Oleh: Rengka Johanes
Setiap kali berbicara tentang utang negara, hampir pasti selalu jadi polemik. Tidak saja di kalangan masyarakat umum, juga pada level akademisi. Semua dengan argumennya masing-masing.
Ada yang mengatakan bahwa utang kita menakutkan. Ada juga yang bilang utang kita masih pada level aman. Yang merasa takut, karena melihat loncatan hutang yang sungguh fantastis, dari Rp. 551,47 triliun pada tahun 1998 di era Soeharto, hingga Rp.3,958,66 triliun pada Januari tahun 2018 pada era Joko Widodo.
Namun bagi yang mengatakan aman, karena Debt Burden Rationya masih sekitar 29,1% hampir menyentuh angka 30%. Padahal batas rasio hutang terhadap GDP maksimum sebesar 60%. Jadi masih aman. Yang satu melihat angka nominal utang, yang lain melihat persentase utang. Tapi lupakan itu.
Mari kita lihat hasil studi yang dikeluarkan oleh lembaga papan atas, McKinsey& Company pada bulan Agustus 2019 yang lalu. Studi dari McKinsey, sebenarnya fokus pada tiga hal pokok.
Pertama, pada sektor riil. Sebagian besar perusahaan di wilayah Asia mengalami tekanan yang cukup berat untuk memenuhi kewajiban membayar utang. Misalnya kebutuhan pokok di Korea Selatan atau Australia secara akumulasi terjadi ketidakstabilan karena beban hutang yang tinggi.
Kedua, secara umum, sistem keuangan di wilayah Asia, memperlihatkan kecenderungan mendapat perolehan keuntungan yang rendah, karena bergantung pada bank atau lembaga keuangan lainnya.
Ketiga, sejak tahun 2007, secara global aliran modal yang masuk cenderung menurun. Bahkan angkanya cenderung menyetuh pada stress level ( di atas 20 % ).
Kita ambil contoh stress level untuk beberapa negara: China mencapai angka 37%, India 43% dan Indonesia 32%. Meski Indonesia pada level yang lebih dari tiga negara besar di Asia, tetapi sudah melampaui alarm angka stress level yaitu 25%. Padahal angka stress level yang tergolong sehat adalah kurang dari 20%.
Bila kita simak lebih jauh, di sektor riil misalnya, baik utang swasta maupun pemerintah sejak tahun 2010, mengalami kenaikan yang signifikan yaitu 79 poin di Cina, 64 poin di Singapura, dan 63 poin di Hongkong. Ini mengakibatkan total utang terhadap GDP masing-masing negara mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu 257 % di Cina, 286% di Singapura, dan 338 % di Hongkong.
Dasar dari analisa ini yaitu neraca dari 23.000 perusahaan pada tahun 2007 dan 2017 yang tersebar di 11 negara di wilayah Asia Pasifik. Berdasarkan data itulah maka McKinsey &Company melihat bahwa sektor ril yang ada di wilayah Asia Pasifik mengalami stress level yang cukup tinggi sebagai akibat dari beban hutang yang semakin tinggi. Bahkan yang cukup menonjol justru terjadi di India dan Indonesia.
Sementara itu, sistem keuangan di negara-negara Asia pada umumnya relatif rentan terhadap tekanan ekonomi global, karena margin yang diperoleh cenderung menurun, padahal di sisi lain biaya risiko semakin menaik, karena naiknya pinjaman yang diberikan oleh lembaga-lembaga non bank. Sebagai misal, jika dibandingkan antara tahun 2014 dan tahun 2018, maka pada beberapa negara terjadi kenaikan biaya provinsi yang cukup besar yaitu : China naik sebesar 0,25%; India naik sebesar 1,07%, Indonesia naik sebesar 0,13% dan Thailand naik sebesar 0,21%.
Pada sisi global, perang dagang Cina dengan Amerika Serikat, ikut mempengaruhi kondisi keuangan di wilayah Asia. Namun ada hal yang menarik yang terjadi di Asia yaitu aliran ekuitas mengalami perbaikan yang berarti, di mana FDI ( Foreign Direct Investment ) mengalami kenaikan 27% pada tahun 2007 menjadi 38% pada tahun 2018. Yang menarik adalah beberapa negara termasuk Indonesia, lebih dari separuh hutang dalam denominasi mata uang asing. Ini tentu akan mempengaruhi perlambatan kredit di negaranya masing-masing.
Maka pertanyaan penutupnya adalah apa yang bisa menjadi pemicu adanya krisis ekonomi? Paling tidak kita mesti ekstra hati-hati pada tiga hal ini : adanya gejolak suku bunga yang cenderung menurun, perkembangan ekonomi global yang mengakibatkan lambannya pertumbuhan ekonomi dan tensi perang dagang yang sedang berlangsung. Para stakeholder, tidak pilihan lain kecuali melakukan monitoring yang ketat akan situasi ini secara intens.