Oleh: Fransiskus X Taolin, S.Fil
Anggota DPRD Kab.Malaka Periode 2019-2024
Senin 28 Oktober 2019, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda; sebuah peringatan bersejarah bagi pergerakan bangsa Indonesia.
91 tahun silam, sebuah Organisasi pemuda yang beranggotakan para pelajar dari seluruh Indonesia dengan nama Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) menggagas Kongres Pemuda II.
Kongres yang dilaksanakan selama dua hari ini ini dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie.
Pada rapat penutup Kongres tersebut, 28 Oktober 1928, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan.
Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Puncak dari seluruh rangkaian kegiatan Kongres tersebut lahirlah “Soempah Pemoeda” yang rumusannya ditulis dalam sebuah kertas oleh Moehammad Yamin ketika Mr. Sunario (Utusan Kepanduan) tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. “Soempah Pemoeda” ini kemudian dibacakan pertama kali oleh Soegondo, berbunyi sebagai berikut:
PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).
KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).
KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).
Dan pada saat bersejarah itulah diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.
Lebih lanjut, “Soempah Pemoeda” atau Sumpah Pemuda dalam penulisan ejaan yang disempurnakan inilah menjadi satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia dan yang selalu diperingati setiap tanggal 28 Oktober hingga hari ini.
Singkat cerita, inilah sejarah Sumpah Pemuda. Saya hanya sekedar menyegarkan kembali ingatan kita tentang lahirnya Sumpah Pemuda itu sendiri, yang mungkin bisa dengan gampang kita dapatkan diberbagai sumber pustaka dan literatur sejarah.
Cerita panjang-lebar di atas mungkin menjadi selayang pandang, sejarah, kilas balik. Cerita panjang lebar diatas juga menjadi spirit dan semangat warisan tahun ke tahun bagi pemuda seluruh penjuru Nusantara.
Lantas, bagaimana esensi sebuah peringatan bersejarah? Apakah sekedar rutinitas dalam kalender peringatan nasional? Mari berefleksi; merenung kondisi bangsa kita, menggali persoalan kepemudaan kita lalu menyimpulkan perjuangan bersama.
Bagi saya, ada sejumlah kemelut persoalan yang sedang meliliti kehidupan sosial kemasyarakatan kut hari-hari ini ditengah geliat kerja keras pembangunan yang dilakukan besar-besaran oleh pemerintah dalam mewujudkan Indonesia unggul dan maju.
Persoalan-persoalan kebangsaan yang saya maksudkan adalah;
(1) kita diperhadapkan dengan situasi bangsa yang diadu domba hoax (fake news), yang diproduksi masif dengan motif tertentu;
(2) dan materi-materi yang dimuat dalam pemberitaan bohong itu mengandung persoalan sensitif kebangsaan, seperti Suku, ras, agama, etnis, dan golongan sosial yang pada dasarnya final terpayungi Pancasila sedang semboyan Bhineka Tunggal Ika;
(3) kemudian, dalam waktu yang bersamaan kita diperhadapkan pada persoalan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme yang masuk dan merongrong sendi-sendi kehidupan bersama. Tak ayal banyak fenomena pilu yang mencabik-cabik persatuan-kesatuan kita yang hidup berdampingan secara damai;
(4) Pada akhirnya secara pribadi saya menyadari ada kelemahan pada sisi literasi kebangsaan kita. Kita lemah berliterasi Pancasila yang final untuk menyatuhkan nusantara yang pluralis.
Mengutip hasil survey LSI Denny JA, Sejak 2005, 2010, 2015 hingga 2018, warga pro Pancasila terus menurun dari 85,2 % menjadi 75,3 %.
Artinya, selama 13 tahun terakhir, dukungan warga kepada Pancasila menurun 10 %. Sementara itu, pada waktu yang sama, publik yang pro terhadap ideologi NKRI bersyariah tumbuh dari 4,6 % di tahun 2005 menjadi 13,2 % ditahun 2018. Artinya, selama 13 tahun terakhir warga yang tidak lagi mendukung ideologi Pancasila bertambah 9 %. Cukup mengerikan.
Bagi saya, ini cukup mengerikan. Data tersebut seolah-olah menjadi cambuk dan tantangan Indonesia di masa depan yang akan dibebankan pada generasi muda termasuk saya. Saya menyadari persoalan-persoalan ini bukan perkara yang gampang di tengah kemajuan peradaban manusia yang begitu pesat dari hari ke hari, tahun ke tahun.
Dalam kaca mata Pragmatisme, Perkembangan teknologi informasi (TI) memudahkan hidup kaum muda. Hari-hari ini kita menikmati hidup yang lebih nyaman ketimbang generasi sebelumnya. Kita hari ini mendapatkan kemudahan demi kemudahan; mau makan gampang, tidur gampang, belajar dan mencari informasi gampang. Tetapi hidup nyaman juga menjadi tantangan besar bagi anak muda dalam menjalankan perannya sebagai penjaga persatuan bangsa.
Sejenak flashback, di zaman revolusi puluhan tahun silam, inteligen Belanda menjadikan berita bohong (hoax) sebagai senjata ampuh menciptakan perang urat saraf dan kekacauan pun terjadi. Dengan kondisi yang serba terbatas saat itu, para pejuang kita dengan mudah terjebak dalam hoax yang diproduksi penjajah.
Politik adu domba, atau dikenal dengan istilah devide et impera pada jaman Kolonial juga menjadi strategi ampuh merusak sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Materi adu domba pun sangatlah sederhana; mengangkat isu-isu sensitif dari sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia yang notebene majemuk. Suku, Ras, agama, dan antar golongan menjadi muatan dasar yang diangkat untuk menghancurkan Indonesia.
Belum lagi terorisme dan radikalisme yang kini menjadi musuh bersama kita tengah melakukan sejumlah “aktivitas senyap”, menyusun strategi-strategi biadab untuk menghacurkan kebersamaan kita sebagai bangsa yang Bhineka Tunggal Ika.
Oleh karenanya, bagi saya sebagai bagian dari Pemuda sekaligus bagian dari Indonesia masa depan berharap dan mengajak kita sekalian untuk menyadari akan persoalan ini. Kita hanya bisa “berperang” melawan rangkaian rongrongan tersebut dengan cara bersatu.
Pancasila sebagai ideologi bangsa itu bukan sekedar kita bumikan, akan tetapi mari kita “mem-Pancasila-kan bumi Indonesia”. Dengan demikian, arah juang, kerangka kerja kita dalam membangun bangsa bangkit dari fondasi dasar sila-sila Pancasila.
Bagi rekan-rekanku Pemuda/Pemudi Indonesia, mari bersatu. Musuh kita kita didepan mata kita. Mari bangun dari tidur panjang era milenial kemudian menjadi singa bergigi yang mampu hadapi tantangan masa depan bangsa, memenangi era persaingan, menjuarai revolusi industri 4.0, dan kita menjadi pemenang menuju Indonesia unggul dan maju. Semoga Tuhan dan Leluhur menyertai kita.
Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2019
Indonesia Unggul-Indonesia Maju