Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Mahasiswa STFK Ledalero, Anggota Centro John Paul II Ritapiret
Sejak dideklarasikan sebagai salah satu keajaiban dunia tahun 2013, bahkan jauh sebelum itu, Komodo (Varanus Komodoensis) tidak sepi dari berbagai persoalan.
Belakangan ini, muncul berbagai kontroversi tentang Pulau Komodo, mulai dari wisata halal hingga wacana relokasi warga komodo. Pulau Komodo diwacanakan oleh gubernur NTT sebagai area konservasi. Wacana itu memunculkan pro kontra di kalangan elit pun rakyat jelata. Tentu masyarakat komodo khususnya menjadi sangat resah dengan wacana politik pembangunan tata ruang ini. Masyarakat bakal disingkirkan dan membiarkan pebisnis-pebisnis besar, korporasi-korporasi transnasional masuk untuk menguasai Komodo.
Inilah logika politik ekonomi neoliberalisme yang semakin menguat dalam kekuasaan. Ada guyon yang cukup menegangkan kepala mengatakan bahwa Komodo lebih mulia dari manusia. Cerita guyon itu beredar luas di masyarakat. Penulis pun tersontak kaget mendengar pernyataan demikian.
Namun terlepas dari perdebatan tentang berbagai kontroversi Pulau Komodo, ada baiknya masyarakat mengintip dan membuat sedikit cuplikan “kaleidioskop” tentang Sail Komodo tahun 2013.
Napak tipas Sail Komodo beberapa tahun lalu merupakan suatu catatan penting, bukan saja untuk masyarakat melainkan juga pemerintah. Hingga hari ini, cerita keunikan dan keajaiban komodo dalam sail komodo sungguh luar biasa.
Cerita itu membuat seluruh masyarakat terhipnotis. Tapi, ada baiknya masyarakat melihat sisi-sisi gelap dari peristiwa akbar itu. Sisi gelap itu mesti dibongkar dan dimunculkan dalam diskusi publik untuk mengetahui secara jelas penggunaan dana dalam kegiatan tersebut.
Berita yang dimuat oleh media VoxNtt.com 17/10/19 tentang tersangka kasus korupsi dana Sail Komodo sebesar 1,6 miliar merupakan salah satu sisi gelap yang perlu diterangkan kepada masyarakat.
Upaya menerangkan sisi gelap tentang sail komodo itu mesti dimulai dengan pemerikasaan yang ketat terhadap dana yang digunakan. Dan masyarakat perlu mengapresiasi tim BPK dan Kejaksaan Negeri Manggarai Barat atas penemuan korupsi senilai 1,6 M ini, walaupun terhitung agak lambat.
Keterlambatan BPK dan Kejaksaan Negeri Manggarai Barat bukanlah tanpa alasan. Selain mempelajari dengan serius dokumen-dokumen terkait, juga ada semacam mekanisme jaring laba-laba dalam korupsi ini. Korupsi dalam bentuk patron-client sangat mungkin menjadi alasan lain dari keterlambatan itu. Singkatnya, masih ada pola lingkaran setan dalam korupsi dana Sail Komodo.
Dana Sail Komodo: untuk Siapa?
Lalu pertanyaan yang perlu dijawab ialah untuk siapa dana Sail Komodo? Pertanyaan ini lahir dari kenyataan semakin merebaknya sikap pragmatisme dalam tubuh pemangku kepentingan dalam Sail Komodo beberapa tahun yang lalu.
Pragmatisme adalah pandangan yang mementingkan keuntungan, kegunaan, profit dari apa yang sekarang untuk sekarang. Di dalam pragmatisme orang bertanya tentang nilai tukar dari sesuatu. Referensi nilai tukar itu adalah diri sendiri (Budi Kleden, 2012: 122).
Dalam kaitan dengan dana Sail Komodo, pragmatisme terungkap dalam korupsi. Referensinya jelas yaitu diri sendiri. Mengambil keuntungan demi diri sendiri dengan cara disembunyikan dari publik adalah korupsi.
Ada beragama cara yang ditempuh baik melalui pelaporan yang fiktif, maupun pengambilan secara langsung dengan mengorbankan orang banyak. Kepentingan bersama akhirnya dicaplok untuk kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, hasrat pribadi selalu melampaui kepentingan bersama. Memang cara pandang orang terhadap even internasional ini sangat berbeda. Ada orang yang menikmati Sail Komodo dengan berbagai pertunjukkan. Ada orang yang melihat sisi sejarah dari komodo. Ada pula orang melihat Sail Komodo sebagai suatu kebanggaan bagi negara Indonesia khususnya sebagai masyarakat Manggarai Barat.
Namun, ada orang yang membaca Sail Komodo sebagai even untuk mengambil keuntungan secara tidak halal. Tentu konsep ini ada dalam benak orang-orang yang terlibat langsung untuk mengelola dana. Tentang seberapa besar keuntungan yang mereka peroleh, kita hanya dengan setia mengikuti langkah hukum yang dibuat. Tetapi sudah pasti, ada 1,6 miliar yang lenyap dalam kesenyapan. Entah apa yang merasuki pengelola dan pihak-pihak yang bersentuhan langsung dari dana ini.
Kenyataan inilah yang luput dari perhatian masyarakat sejak tahun 2013. Padahal dana itu digunakan untuk kepentingan umum. Tentang berapa banyak dana yang dikuncurkan dalam kegiatan ini, masyarakat belum tahu seacara pasti.
Selain karena akses informasi masyarakat terbatas, juga tidak adanya keterbukaan dari pihak-pihak yang terkait. Yang ditangkap masyarakat ialah rentetan kemeriahan dalam sail komodo. Orang terkesima dengan apa yang ditampakkan secara kasat mata, lalu lupa untuk bertanya hal-hal substansial.
Bongkar dan Tuntastakan!
Oleh karena itu, cerita tentang penemuan korupsi senial 1,6 miliar ini mesti menjadi langkah awal dalam membongkar jaringan patron-clien korupsi dana Sail Komodo di Manggarai Barat. Terkait penemuan ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, supaya publik mengetahui secara jelas serentak dapat memurnikan kasus ini dalam ranah hukum.
Pertama, BPK maupun Kejaksaan Negeri Manggarai Barat perlu membuat investigasi lebih dalam terkait item-item penggunaan dana serta dokumen yang akurat. Jangan sampai ada dokumen dan laporan fiktif. Hal ini penting, karena satu sisi masyarakat umum belum mengetahui secara jelas penggunaan dana sail komodo.
Sisi lain, investigasi ini mampu membongkar secara keseluruhan korupsi birokrasi dalam Sail Komodo. Artinya, posisi BPK dan Kejaksaan Negeri Manggarai Barat ialah sebagai pihak yang berwenang untuk mengecek seluruh dana dan penyelewengan. Kemudian dibuat perincian secara jelas serta dilaporkan kepada masyarakat.
Kedua, langkah selanjutnya ialah BPK dan Kejaksaan Negeri Manggarai Barat mesti membebaskan diri dari konspirasi politik. Entah dari pihak-pihak terlibat maupun orang luar yang mengambil keuntungan dari kasus ini. Artinya, BPK dan Kejaksaan Negeri harus tunduk pada prinsip otonomitas dan integritas dalam mengungkapkan keseluruhan kasus.
Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa kasus korupsi ini bukan menjadi “remah-remah” politik yang diboncengi oleh pihak mana pun khususnya menjelang pilkada Manggarai Barat yang akan datang. Menjadi bahaya, ketika dalam penyelesaian kasus ini ada pihak luar yang terlibat di belakang panggung.
Ketiga, media-media maupun LSM di Manggarai Barat mesti mengkawal secara serius masalah ini. Media sebagai salah satu penyanggah demokrasi serentak pelayan kepentingan masyarakat harus betul-betul memberikan data yang akurat serta mengekspose kelanjutan dari masalah ini. Jangan sampai media dan LSM menutup mata atau bahkan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang bermasalah. Ini demi kebaikan bersama.