*) Cerpen Rio Berchmans
Setelah melewati sebuah lorong panjang yang begitu gelap, lelaki gendut itu kini dihadapkan kepada pengadilan tertinggi. Letak pengadilan itu jauh di atas sana, dengan seribu cahaya yang bertebaran di sana-sini. Kemilau cahaya-cahaya itu timbul dari butir-butir permata yang tertempel pada dinding gedung pengadilan itu. Cantik sekali.
Sementara itu, dalam perjalanan menuju gedung pengadilan, mata lelaki gendut itu menengok sekitar, mencuri-curi pemandangan di tempat itu. Ia ingin segera mengetahui pemandangan di sekitarnya. Namun sejauh mata memandang ia hanya menjumpai awan putih yang berarak ke sana-kemari. Ia bingung melihat pemandang yang tidak pernah ia jumpai di bumi.
Sesampainya di gedung pengadilan itu, ia dihempaskan begitu saja oleh makhluk jelek ke tengah-tengah ruang persidangan lantas mahluk itu pergi meninggalkannya sendirian. Ia merasakan kesakitan yang luar biasa, tapi rasa sakitnya itu dia umpatkan dalam hati.
Dia takut sekali menatapi makhluk jelek yang merenggutnya tadi apalagi makhluk khayangan itu memiliki tubuh kekar, berwajah bengis, bermata tajam, dan juga bertanduk banyak. Mungkin tanduknya berjumlah puluhan atau mungkin ratusan. Kukuh-kukuhnya juga sangat panjang dan tajam. Kukuh-kukuh itu mencengkeram lelaki gendut begitu kuat sehingga selama dalam perjalanan, dia hampir tidak dapat bernapas. Ia kemudian tersengal karena kelelahan.
Sementara di seberang sana, dari balik pintu bercahaya, perlahan-lahan muncul seorang yang berpakaian serba kemilau, berjubah panjang hingga menutupi seluruh mata kakinya. Wajahnya begitu bercahaya, sama persis dengan kemilau matahari. Di tangannya, ia menenteng sebuah kitab tua. Kitab kehidupan serta sebuah neraca penimbang perbuatan manusia. Ia rupanya hakim pengadil. Empunya keadilan.
Ia kemudian berjalan perlahan kearah lelaki gembrot itu. Sesampai di depannya, ia tersenyum. Seolah-olah mengisyaratkan penyambutan atas kedatangan lelaki itu setelah melakukan pengembaraan yang begitu panjang.
“Selamat datang manusia, selamat datang di ruanganku ini. Di sini, aku tidak akan memberikanmu petuah-petuah hebat. Tidak akan membicarakan kekayaan, apalagi nama baik. Tapi aku dan kau. Kita. Akan membicarakan perjalananmu.” Kata sang pengadil itu menjelaskan.
Demi mendengar penjelasan Sang Pengadil, lelaki gendut itu diam membisu. Ia gemetar. Tubuhnya tak henti-hentinya mengeluarkan keringat. Ia takut sekali.
“Pertanyaan awalku, kau tahu alasannya, kenapa kau sampai berada di sini?” Tanya sang Pengadil seketika.
Lelaki gembrot itu tidak mampu mengnengadah, kerongkongannya keluh, ia tetap membisu.
“Sekali lagi aku bertanya, kamu tahu alasannya kenapa kamu berada di sini?” Kali ini nada suara sang pengadil mulai meninggi serta matanya mulai melotot keluar.
Masih keadaan yang sama, ia tidak menjawab pertanyaannya. Lelaki gendut itu justru semakin takut. Matanya ia tundukkan dalam-dalam. Sedalam ia merenungkan nasib yang akan terjadi. Ia takut menatapi mata sang pengadil yang begitu teduh dan syaduh. Penuh wibawa dan syarat akan keadilan.
Sebetulnya, lelaki gendut tersebut tidak tahu-menahu penyebab dia berada di tempat itu. Ia hanya ingat kejadian terakhir bahwa tadi sore ia terbaring lemah di rumah sakit sebab penyakit serangan jantungnya kian akut.
Setelah sunyi yang cukup panjang, sang pengadil kembali bersuara.
“Baiklah, kamu memang tidak tahu tentang alasan mengapa kamu berada di sini. Karena itu, akan kuberitahu alasannya kepadamu. Ya semua alasannya. Kita akan berbicara tentang hidupmu, tentang besar-kecil prilakumu.” Sang pengadil kemudian membuka kitab yang ditentengnya. Ia meniupkan secara perlahan kitab kehidupan yang penuh debu tersebut.
Situasi kian menegang. Sunyi kian mencekam. Lelaki gendut itu semakin tak berdaya. Ia sangat cemas dengan Sang pengadil. Rasa cemasnya semakin tinggi sebab hanya mereka berdua yang berada di tempat itu. Saat-saat seperti ini, ia ingin sekali menghubungi sanak saudaranya, ia ingin meminta pertolongan mereka.
Namun, seribu sayang, di hadapan sang pengadil tidak ada pertolongan berarti. Tidak ada pembelaan dengan pasal-pasal yang membebaskan terdakwa. Semuanya serba sendiri.
Suara deru nafas lelaki gendut itu kian terdengar cepat ketika sang pengadil membaca halaman pertama dari kitab kehidupannya. Di sana tertulis jelas bahwa ketika ia lahir keluarganya sangat bahagia. Karena ia adalah anak seorang konglomerat, keluarganya pun melakukan acara selamatan tujuh hari tujuh malam. Mereka mengundang semua orang dari segala penjuru, tua-muda, kaya-miskin. Semua orang berduyung-duyung datang ke rumahnya, bertumpah-ruah menghabiskan makanan yang begitu banyak.
Lelaki itu masih terdiam ketika ia mendengarkan pembacaan kitab kehidupannya. Sang pengadil pun melanjutkan halaman berikut. Pada halaman ini, tertulis sangat rapi tentang perbuatan baiknya ketika ia menolong semua orang.
Mendengar kisah hidupnya yang suka menolong orang lain, ia sangat girang. “Masih ada harapan.” katanya dalam hati. Akan tetapi, pada alinea berikutnya ia terkejut dan ketus sekali ketika sang pengadil membacakan prilaku buruknya. Perilakunya sungguh bedebah. Ia merampas istri orang lantas menidurinya. Sang pengadil membaca secara detail bagaimana si lelaki gendut itu merancang rencana busuk.
Ia menyuruh anak buah guna memukuli orang yang memiliki utang kian menumpuk. Tak hanya itu, ia juga membunuh orang tersebut lalu membuang mayat itu ke jurang yang dalam. Dengan demikian jejak mayatnya hilang. Sementara istri dari korban sangat menderita dengan peristiwa kehilangan suami tercintanya. Istri korban sangat beban mengingat utang suaminya yang masih menumpuk. Karena terpaksa, wanita itu pun menyediakan jasa tubuh bagi lelaki gendut demi membayar sedikit demi sedikit utang suaminya. Kejadian ini ketika lelaki gendut itu berumur 42 tahun.
Mendengar semua dakwaan yang dibacakan, lelaki gendut itu meneguk air ludahnya berkali-kali. Ia tidak tahu harus omong apa dan harus mempertanggungjawabkannya bagaimana. kali ini, air ludahnya tertahan di kerongkongan, serasa ada yang mengganjal sehingga ia tidak mampu berbicara guna menggugat segala tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
“Oh, aku lupa, di sini terdakwa tidak dapat berbicara sesuka hati. Kecuali aku memberikan kesempatan kepadamu. Kau mengerti!”
Lelaki gendut itu hanya mengangguk. Semenjak awal ia sebenarnya ingin sekali memaki sang pengadil. Ia sebetulnya ingin sekali berbicara bahwa segala tuduhan itu palsu. Ia ingin protes terhadap sang pengadil bahwa ia menuduh secara tak adil, tidak ada bukti yang cukup jelas.
Sang pengadil pun kembali membolak-balik halaman dari kitab kehidupan lelaki gendut. Tibalah dia pada halaman kesekian dari kitab kehidupan itu yang mengisahkan lelaki gendut itu pernah menggelapkan sejumlah dana kemanusiaan. Namun karena cerita bagian ini hanya sepotong, sang pengadil pun bingung. Rupanya, malaikat pencatat perilakunya lupa menulis secara detail tentang peristiwa tersebut. Sang pengadil tidak kehabisan akal, melihat situasi yang kian runyam. Ia pun berkata.
“Saudara terdakwa, di kitabmu ini tertulis hanya sepotong kisahmu yang menggelapkan dana. Kali ini aku memberi kesempatanmu untuk berbicara. Pertanggungjababkanlah perbuatanmu ini.”
Lelaki gendut itu pun bangkit berdiri. Mengelap keringatnya yang mengucur.
“Semua tuduhan ini palsu. Kau pembohong.” Kalimat maki itu keluar menyerocos dari mulut lelaki gendut. Namun, baru saja ia berbicara, lidahnya seakan kembali terlipat sehingga lelaki gendut seketika bisu.
“Aku tidak menyuruhmu berceloteh. Aku meminta pertanggungjawabanmu.”
“Ya, aku akan mempertanggungjawabkannya. Tapi injinkanlah aku bertanya.” lidah lelaki gendut kembali terlepas.
“Tanya apa!”
“Kenapa aku saja yang kau seret ke tempat terkukut ini?”
sang pengadil tersenyum sinis.
“Karena kau bedebah. Kau pencuri kelas kakap. Jelmaan lucifer.”
“Dari mana kau tahu?”
“ Aku ada dalam hatimu. aku yang selalu menolak perbuatan jahatmu. Aku yang selalu bilang untuk tidak melakukan ini atau itu. Aku yang selalu memintamu bertobat, tapi kau mati-matian untuk selalu menunda. Kau selalu mengabaikan aku.”
“Apakah kau Tuhan?”
“Ya.”
“Mana buktinya?”
“Nak, Kau lihat luka pada kedua belah tanganku ini. Ia ada karena dosa-dosamu. aku berkorban demi menyelamatkanmu. Berkali-kali, aku menantimu pulang tapi kau tidak pernah kunjung datang. Kau justru bersenang-senang dengan kehidupanmu sendiri.”
Lelaki gendut itu pun sadar, dia kemudian teringat bahwa dirinya adalah seorang pemeluk agama. Tapi prilakunya sungguh jahanam, sungguh tidak mencerminkan agamanya. ia tersadar ketika Tuhan memperkenalkan diri kepada-Nya.
“Tuhan, ternyata kau di depanku sekarang. Saat ini, aku percaya bahwa Engkau itu ada. Maafkanlah aku. Uang yang kuambil itu sebenarnya bukan untuk kepentinganku semata. Aku mengambilnya demi membangun rumahMu agar setiap orang bisa dengan khusyuk berdoa dan menjumpaiMu.”
“Lantas kau mengabaikan sesamamu. Kau tahu? saat kau mencuri uang itu kau baru saja membunuh jutaan anak-anakku yang terlantar. Mereka mati kelaparan.”
Lelaki itu menangis. Ia menyesal. Ia memukul dirinya berkali-kali.
“Kau pembohong, dasar ular beludak.” Kata sang pengadil. “Penjaga…penjaga… seret orang ini, dan buanglah di tempat yang paling gelap. Tempatkanlah dia di tengah-tengah api yang tak terpadamkan. Biarkan dia merasakan ratapan dan kertak gigi. Tapi, sebelum itu belahlah perutnya.” Teriak sang pengadil memanggil anak buahnya.
Mendengar perkataan sang pengadil, lelaki gemberot itu seketika berlari ke arahnya sembari ia memeluk kaki Sang Pengadil erat-erat. Bahkan Ia juga mencium kakinya berkali-kali seraya berkata;
“Ampun Tuan, ampuni aku. Bukan hanya aku yang telah mencuri uangMu. Beri aku kesempatan sekali lagi. Aku berjanji akan memberi tahu siapa saja yang telah meraup uang itu.” kata lelaki gendut itu memohon ampun.
Akan tetapi, belum selesai kalimatnya yang terakhir, tiba-tiba dari balik pintu, mahluk khayangan yang menyeretnya tadi kembali muncul. Kali ini, ia datang dengan dua dayangnya yang kurang lebih sama. Mereka kemudian menyeret dan membawanya ke tempat pembantaian. Mereka menarik dia begitu kuat dan kemudian membelah perutnya. Seketika itu juga, berceceranlah uang curiannya. Kemudian, ketiga mahluk itu membuang jasadnya di api neraka.
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero Tinggal di Ritapiret