full menjadi pengontrol, mitra yang sensitif dengan derita manusia NTT. Apalagi dana Pokir cukup besar jika dilihat dalam konteks rakyat NTT yang masih sangat miskin.
Namun, harapan kian menyembul kuat ketika, sopi rakyat berubah menjadi Sophia. Air laut NTT berubah menjadi garam berkelas ekspor. Daun kelor tak lagi hanya menjadi tumbuhan yang tumbuh liar, tetapi dikonsolidasikan untuk diekspor ke Jepang dan manca negara agar rakyat bangkit dan menuju sejahtera. Dan, Sophia kini melenggang elok pergi menuju Rusia.
Semangat baru kian berkobar-kobar pula ketika Ibu Julie Laiskodat bergerak sangat cepat memobilisasi tenunan rakyat NTT bergerak ke manca negara dengan sistem pemasaran modern. Tidak lagi dengan langgam orde lama persis cara berdagang pedagang yang hanya mengandalkan dagangan dengan sistem eceran pakai koper pakaian biasa.
Ibu-ibu rumah tangga penenun tradisional merasa ada kepastian pasar, ada harga yang pantas. Ibu Julie pergi ke berbagai wilayah di NTT, menyerukan, mengajak, mendorong para penenun, lalu Beliau sendiri terbang ke manca negara lalu membuka pameran berkelas internasional dan nasional. Tidak lagi dengan lagu lama, pikul koper, jualan sambil selfie di tepi jalan di kota mantan penjajah Indonesia atau sejenisnya.
Singkat kisah harapan kian datang mendekat menjadi kenyataan. Tetapi jika nanti ini semua tak berhasil baik, saya pastikan, buah hujatan akan datang bagai gelombang air bah.
Sementara di Kota Kupang, pasangan Dr. Jefri Riwu Kore dan dr. Herman Man sudah pimpin Kota Kupang dua tahun. Janji politik yang masih belum dikerjakan tuntas dan kadang memperumit persoalan politik ialah persediaan air bersih yang mengalir ke rumah penduduk untuk warga kota 24 jam dan sampah kota. Tersisa 3 tahun.
Namun, taman kota sudah sedang bergeliat. Lampu kota sudah terang benderang dan berwarna warni. Trotoar dibongkar dan sudah dipoles. Jalan lingkungan mulai licin lancar. Bahkan Kota Kupang berani mematok diri sebagai Smart City dengan doa harapan kota smart akan dihuni oleh smart people. Smart people adalah warga efisien, beradab, bersikap efektif, sensitif kebersihan dan gemar mendulang kebaikan, gemar kritik konstruktif tetapi cinta perdamaian.
Tinggal saja, masih diperlukan informasi terbuka atau demi keterbukaan informasi tentang siapa saja kontraktor yang mengerjakan itu semua. Atas nama keterbukaan informasi publik, sejumlah deretan nama pelaku di balik itu semua perlu dibuka agar transparansi berimpitan dengan akuntabilitas.
Dan, akuntabilitas berhimpit langsung dengan trust. Jika trusty mengembul kuat, kempanye politik tak lagi diperlukan. Siapa saja para pemain di balik itu semua, perlu diungkap atas nama keterbukaan informasi publik.
Di tengah gerah pembangunan dan geliat perubahan, lontaran ajakan Ayo Berubah menyembul seperti bulan purnama yang menggelantung tetap hingga siang hari.
Perubahan, memang gampang dikata, meski diperlukan kulturalisasi yang sangat kuat di baliknya. Dalam pandangan sosiologi klasik, perubahan sosial hanya mungkin berlangsung sangat cepat jika dikerjakan dengan cara revolusi. Tak mungkin terjadi perubahan sosial cepat dengan mengandalkan doa harapan, apalagi dengan doa aku percaya dan berjanji. Tindak tegas, jauhkan pelancong parisitis politik dan dekatkan diri dengan hitungan perubahan terukur.
Postur birokrasi dipercepat ruang geraknya, legislatif terpilih di Kota Kupang pun, saya duga, adalah kumpulan orang pandai di kota Kupang, pandai untuk segala hal agar hal-hal yang bersegala soal tidak menjadi sandungan untuk perubahan dari Ayo Berubah. Anggota legislatif, kuat, cerdas, bersih dan pasti tidak ikut-ikutan main proyek apalagi urusan bisnis parkir di kota ini. Para legislator bersih dan cerdas itu, memimpikan kota yang aksesibel dengan perubahan strategis di luarnya, dalam gerakan perubahan revolusi industri ke 4.***