JAKARTA, Vox NTT – Anggota DPR RI asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Yohanis Fransiskus Lema mengecam tindakan penganiayaan berat yang dilakukan Paulus Lau, Kepala Desa Babulu Selatan, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka, terhadap Novidiana Baru, seorang gadis berusia 16 tahun.
Menurut politisi muda PDI Perjuangan tersebut, Paulus telah menyalahgunakan wewenang, melakukan tindakan main hakim sendiri (persekusi) yang melanggar hak asasi manusia (HAM) korban.
“Mengecam penganiayaan berat yang dilakukan Paulus Lau kepada Novidiana Baru. Ini sudah termasuk tindakan main hakim sendiri karena tidak melalui proses hukum. Padahal tindakan main hakim sendiri tidak diperbolehkan secara moral dan hukum karena melanggar HAM. UU no.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan 33 ayat (1) secara eksplisit menyebutkan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak persamaan di hadapan hukum,” ungkap politisi yang akrab dipanggil Ansy Lema tersebut.
Ansy menilai tindakan Paulus melanggar hak korban untuk mendapatkan keadilan. Bahkan kalau dilihat dari perspektif gender, tindakan main hakim sendiri adalah manifestasi terselubung dari masih kuatnya genggaman budaya patriarki dalam masyarakat kita.
Perempuan dipandang sebagai kelas dua dalam struktur sosial, sehingga selalu dipersepsikan negatif. Mungkin ini penyebab tidak adanya asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dalam kasus ini.
Ansy secara tegas meminta agar penegak hukum memberikan perhatian, mengadili dan memberikan sanksi pidana kepada (para) pelaku. Tindakan Paulus telah melanggar hukum dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP: penganiayaan diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka.
Karena korban mengalami luka berat, ancaman hukuman bisa mencapai 5 tahun penjara. Juga Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan, kekerasan terhadap orang maupun barang yang dilakukan secara bersama-sama yang mengakibatkan luka mencapai 7-9 tahun penjara.
“Ataupun pasal 354 KUHP yang berbunyi: Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun,” ujar juru bicara Ahok di Pilgub DKI Jakarta 2017 ini.
Ansy menilai penyalahgunaan wewenang (abuse of power) menunjukkan ketidakmampuan Paulus menjadi pemimpin yang mengayomi warganya dan role model penyelesaian hukum. Demikian pun, Kapasitas dan integritasnya sebagai pemimpin patut dipertanyakan.
Belajar dari kasus ini, Ansy mengharapkan agar pemerintah, terutama penegak hukum lebih gencar dan intens mensosialisasikan tata cara penyelesaian hukum kepada masyarakat.
Lebih dari itu, penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, dan pengadilan secara tegas dan adil menyelesaikan kasus main hakim (persekusi) di masyarakat. Penegakkan hukum yang adil harus memihak kepada yang benar.
“Sosialisasi dan penegakkan hukum yang tegas dan adil akan menyadarkan serta menimbulkan rasa percaya (trust) dari masyarakat untuk menempuh jalur hukum sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan,” tutupnya.
Untuk diketahui, Paulus melakukan penganiayaan dengan cara mengikat tangan Novidiana dan menggantungnya di Polindes Desa Babulu Selatan. Korban dianiaya karena tidak mengaku sebagai pencuri cincin.
Penganiayaan yang dilakukan dari Rabu (16/10/2019) hingga jam 7 pagi tersebut turut disaksikan masyarakat. Bahkan dalam rekaman video, sejumlah warga turut serta menganiaya Novidiana. Korban dilaporkan mengalami luka berat dan nyaris meninggal. (VoN)