Oleh : Frans Bukardi, SS*
“… Kita butuh keperwiraan, tidak butuh tikus.” “… ilmu pengetahuan tidak menolong apa-apa?” “Tambah pintar orangnya, Pak, tambah Pintar juga korupsinya” (Hal. 60)
Demikian salah satu sequel novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Mastoer. Novel yang dibuat pada tahun 1953 atau persis delapan tahun setelah Indonesia merdeka ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.
Pramoedya bukan orang sembarangan dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Karya-karyanya telah mendapatkan apresiasi dunia. Sebanyak sepuluh penghargaan internasional telah ia raih. Beberapa diantaranya seperti Ramon Magsaysay Award, Philipina, Wertheim Award, Belanda, Freedom to write Award, USA, dan Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.
Korupsi adalah bagian integral dari novel-novel yang mendapatkan penghargaan itu. Di balik apresiasi dunia tersebut, tentu terkandung kualitas isinya. Korupsi, demikian judul novelnya, adalah suatu patologi sosial yang telah menjadi musuh bersama bangsa ini. Mendengarnya saja sudah muak. Sebab tidak saja menimbulkan kerugian ekonomis tetapi juga telah menggerogoti dan menghancurkan moral bangsa.
Lalu, apakah urgensi membaca novel ini sekarang. Adakah pesan yang bisa dijadikan refleksi bersama anak bangsa. Pertanyaan ini bisa dijawab dengan satu cara yaitu membaca dan mencerna semua tanda semiotis yang ada dalam novel ini.
Penokohan dalam Novel
Pramoedia pasti meras puas karena telah sedemikian rupa mengeritik hal korupsi di eranya. Tetapi ia juga pasti kecewa sebab korupsi itu ternyata beranak pinak sampai hari ini. Bahkan lembaga KPK yang dibentuk khusus untuk menangani korupsi masih belum mampu menanggulanginya.
Melalui Novel Korupsi, Pram menjelma menjadi tokoh Bakir, tokoh yang nota bene adalah penulis itu sendiri. Melalui Bakir, sang tokoh utama, Pramoedya membangun, menghidupkan, merumitkan dan mengakhiri cerita korupsinya.
Tokoh Bakir dilukiskannya sebagai seorang pelayan publik, memangku jabatan kepala pada sebuah kantor pemerintah. Memiliki kewenangan untuk melakukan pemesanan barang sekaligus membayar.
Jadi, kesehariannya selalu berhubungan dengan kwitansi dan wangi uang. Tetapi di sisi lain hidupnya sungguh sangat sederhana. Gajinya pas-pasan. Bahkan, untuk menambah penghasilan serta mengongkos pendidikan kempat anaknya, Bakri , Bakar, Basir dan Basirah, yang masih bersekolah, sebagian kamar terbaik di rumahnya disewahkan ke seorang pedagang Tionghoa, motornya dijual termasuk salah satu lemari dalam rumahnya.
Sang istri, Mariam, adalah seorang ibu rumah tangga biasa, sosok perempuan yang setia, tekun dan menerima dirinya dan kehidupannya sebagai berkat yang sungguh dihayati dan dihargainya. Selama dua puluh tahun kehidupan Bakir dan keluarganya bahagia. Tak ada riak-riak rumah tangga yang berarti.
Sedangkan Sirad adalah anak muda yang memiliki idealisme dan patriotisme. Ia bekerja sebagai pegawai magang di kantor Bakir. Ia selalu berdebat dengan Bakir, pimpinannya. Dan tokoh Sutijah, istri kedua Bakir, adalah perempuan muda berumur dua puluh tahun yang doyan hidup glamour.
Motif Tindak Korupsi Bakir
Bakir adalah tipe seorang pelayan publik yang jujur. Ia juga berprestasi. Salah satu prestasinya adalah sukses membuat semua pegawai kantornya bisa minum kopi susu. Sebab menurutnya pegawai butuh susu sebagai sumber lemak.
Namun selama dua puluh tahun mengabdi kehidupannya tidak mengalami perubahan berarti. Bahkan semakin tahun semakin menurun pula kekayaannya. Utang menumpuk. Berbeda dengan teman seangkatannya pada zaman pra kemerdekaan. Mereka kini sudah hidup mewah. Memiliki rumah mewah dan juga mobil.
Bakir merasa jenuh dengan kehidupan sederhananya. Dalam hati, bakti jujurnya kepada negara tidak setimpal dengan apa yang diperolehnya. Seorang kepala kantor dengan kewenangan lebih yang dimiliki mestinya sudah mengalami kehidupan yang lebih baik, setidaknya sama dengan kehidupan teman seperjuangannya. Tetapi bagaimana caranya? Korupsi! Ya, Korupsi.
Itulah jalan pintas yang cepat membuahkan hasil. Namun, korupsi bakir tidak semulus apa yang dirancangnya. Segera setelah memutuskan untuk korupsi, saat itu pula batin Bakir memberontak. Suara hatinya tidak menerima cara itu. Sebab akan ada pertaruhan besar di balik jalan pintas korupsi yang akan ia jalani. Ada yang harus digadaikan dari kehidupannya. Apa itu? Kesederhanaan, ketenangan, kebahagiaan bersama istri dan keempat anaknya. Walaupun batinnya terus memberontak, Bakir tetap pada jalannya yaitu mengorup uang negara.
Perubahan sikap dan Gaya hidup
Adalah Sirad, sekretaris Bakir, dan Mariam istrinya, menjadi saksi detik-detik dan detail perubahan sikap Bakri sebelum melakukan tindak korupsinya. Ternyata, sebelum melakukan tindak korupsi, Bakir meninggalkan tanda-tanda perubahan yang secara kasat mata dapat diketahui. Melamun dan sesekali tersenyum serta ketawa sendiri, ikut mengecek pesanan barang, hitung menghitung adalah tanda yang ditinggalkan Bakir saat berada di kantornya.
Pulang kantorpun lebih lambat dan kadang lebih cepat dari sebelumnya. Sementara di rumah, Bakir sering tidur telat. Hitung menghitung telah menjadi kebiasaan baru yang tertangkap mata Sirad dan istrinya, Mariam.
Perubahan lain yang ditunjukkan adalah mulai memakai dasi ke kantor, menyemir sepatu serta merokok rokok kalengan. Selain itu, Bakir menjadi emosional terutama saat berada di rumahnya.
Ia tak segan menampar Mariam istrinya bahkan sampai jatuh. Perubahan yang paling mencolok adalah ketika ia bisa membeli mobil, membeli rumah di puncak Bogor, memiliki sopir pribadi serta memiliki istri kedua.
Peran Keluarga dan kolega dalam Korupsi Bakir
Mariam, istri Bakir, tak pernah menerima ide suaminya untuk mengorupsi uang negara. Bagi Mariam haram menggunakan uang hasil korupsi untuk kehidupan keluarganya; apalagi untuk pendidikan anak-anaknya. Belum lagi umur suaminya yang sudah tua. Tak tega ia melihat suaminya menghabiskan sisa waktu kehidupannya berakhir di penjara. Tak sepersenpun uang hasil garong suaminya diterima.
Karena sikapnya ini, ia pun sering mendapatkan tamparan dari Bakir, suaminya, satu tindakan yang akan disesali kemudian hari saat berada dalam penjara. Bahkan, pengorbanan terbesarnya adalah ditinggalkan oleh Bakir. Sebab Bakir lebih memilih menikahi Sutijah.
Sutijah, seperti diceritakan, adalah bagian dari mimpinya, simbol kemewahan yang didambakannya dan tempat Bakir melabuhkan segala impian terpendamnya dan dahaga hidup mewahnya. Sutijah berbeda dengan Mariam. Ia cantik, masih muda dan juga bergaya hidup glamour tidak pernah mempersoalkan bagaimana Bakir memperoleh uang sebanyak itu, dari siapa dan adakah dampaknya.
Di Kantor, Bakir selalu berdebat sengit dengan Sirad. Seorang pemuda idealis yang menginginkan negerinya yang baru merdeka bebas dari tindakan kotor para pecundang, para tikus kantor. Katanya “… Kita butuh keperwiraan, tidak butuh tikus.” … ilmu pengetahuan tidak menolong apa-apa?” “Tambah pintar orangnya, Pak, tambah Pintar juga korupsinya”.
Sirad membenci para pencuri uang negara. Baginya, berpendidikan tinggi tidaklah cukup untuk membangun negara yang baru merdeka. Dibutuhkan sikap perwira, yang berani mengorbankan dirinya demi kemajuan bangsanya. Karena,pendiriannya yang kuat ini, ia pun tak mendapatkan cipratan uang korupsi Bakir. Bahkan Bakir sempat berpikir untuk memecatnya sebab dinilai sebagai penghalang rencananya.
Modus dan para pihak dalam Korupsi Bakir
Modus korupsi Bakir terhitung masih sederhana yaitu berupa mark up harga barang/membuat kwitansi palsu. Nilai mark up itulah yang akan diperolehnya. Ia mulai mengatur pertemuan dengan pihak leveransir, mendiskusikan harga, jumlah yang diperoleh oleh masing-masing pihak lalu memutuskannya secara bersama-sama.
Dalam waktu tidak lama, Bakir sukses menjalankan strateginya. Ia beberapa kali berhasil melakukan transaksi dengan pihak ketiga dan mendapatkan keuntungan ratusan ribu rupiah.
Dari hasil ini, Ia meninggalkan Mariam, kemudian menikahi Sutijah, membeli rumah mewah di puncak Bogor, membeli mobil, memiliki usaha salon dan bisa berplesiran. Gaya hidupnya pun berubah dari tidak ada menjadi serba ada.
Tindak korupsi Bakir terhitung cepat membuahkan hasil. Hal ini terjadi karena para pihak yang terlibat terhitung sedikit sebab hanya ada Bakir dan pihak Leveransir. Karena itu, di sisi lain, tidak sulit juga bagi penegak hukum untuk mengurai serta menangkapnya di kemudian hari.
Epilog Cerita Korupsi Bakir
Bakir sukses menikmati kemewahan hidup yang didambakannya. Apa yang diangankan sebelumnya, semua terwujud. Saking nikmatnya, ia pun terus melakukan perbuatannya. Ia sungguh telah melupakan Mariam yang sudah tua namun bijak memahami hidup.
Pegawai-pegawai di kantornya mulai mengetahui tindak korupsi Bakir termasuk Sirad, sekretarisnya. Informasi ini diperolehnya melalui sopir pribadinya. Berita korupsi Bakir semakin hari semakin ramai dibicarakan. Namun, mereka kesulitan menemukan bukti tindakan korupsinya sebab semua dilakukannya dengan rapih.
Terlepas dari kelihaian Bakir memanipulasi kwitansi, Bakir akhirnya ditangkap juga oleh polisi. Ia ditangkap bukan karena tindak pidana korupsinya melainkan karena mengedarkan uang palsu.
Bakir ditangkap di kantor pos saat ia hendak mengirim uang keperluan Sutijah yang sedang plesiran di Bali. Selain Bakir, Sutijahpun ditangkap polisi dengan tuduhan yang sam yaitu pengedar uang palsu. Bakir baru menyadari bahwa seorang rekan pengadaan barang memberinya uang palsu. Bakir kemudian ditahan.
Saat di penjara, Bakir mendapat kunjungan dari Mariam dan anak-anaknya serta Sirad. Bakir baru insaf. Insaf dengan kebijaksanaan Mariam dan Sirad. Bakir tak menyangka kalau Mariam tetap mencintainya dan masih menganggapnya sebagai suami demikian juga keempat anaknya.
Bakir kini sadar bahwa ketika memperoleh sesuatu, maka sesuatu yang lain hilang. Ia mendapatkan kemewahan impiannya, namun ia kehilangan ketenangan dan kenyaman hidup.
Ia kehilangan kebahagiaan bersama istrinya Mariam dan anak-anaknya, kehilangan Sutijah dan anak hasil kawinnya dengan Sutijah dan juga kekayaan-kekayaan hasil korupsinya yang telah disita negara.
Tampaknya korupsi akan terus berlanjut. Sinyal itu ditunjukkan Pramoedia pada epilog cerita (hal.156) melalui tokoh Sirad mengatakan “pengganti baru telah datang. Aku kira dia sudah mencari hubungan untuk mengikuti jejak Bapak.”***
*Penulis adalah Alumnus Sastra Perancis Universitas Hasanuddin Makassar, ASN di Kabupaten Manggarai Timur.