Oleh: Erick Adu
Siswa Kelas XI Sosial SMA Seminari Pius XII Kisol
Pembangunan adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaspisahkan dari seluruh proses kehidupan masyarakat kontemporer. Pembangunan sering dijadikan indikator kemajuan suatu daerah atau wilayah. Suatu wilayah dapat dikatakan maju apabila indeks pembangunan daerah itu terus maju.
Namun, dalam kenyataannya, pembangunan selalu menampilkan wajah ganda. Di satu sisi pembangunaan mendatangkan ekses positif-konstruktif tetapi di sisi lain pembangunan turut menghadirkan ekses negatif-destruktif.
Term paradoks pembangunan mengemuka tatkala sisi negatif-destruktif pembangunan justru mendominasi pelaksanaan pembangunan. Akibatnya, masyarakat yang semestinya merasakan “kenikmatan” hasil pembangunan dibuat seolah-olah tidak berdaya dan malah terpinggirkan.
Alih-alih berikhtiar membawa perubahan, pembangunan justru kerapkali menjadi ladang pengembangbiakkan tindakan manipulatif dan praktik koruptif.
Dengan kata lain, pembangunan lebih memproduksi sekaligus menjadi lahan basah praktik kotor ketimbang menghantar masyarakat kepada gerbang kesejahteraan dan kemakmuran. Pencaplokan sumber daya, marginalisasi, dominasi, subordinasi, kekerasan, kemiskinan sistemik, kehancuran ekologis, destruksi budaya (Cypri Dale, 2013:X) dan lain-lain seakan menjadi penyakit akut yang membayang-bayangi proses pembangunan.
Dalam konteks pemindahan ibukota, masyarakat perlu membuka mata lebar-lebar mengkritisi proses pembangunan besar-besaran ini. Masyarakat harus jeli melihat celah-celah yang dapat dijadikan ruang untuk tumbuh dan berkecambahnya praktik kotor dalam pembangunan dalam rangka perpindahan ibukota, lalu secara serentak memijak langkah pasti mengkritisi celah-celah tersebut.
Kehancuran Ekologis
Salah satu alasan mendasar perpindahan ibukota adalah intensi meminimalisasi risiko bencana. Hal itu berarti ada relevansi erat antara pembangunan dan keadaaan ekologis.
Tidak bisa disangkal bahwa Kaltim memiliki potensi kekayaan alam yang cukup tinggi. Dalam kondisi ini situasi paradoksal kembali terlampir. Jika diolah dengan baik, kekayaan alam yang ada itu tentu saja dapat membawa kemakmuran dan kebaikan bagi masyarakat sekitar.
Namun, ibarat pisau bermata ganda tak bisa disangkal pula bahwa salah urus dalam mengelola kekayaan alam dapat mendatangkan musibah bagi rakyat.
Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Research Database Indonesia, dalam penelitiannya menemukan ada 110 titik galian tambang batubara tanpa ada reklamasi pascatambang.
Selain itu, diketahui bahwa salah satu desa yakni Desa Mullawarman telah ditinggalkan penduduknya dan desa tersebut telah dijual kepada perusahaan tambang. Masyarakat memilih pindah karena Desa Mullawarman sudah tidak lagi layak dihuni akibat kekurangan sumber air bersih dan kurangnya ruang untuk bertani. Problem ini tidak lepas dari eksploitasi tambang batubara secara di desa setempat.( Filebig.Net.com, 7/10/2019 ).
BACA JUGA: Sexy Killers yang Sedang dan Akan Terjadi di NTT (2)
Realitas di atas tengah menarasikan betapa ekses negatif-destruktif pembangunan telah lebih dahulu merangsek dan menggerogoti calon ibukota baru. Betapa ekses negatif-destruktif telah terlebih dahulu hadir sebelum ibukota negara tercinta ini dipindahkan.
Lalu yang menjadi pertannyaannya, apa jadinya jika pembangunan yang dikonstruksikan pemerintah dalam bingkai perpindahan ibukota justru membawa serta ekses negatif-destruktif?
Hemat penulis, pemerintah dan masyarakat tidak boleh tinggal diam menyaksikan “dramatisasi keterpurukan” yang mungkin sedang dan akan dilakonkan. Penetrasi konstruktif dari kedua elemen ini urgen untuk diimplementasikan.
Urbanisasi dan Pemerataan
Secara kasat mata, tidak bisa dimungkiri bahwa pembangunan yang dijalankan selama ini sangatlah sentralistis (baca: Jawasentris). Seiring dengan itu, gelombang urbanisasi pun kian bergerak menuju angka yang signifikan. Perpindahan ibukota pun disinyalir menjadi jalan tengah atas problem ini.
Tanda tanya besar mulai digulirkan publik sebagai bentuk kritik atas proses pembangunan. Apakah perpindahan ibukota akan benar-benar meniscayakan pemerataan pembangunan? Apakah gelombang urbanisasi yang disinyalir akan mengalir deras ke ibukota baru mampu dikendalikan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai? Dan sederet pertanyaan substansial lainnya. Jangan sampai gelombang urbanisasi ke ibukota baru justru hanya memindahkan problem lama.
Pemerintah perlu sedapat mungkin menjejali celah-celah ini dengan memproposalkan langka solutif agar pertanyaan-pertanyaan penuh ambiguitas diatas dapat terjawabi. Realitas yang sinkron dengan konsep akan menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pengentasan kemiskinan atau pemiskinan sistemik?
Selain itu, alasan lain yang membenarkan pemindahaan ibukota adalah intensi pengentasan kemiskinan. Kehidupan masyarakat kontemporer tidak pernah lepas dari problem kemiskinan.
Pembangunan yang diimplementasikan dengan baik dan tepat sasar diharapkan mampu menekan angka kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Ferdy Hasiman, peneliti pada Alpha research Database Indonesia, menunjukan bahwa ada 4,1% rakyat miskin di Kaltim.
Data tersebut menunjukan bahwa betapa kemiskinan masih menjadi problem akut di seputaran wilayah calon ibukota baru. Belum terhitung wilayah-wilayah di Indonesia yang belum menikmati sepenuhnya pembangunan dan masih terkatung-katung dengan predikat sebagai daerah miskin.
Dalam kaitannya dengan paradoks pembangunan, ekses negatif pembangunan juga turut membawa problem kemiskinan bagi segelintir orang. Tak jarang intensi pengentasan kemiskinan dalam perjalanannya kemudian berubah menjadi pemiskinan sistemik.
Hemat penulis, hal ini pun sejalan dengan apa yang dikatakan Cypri Dale dalam bukunya Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik, yaitu bahwa pembangunan yang semakin marak, proses politik dan pemerintahan yang tampak berjalan mahal, serta proyek-proyek penanggulangan kemiskinan yang berlimpah justru gagal memenuhi tujuan dan janji perbaikandan kesejahteraan umum. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, pembangunan malahan akan menciptakan kemiskinan lewat proses eksklusi dan marginalisasi atau minimal melanggengkan kemiskinan (Cypri Dale, 2013:7-8).
Akan menjadi mimpi buruk apabila pengentasan kemiskinan yang dikonsepkan justru di tengah jalan guncang dan meluluhlantahkan konstruksi dasar dari pembangunan tersebut. Kita tidak ingin pembangunan yang terkonsepkan dengan intensi mulia mengentas kemiskinan, justru tercederai dan hanya turut melanggengkan realitas pemiskinan.
Gagasan-gagasan semacam ini perlu mengambil tempat dalam seluruh proses pembangunan. Jangan sampai pembangunan yang berintensi mulia justru menjadi tercederai. Pemerintah mesti memastikan supaya pembangunan yang akan dijalankan benar-benar sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat atau pembangunan yang tepat sasar dan kontekstual. Berkaitan dengan hal itu, melibatkan masyarakat grassroot sebagai elemen penting dalam keseluruhan proses pembangunan adalah sebuah kemendesakan.
Dalam hal ini, pemerintah perlu mengimplementasikan pendekatan bottom up, bukannya top down dalam pembangunan. Dengan kata lain, rakyat tidak boleh dilihat semata-mata sebagai objek atau sasaran pembangunan tetapi sebagai sebagai subjek yang berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.
Di pihak lain, mengkritisi setiap proses pembangunan merupakan penetrasi konstruktif yang perlu secara terus-menerus disuarakan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan akan menjadi pesta akbar masyarakat yang mendatangkan kesejahteraan dan sukacita bagi masyarakat.
Lebih jauh, dalam konteks pemindahan ibukota, proyek pembangunan besar-besaran yang akan dijalankan itu mesti dikaji kembali secara lebih komprehensif oleh pemerintah. Semua aspek penting yang sudah dikemukakan penulis di atas perlu mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah. Hal-hal substansial seputar pemindahan ibukota, seperti pemerataan pembangunan, pengentasan kemiskinan, dan problem ekologis mesti dikaji dalam bingkai pembangunan yang benar-benar mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat.
Jangan sampai, megaproyek tersebut hanya akan menjadi lahan basah tumbuh suburnya praktik korupsi dan serentak meminggirkan rakyat kecil. Kajian komprehensif menjadi urgen supaya pemindahan ibukota sungguh menghadirkan kemakmuran bagi segenap masyarakat, bukannya hanya menebalkan pundi-pundi segelintir orang.