Oleh: Kopong Bunga Lamawuran*
Ada dua pertanyaan yang selama ini selalu mengganggu. Pertama, mengapa Asosiasi Guru Penulis Indonesia Flores Timur (Agupena Flotim) belum menjadikan kenyataan rendahnya tingkat kesejahteraan guru honorer menjadi basis perjuangannya?
Kedua, apakah Agupena Flotim itu melihat rendahnya tingkat kesejahteraan (upah) itu sebagai satu keadilan?
Kedua pertanyaan itu tentulah hal lumrah, sebagai realitas yang kerap dihidupi para anggota Agupena Flotim.
Mereka akan tertawa sekiranya membaca pertanyaan-pertanyaan sederhana namun keren ini, karena ini bukanlah baru pertama kali ditanyakan.
Tahun 2017, ketika untuk pertama kalinya aksi mereka dikritik dengan pertanyaan serupa di atas, Agupena Flotim kemudian mengklaim bahwa wilayah mereka bukanlah ke arah itu. Mereka bertugas untuk mendidik murid-murid dan juga guru untuk menulis.
“Memperjuangkan kesejahteraan guru honor itu bukanlah tugas kami. Tanyakanlah ke PGRI,” teriak mereka waktu itu.
Sebagian orang kemudian mengira bahwa memang betul, tugas Agupena bukanlah mengurus honor para guru yang rendah itu. Agupena tugasnya mendidik orang untuk menulis, bukan memperjuangkan sesuatu yang bukan menjadi ranahnya.
Tetapi jawaban dan pikiran sebagian orang ini tentulah menggelikan, dan dalam tulisan ini, lantas menjadi satu bukti kegagalan berliterasi Agupena Flotim.
Tentu ada dua jalan yang kita harapkan sekiranya para anggota Agupena Flotim yang luar biasa itu memperjuangkan rendahnya upah guru honorer.
Pertama, dalam bentuk organisasi. Kedua, tentu saja dalam bentuk tulisan.
Untuk hal yang pertama, harapan kita itu ternyata tinggal harapan, seperti bunga telah ranggas sebelum waktunya. Sebagai satu organsiasi, sejak berdiri sampai sekarang, mereka alpa menjadikan realitas ini sebagai bagian dari perjuangannya. Paling tidak masuk dalam daftar diskusi mereka yang rutin itu. Kita pantas geleng kelapa sekaligus mengelus dada, karena seperti itulah organisasi guru penulis ini.
Tetapi jika secara organsiasi tidak terpenuhi, kita masih bisa berharap bahwa mereka bisa berjuang melalui tulisan-tulisan bernas, dengan pendapat-pendapat yang cemerlang pula, untuk memperjuangkan nasib kawan-kawan mereka yang jeri payahnya tidak terlalu dihargai Negara.
Di sinilah elusan dan gelengan kepala kita itu menemukan titik puncak. Buka dan bacalah tulisan-tulisan yang ditayang di blog ataupun website punyanya Agupena Flotim, dan kau akan temukan: Tidak ada satu tulisan pun yang membicarakan nasib guru honorer yang kacau balau ini. Tidak ada tulisan sekedar paparan tentang nasib guru honorer. Yang ada hanyalah bagaimana menjadi guru yang baik, menjadi siswa yang cemerlang, bagaimana kedekatan organisasi ini dengan pemerintah setempat, dan berbagai hal ‘baik’ lainnya.
Mungkin bagi mereka, menjadi guru yang baik itu tanpa perlu didukung oleh akses buku yang baik ataupun kepuasan batin karena mendapat penghargaan semisal pengupahan yang wajar.
Ya, begitulah literasi ala Agupena Flotim. Mereka ternyata tidak mampu melihat adanya satu persoalan berat yang dihadapi kaum guru honorer. Melihat saja tidak, apalagi memperjuangkannya! Kira-kira begitu.
Padahal, berliterasi adalah upaya menemukan satu potensi atau masalah, kemudian mencari jalan keluarnya! Dengan literasi, kita bisa tahu seberapa besar potensi kita, atau seberapa besarnya masalah yang kita hadapi, dan kita bisa mencari jalan keluar dari situasi itu.
Mengapa para agen literasi itu tidak sadar bahwa di antara gegap gempitanya mereka berteriak tentang literasi, di sisi mereka ada saudara-saudara mereka yang dari waktu ke waktu selalu mengalami ketidakadilan?
Rentetan kebutaan akan realitas ini akan menjadi panjang. Karena mereka tidak membuka mata atas realitas ini, maka tidak ada harapan bahwa mereka bisa berliterasi ke guru-guru yang lain untuk menyadari situasi ini. Mereka pasti akan gagal berliterasi ke para guru honorer, sekedar menyadari kondisi mereka, karena memang dari lubuk hati yang paling dalam mereka tidak ada kemauan seperti itu. Inilah bukti kegagalan berliterasi yang sedang terjadi di Kabupaten Flores Timur, oleh cabang Agupena yang pernah diberikan penghargaan sebagai Agupena cabang terbaik se-Indonesia Raya ini.
Lalu apa pentingnya tingkat kesejahteraan guru honorer dengan gema literasi ini? Baiklah. Jika seorang guru digaji dengan upah Rp 300.000,00 sebulan (kasus ini terjadi di Flores Timur, Saudara, jangan anggap ini hasil khayalan), kemungkinan besar uang itu akan habis dalam minggu pertama setelah uang itu masuk kantongnya. Paling irit mungkin sampai minggu kedua. Kita bisa menebak apa yang terjadi pada dua minggu sisanya!
Dengan hasil kerja seperti itu, apa yang bisa diharapkan dari guru yang dimiskinkan secara sempurna tersebut? Jangankan beli pulsa, makan saja tidak cukup. Apalagi membeli buku! Lalu jika ingin menjadikan guru-guru itu bisa menulis secara baik, apa yang mereka tulis kalau membeli buku saja tidak bisa? Ini kan satu bentuk ketidakadilan! Lalu literasi macam apa yang tidak bisa melihat situasi ini sebagai satu ketidakadilan? Hanya Agupena Flotim yang mampu menjawab pertanyaan seperti ini!
Situasi ini tentulah sebuah ketidakadilan dalam dunia pendidikan yang sedemikian maju. Dan tugas dari pendidikan, terkhusus literasi, adalah melihat persoalan semacam ini dan mencari jalan keluar. Paling tidak memberikan penyadaran pada guru lainnya bahwa kondisi mereka ya seperti itu. Karena itulah hakekat dari literasi.
Gelekat Lewo dan Kesejahteraan Guru Honorer
Agak mengherankan, bahwa dengan pola pengupahan yang begitu rendah, masih banyak orang yang ingin menjadi seorang guru honorer. Di Kabupaten Flores Timur, bagi saya minimal ada tiga hal yang memengaruhi hal ini.
Pertama, seseorang memang harus bekerja setelah menamatkan sekolahnya, salah satunya menjadi guru honorer. Menganggur setelah menamatkan kuliah tentu bukanlah satu tindakan terpuji, bahkan silakan menilai bahwa itu satu cara untuk mematikan orangtua secara pelan-pelan!
Kedua, pertimbangan status sosial dan menanamkan kepercayaan dalam masyarakat. Seorang lebih percaya perkataan guru ketimbang seorang pengangguran yang kerjanya hanyalah mabuk-mabukan seperti dewa tuak. Kira-kira begitu. Ketiga, dan ini cukup berpengaruh, adalah prinsip hidup gelekat lewo.
Saya percaya alasan ke-tiga ini sangat memengaruhi pikiran dan menjadi alasan di balik ketakberdayaan begitu banyak guru-guru honorer menerima nasib mereka apa adanya. Prinsip hidup gelekat lewo bisa diartikan sebagai sebuah upaya untuk tetap membangun lewo (kampung halaman). Orang Lamaholot sangat akrab dengan prinsip hidup ini, dan setiap sepak terjang mereka selalu diangankan untuk bisa mewujudkan prinsip hidup ini.
Karena itulah kita tidak perlu heran sekiranya seseorang yang ingin melamar pekerjaan dan ditawarkan upah yang begitu rendah, tapi tetap saja menerima pekerjaan itu, karena alasan-alasan seperti ini: “Gaji kecil juga tidak apa-apa, yang penting gelekat lewo.” Kemungkinan besar orang tersebut akan menerima pekerjaa itu, karena ada embel-embel gelekat lewo ini.
Lalu di mana letak keganjilan prinsip hidup gelekat lewo ini dengan kesejahteraan guru yang begitu buruk?
Tentu saja, prinsip hidup ini sangat baik, karena menjadi angan-angan tiap orang untuk memberikan yang terbaik untuk lewo-nya. Namun dalam praktek, prinsip ini kemudian menjadi tameng untuk menutupi segala kekurangan,baik dari pihak sekolah maupun pemerintah untuk menggaji para guru honorer secara tidak manusiawi.
Jadilah ini semacam ungkapan keramat kepada seorang guru honorer sewaktu diupah dengan rupiah yang kecil: “Tidak apa-apa, yang penting gelekat!” karena itu jangan heran kita masih menemukan upah Rp 300 ribu sebulan bagi seorang guru honorer, yang sialnya dibayar tiga bulan sekali, lebih sial lagi kadang dibayar lewat dari tiga bulan.
Saya menjadi curiga, jangan-jangan di balik keapatisan Agupena Flotim akan rendahnya upah guru honorer, terdapat pikiran ala pemerintah dan sekolah yang telah menjadikan prinsip gelekat lewo sebagai benteng di atas?
Jika ada pikiran seperti ini di benak mereka, maka selesailah sudah! Bahwa pada akhirnya mereka tidak bisa membedakan secara tegas antara gelekat lewo dan upah!
Bagi saya, harus ada pemisahan antara gelekat lewo dan upah bagi guru honorer. Gelekat lewo adalah sebuah semangat, sementara upah yang layak adalah hak yang wajib diterima oleh semua guru honorer.
Dengan upah yang layak, seorang guru bisa menghidupi keluarganya, menabung, membeli buku, pulsa, dan lain sebagainya. Dengan upah yang layak, seorang bisa melakukan gelekat lebih banyak lagi dalam banyak hal.
Saya harap pemahaman seperti ini yang perlu pula diliterasikan oleh Agupena Flotim, bukannya malah berpuisi tentang bunga dan rembulan di tengah keringnya harapan para guru honorer akan hari depan yang lebih baik.
*) Kopong Bunga Lamawuran adalah pengarang paruh waktu. berdomisili di Bajawa.