Oleh: Epin Solanta
Anak Desa Rana Mbeling, Manggarai Timur
Desa selalu identik dengan kesederhanaan, keindahan alamnya, semangat kekeluargaannya, serta budaya gotong royong yang tinggi. Itulah imajinasi tentang desa, terutama oleh orang yang lahir dan dibesarkan di kota (masyarakat urban).
Situasi desa yang sederhana juga digambarkan oleh Sosiolog Emile Durkheim yang disebutnya sebagai solidaritas mekanik. Solidaritas mekanik merupakan hubungan masyarakat yang terjalin akrab berkat rasa kekeluargaan (kesadaran kolektif) yang tinggi dan cenderung menerapkan sistem kegotong-royongan.
Imajinasi tentang desa sebagaimana yang digambarkan di atas tentu saja tidak bersifat statis. Bahwa dalam kurun waktu tertentu, desa mengalami kemajuan untuk menyerupai kehidupan masyarakat perkotaan merupakan suatu hal yang wajar dan (seharusnya) terjadi.
Hal ini menandakan desa selalu berorientasi pada kemajuan, mengikuti setiap perubahan zaman, menyeimbangi perkembangan globalisasi. Perubahan ini bukan hanya perubahan secara fisik saja (infrastruktur yang menyerupai kawasan perkotaan), sebagai efek dari meningkatnya kucuran Dana Desa setiap tahun, melainkan juga pada perubahan sikap dan perilaku. Nilai-nilai individualitas sudah perlahan-lahan menggerogoti masyarakat pedesaan.
Tulisan ini hendak melacak tentang realitas politik pada masyarakat pedesaan dalam konteks Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) beberapa hari yang lalu di Kabupaten Manggarai Timur.
Penulis menyadari bahwa realitas politik di desa saat ini tidak mengalami perbedaan yang sangat signifikan dengan realitas politik di kota. Hal ini tentu saja sebagai akibat dari kemudahan orang dalam mengakses berbagai macam informasi yang sudah disediakan oleh google.
Realitas politik sampai pada detik ini, selalu identik dengan polarisasi (pecah belah) yang membentuk kelompok (kubu-kubu) di dalam masyarakat. Dasar dari pembentukan kelompok-kelompok tersebut pun bermacam-macam, misalnya karena faktor kesamaan keturunan, daerah asal, keluarga, kesamaan visi/ misi, sampai pada alasan personal (utang dan piutang).
Pembentukan kelompok-kelompok menjelang Pilkades, idealnya adalah hal yang sangat wajar dan memang dibutuhkan dalam demokrasi. Sayangnya, pembentukan kelompok-kelompok ini seringkali disertai dengan nada-nada ancaman terhadap kelompok lain misalnya, perilaku yang tidak etis dalam berpolitik sampai pada sikap menganggap kelompoknya yang paling tinggi, kuat, dan besar daripada kelompok lainnya.
Munculnya perilaku demikian dalam setiap kubu, berdampak tidak hanya berlangsung sebelum pencoblosan atau saat pencoblosan, melainkan juga setelah pencoblosan.
Akibatnya, apa yang terjadi? Situasi di masyarakat (desa) menjadi tidak stabil/ tidak nyaman, selalu muncul kecurigaan yang mendalam terhadap kelompok lain, sehingga berdampak pada pudarnya persatuan dan kesatuan sebagai karakteristik pokok masyarakat desa.
Aroma Kekeluargaan
Pilkades telah selesai, pertanda bahwa setiap perbedaan dalam pilihan politik juga selesai. Setelah lama larut dalam aroma ketegangan, saling sinis dan cibir-mencibir pada sesama anak desa, kini saatnya untuk menebarkan senyum sebagai pertanda awal hadirnya kembali aroma kekeluargaan. Memang melupakan setiap perjuangan (politik), tidak semudah membalikan telapak tangan.
Realitas seperti ongkos politik yang mahal, kuras tenaga untuk menemui warga sampai pada kesiapan menerima cacian dari pihak lawan memang sangat menyakitkan. Tetapi itulah kompetisi, bukan hanya pertarungan gagasan, melainkan juga pertarungan psikologis dan finansial.
Meminjam istilah Dilan, melupakan setiap (perjuangan) itu berat, kamu tidak kuat, cukup aku saja. Mungkin demikian ungkapan hati dari para calon.
Pilkades telah selesai, ada yang keluar sebagai pemenang dan ada yang kalah, ada juga yang kemudian menolak hasil pemilihan karena ditemukan berbagai macam kecurangan. Meskipun demikian, rasa saling menghargai setiap perbedaan adalah hukum mutlak yang menjiwai masyarakat desa.
Oleh karena itu, sudah saatnya untuk merajut kembali benang yang putus dalam beberapa bulan terakhir. Mari kita kembali menikmati hamparan padi di sawah yang sudah mulai menguning dan panorama bukit yang menjulang, mengapiti desa kecil kita.
Kita kembali lagi memuliakan asas gotong-royong dalam segala hal. Kini semuanya kembali memperkuat fondasi untuk membangun desa menuju ke arah yang baik, demi satu tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat desa. Hingga akhirnya, kita kembali menghirup aroma “kekeluargaan” sebagai spirit pokok pada masyarakat pedesaan.