Oleh: Edy Soge Ef Er*
/Surat Pertama/
Mencintai Sunyi
(Pilihan Hidup Yang Tidak Sederhana)
“Lebih baik mencintai sunyi karena ia tidak pernah mengkhianatimu. Daripada mencintai dia yang tidak pernah mengerti kesunyianmu.”
Ina yang baik,
Saya menulis ini karena pertemuan kita tidak sekadar bertemu, chatting kita bukan curhat murahan, dan tawamu sudah berkali-kali mengganggu pikiranku. Ya, dada ini bergetar karena engkau, dan itu saya terjemahkan ke dalam catatan sederhana ini. Barangkali hati yang berbicara dan pikiran berusaha mengerti apa artinya engkau dan aku di sebuah perjalanan sunyi ziarah panggilan.
Kita pada mulanya terbentuk pada ruang suci Rahim Ibunda. Kita berada dalam kesunyian. Berkembang dalam kurun waktu sembilan bulan tanpa hiruk-pikuk metropolitan. Kita pada mulanya adalah kesunyian. Namun akhirnya juga kita adalah kesunyian – terbaring mati sendiri dikandung tanah. Iya, kesunyian adalah kehidupan yang elok dan kematian yang menakutkan. Hidup kita berada dalam ruang dan waktu kesunyian itu. Kita beranjak dari sunyi dan menuju sunyi.
Memilih untuk hidup berarti memilih untuk mencintai sunyi. Itu berarti mencintai hidup itu sendiri dalam arti paling personal dan siap menaruh hormat pada kematian. Jika sudah siap hidup, siap pula untuk sunyi dan sendiri. Saya pikir Ina lebih paham menghayati sunyi hidup, dan saya mengambil bagian di dalam pilihanmu untuk mencintai sunyi itu. Di dalam kesunyianmu saya ada untuk belajar apa artinya hidup sendiri di jalan sunyi ini.
Ina yang baik,
No man is an island. Engkau tak sendiri dan saya juga tidak seorang diri. Kita hidup bersama yang lain karena kita manusia. Manusia laki-laki dan perempuan. Manusia yang memiliki kesunyiannya masing-masing. Namun saling melengkapi satu sama lain. Perempuan tercipta dari rusuk laki-laki lalu keduanya menjadi satu daging. Karena itu, sangat tidak mungkin kesunyian seorang perempuan dihadapi seorang diri tanpa kehadiran laki-laki; dan kesunyian laki-laki menjadi sempurna karena hadirnya Hawa – perempuan pemberi hidup – pelengkap abadi.
Saya bersyukur kepada Tuhan atas perjumpaan berharga antara engkau dan saya yang membuktikan bahwa engkau sungguh perempuan dan saya sungguh seorang laki-laki. Ya, saya laki-laki dengan kesunyiannya yang khas telah menaruh rasa kagum padamu perempuan milik Tuhan. Saya dengan sadar mengalami ini sebagai pengalaman manusiawi saya pada batas usia yang dihinggapi beribu mimpi dan komitmen menjadi diri sendiri. Jujur, saya mengagumi engkau. Mengapa. Karena engkau berbeda. Berbeda dari mereka yang pernah aku kenal. Engkau perempuan khas.
Ada yang selalu aku ingat tentang kamu. Tawamu yang lugu dan pesona suaramu yang jernih serupa nyanyian kanak-kanak, menghibur dan meneguhkan hati lelaki pengikut firman. Engkau apa adanya, santai dan santun, berwibawa, dan elok paras. Lebih dari itu engkau adalah orang baik yang ditipkan Tuhan untuk dunia. Terima kasih untuk semua.
Ina yang baik,
Apa artinya engkau di dalam kesunyianku? Engkau adalah embun pagi yang selalu membasahi ladang sepi diriku. Aku berharap engkau selalu dan tetap ada di setiap pagi hidupku. Namun semesta ini luas dan itulah rumahmu. Engkau memiliki kebebesan untuk membasahi setiap daun dan taman. Jadilah embun bagi dunia. Saya tidak berhak memiliki dirimu. Saya sama sekali tidak berjuang menjadikan dirimu milikku. Perjuangan saya ialah memiliki diriku sendiri. Dengan ini saya sanggup mencintaimu dengan bebas. Engkau bukanlah alasan saya terbelenggu di dalam kesunyian. Namun engkau membuat saya menjadi lelaki yang merdeka mengikuti Tuhan dalam kesunyian. Terima kasih atas kehadiranmu yang berharga.
Saya mengagumi dan mencintai engkau dengan alasan saya dapat belajar memahami kehidupan di dalam kesunyian. Engkau adalah alasan saya jatuh cinta dan mengerti bahwa saya benar-benar seorang laki-laki. Namun ini terbatas sebab pemberian diri kepada Tuhan adalah jalan hidup paling ideal. Engkau dan aku adalah perempuan dan laki-laki yang berbeda. Kita telah memilih jalan untuk mencintai Tuhan dengan hidup tanpa perkawinan. Kita lebih memilih untuk mencintai sunyi. Apakah kita bisa? Apakah kita jujur dengan Tuhan dalam hidup ini?
Saya pikir tidak gampang mencintai sunyi. Bagaimana mencintai Dia yang tak tampak? Ini adalah pilihan yang sulit. Lebih mudah mencintai seorang perempuan, dari pada mencintai Tuhan. Namun Tuhan hadir dalam diri kita dan sesama. Mencintai diri sendiri dan sesama artinya juga mencintai Tuhan. Saya mencintai kamu dengan menghargai kebebasanmu tanpa melukai berarti saya mencintai Tuhan dalam dirimu.
Ina yang baik,
Terima kasih banyak.
Nitapleat, Suatu Hari Rindu, 18 Agustus, 2019
/Surat Kedua/
Mencintai dengan Bebas
Ina yang baik,
Kemerdekaan hidup sebagai manusia tidak seperti kebebasan burung-burung di udara. Cakrawala adalah rumah tanpa batas, tempat burung-burung bebas berziarah merayakan luasnya semesta. Jika hutan dan ranting adalah ruang berlabuh, burung-burung masih asyik melompat kian kemari, dari dahan satu ke ribuan ranting lain. Sungguh, burung-burung merdeka dan bebas mencintai alam semesta, tanpa prasangka dan cemburu, tanpa amarah dan benci. Saya mau kita bebas mencintai seperti kemerdekaan burung-burung di udara. Namun saya menyadari betapa sulitnya mencintai dengan bebas.
Kita berada di dalam dunia dalam kondisi yang terbatas ruang dan waktunya. Bahkan kita sendiri terbatas. Kita tidak sanggup merdeka seperti burung-burung. Kita teperangkap dalam kesementaraan hidup yang dikuasai oleh pikiran, perasaan, dan kehendak. Kita hidup dalam dinamika pertarungan yang tanpa akhir; pikiran kadang menguasi perasaan, nafsu dan kehendak menguasi pikiran, dan mereka bertarung dari waktu ke waktu. Tugas berat kita ialah menjaga supaya tiga kekuatan yang terberi: pikiran, perasaan, kehendak, seimbang dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Tidak bisa pikiran berjalan tanpa perasaan atau sebaliknya perasaan bekerja tanpa pikran. Mereka adalah satu kesatuan kemanusian yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, perjuangan hidup kita adalah menyadari diri dalam keseluruhan sebagai manusia, dan tidak boleh diarahkan oleh nafsu dan pikiran semata, tetapi berjalan dalam kesadaran penuh sebagai manusia yang sanggup berpikir secara rasional, merasa dengan kepekaan penuh, dan berkehendak dengan optimisme dan daya juang.
Ina yang baik,
Saya bersyukur kepada Tuhan yang memberi kita pengertian untuk saling mencintai satu sama lain. Tuhan itu baik, kekal abadi kasih setia-Nya. Saya sangat yakin bahwa hidup adalah kebaikan Tuhan, dan karena itu panggilan hidup saya adalah berbuat baik dengan kehidupan. Inti hidup adalah berbuat baik. Ketika mencintai engkau saya mengusahakan sebuah kebaikan perjumpaan, kebaikan dialog, dan kebaikan saling memandang. Saya yakin ini tercapai apabila saya sanggup mencintaimu dengan bebas, tanpa terikat keinginan keinginan murahan, dan kurang pengertian. Saya ingin mencintai engkau seperti burung-burung mencintai cakrawala, bebas tanpa terikat curiga, tanpa benci dan dendam. Saya ibarat camar yang sekali waktu menukik ke pusaran ombak setelah bermain di udara. Selalu ada batas antara jarak pandang dan sasaran pertemuan. Saya tidak mungkin sepanjang waktu bersamamu di pantai kehidupan sebab sayap cinta membawa saya terbang ke cakrawala langit sunyi. Dari udara kesepian saya memandang engkau di bentangan ombak hidupmu, lalu pada waktu yang tepat aku harus turun berpijak sejenak ke pusaran ombak itu untu mengambil “sesuatu” agar bertahan hidup. Engkau adalah alasan saya bernapas dengan baik di kesunyian rumah biara, hidup dalam semangat baru, merasa ingin terbang sebab engkau telah memberi saya hidup. Engkau adalah perempuan pemberi hidup. Terima kasih perempuan terbaikku.
Ina yang baik,
Sejauh ini saya menyadari dengan sungguh bahwa saya masih harus terus belajar untuk mencintai engkau dengan bebas. Saya belum mampu merayakan kemerdekan mencintai. Kadang saya hanya mengandalkan pikiran sehingga saya mengajukkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja membosankan. Kadang perasaan mendominasi sehingga terlalu cemas denganmu; apakah dia baik-baik di sana? Apakah di marah saya? Atau kehendak mendorong saya untuk bertemu kamu walaupun ruang dan waktu terbatas. Saya sadar bahwa keseimbangan pengertian dan perasaan tentang engkau belum menjawabi tuntutan relasi yang sehat orang selibat. Saya mohon maaf atas setiap kelemahan manusiawi saya. Namun saya juga senang bahwa kita terbuka dengan kondisi kondrati kita sebagai laki-laki dan perempuan. Engkau luar biasa apa adanya. Saya bangga dengan kamu. Maka saya mohon jaga hidupmu dengan penuh pengertian dan doa.
Ina yang baik,
Apakah kita bebas mencintai dan mencintai dengan bebas? Saya mencintai engkau itu berarti saya menghargai kebebasanmu. Saya tidak mau menuntun engkau di jalanku, sebab bisa jadi saya bukanlah guide yang baik. Saya hanya mau kita jalan bersama di jalan akal budi yang sehat, jalan moralitas supaya apabila terantuk dan jatuh, kita bisa mempertanggungjawabkannya. Saya dapat bertanggung jawab dengan perasaan saya untuk kamu karena saya jatuh cinta dengan kamu dan mencintai kamu dengan suatu pemahaman dan pengertian yang baik. Saya dengan sadar sekali mencintai engkau. Dengan kata lain saya mencintai engkau dengan seluruh kesadaran diri saya dan saya merasa bebas di dalamnya. Saya selama waktu bersamamu sama sekali tidak merasa terbelenggu. Saya merasa bebas sebagai manusia ketika saya jatuh cinta dengan kamu dan sampai pada saat ini. Terima kasih perempuan terbaik.
Ina yang baik,
Inti dari kebersamaan ini adalah kita sanggunp mengikuti Tuhan dengan bebas, tanpa terikat oleh apa dan siapa. Tuhan memberikan kita kebebasan dan Ia sangat menghargai itu. Kita bebas menjawab ya dan tidak dalam kehidupan. Artinya kita harus mengatakan tidak untuk sesuatu yang merusak dan mengganggu hidup kita, dan kita tidak bisa tidak mengatakan ya untuk sesuatu yang sungguh amat baik untuk hidup kita. Mencintai engkau adalah jawaban ya. Ya, saya cinta kamu supaya YA saya untuk Tuhan menjadi sempurna.
Ina yang baik,
Kita (berdua) ibarat sepasang merpati yang terbang bersama di langit panggilan. Saya berharap kita selalu bersama merayakan kemerdekaan mencintai. Barangkai engkau tidak lupa bahwa 17 Agustus adalah hari kemerdekaan mencintai. Saya tanpa engkau adalah sayap-sayap patah. Janganlah terbang menjauh sebab sayapku adalah sayapmu. Jika engkau jauh, sayapku akan patah dan saya jatuh ke bumi yang mengurung kemerdekaanku. Semoga langit panggilan kita menjadi rumah kita, sepasang merpati yang Tuhan utus untuk melihat dunia dan mewartakan kasih dan kebaikan Tuhan.
Nitapleat, September 2019.
/Surat Ketiga/
Rindu Kamu
“Saya tidak pernah tipu untuk mencintaimu, Ina. Saya juga tidak salah telah mencintaimu, Ina. Dan saya tidak pernah takut untuk mencintamu selamanya, Ina.”
Malam itu saya terjaga dari sekian kenangan tentang cium yang sederhana dan peluk yang ikhlas. Telah terjadi pengertian paling hakiki dari kedua anak manusia yang saling mencintai dengan jujur. Sudah lewat, sudah terjadi, tinggal lampau, tetapi tidak pernah hilang dari ingatan. Seperti laut terus menderu, kenangan itu juga terus mekar di kepala. Barangkali benar bahwa kisah asmara tidak pernah selesai dikenang. Rindu terus tumbuh subur dari waktu ke waktu. Semakin saya sepi sendiri, rindu itu semakin subur, semakin menghanyutkan. Saat-saat semacam ini ingin sekali saya dengar suaramu, lihat wajahmu; atau bahkan ingin bersamamu tanpa jarak, memelukmu erat dan menciummu secara lebih mendalam.
Saya menyadari diri saya telah berani mencintaimu dengan jujur, Ina. Saya tidak pernah tipu dengan rasa cinta dan sayang ini kepadamu. Saya cinta kamu dengan seluruh diri, segenap pikiran, kekuatan, dan segenap jiwa ragaku. Saya cinta kamu seperti burung mencintai sarang, ombak cinta pantai. Saya cinta kamu adalah kepastian yang sungguh saya sadari saat ini. Saya cinta kamu, Ina. Kamu adalah alasan saya terjaga di tengah malam sunyi, bangun mengusap wajah sambil membayangkan wajahmu, lalu senyum sendiri mengenang dirimu, dan kemudian menulis puisi untukmu. Ina, sudah tiga kali saya terjaga dari tidur oleh mimpi tentang dirimu. Dan sudah berkali-kali saya sulit memejamkan mata karena pikiran dan seluruh indera seolah-olah memancarkan wajahmu. Saya memikirkan kamu, mata saya seolah melihatmu tersenyum, kuping saya seolah mendengar gurau dan tawamu, lidah saya seolah mengecap elok tubuhmu, kulit saya seolah merasakan sentuhan lembut jemarimu, dan hidung saya seolah mencium bau tubuhmu. Seluruh kesadaran tubuh dan jiwa saya bergerak dalam segenap gambaran tentang kamu, Ina. Kamu memenuhi seluruh kondisi hidup jiwa raga saya. Kamu adalah segala yang aku alami.
Malam itu, Jumat, 11 Oktober 2019. Saya pulang dari Ledalero dengan sedikit kegelisahan dan kegalauan. Saya alami suatu dinamika perasaan yang tidak tentram. Saya tidak ingin membaca buku. Saya juga tidak mau berdoa. Saya juga tidak ingin menelepon orang tua atau kakak saya. Saya tidak ingin banyak hal, sekalipun itu dekat seperti famili yang jika dipikirkan mereka mampu menjawabi soal hati saya. Namun, mereka dan apapun sama sekali tidak menjadi jawaban. Satu-satu yang saya pikirkan dan menjadi jawaban ialah kamu. Kamu menjadi yang paling penting dalam kehidupan saya. Tuhan yang adalah awal dan akhir, jawab dari segala jawab, pun tidak saya lihat sebagai jawaban sehingga saya juga tidak berdoa malam itu. Namun kamu menjadi satu-satunya pilihan hati. Karena itu saya menyapamu dengan pesan dan memanggilmu. Awalnya kamu tidak membalas dan menerima panggilan. Saya tambah gelisah dan terombang-ambing di atas pusaran rasa gelisah dan galau. Namun semua sudah menjadi mungkin bahwa batin kita telah dihubungan oleh tali-temali kenangan; ciuman, pelukan, dan belaian kasih sayang.
Malam itu, saya hanya punya satu jawaban dan kebutuhan yaitu kamu, Ina. Kamu adalah jawaban dan kamu juga adalah pribadi paling penting di dalam kehidupan saya. Kamu sadar tidak itu Ina?
Itu artinya saya hidup dari hidupmu, menghirup napasmu, menghembus napasmu. Kamu adalah hidupku saat ini di sini, Ina…
Ingat, saya tidak pernah tipu untuk mencintamu. Saya tidak pernah salah telah jatuh cinta dengan kamu. Dan saya tetap mencintaimu selamanya….
Nitapleat, 11 Oktober 2019.
*Edy Soge Ef Er, lahir di Hewa (Larantuka, Flores Timur), 27 Oktober 1996. Belajar menulis puisi sejak di Seminari San Dominggo Hokeng, Larantuka dan sekarang belajar filsafat di STFK Ledalero, Maumere. Menulis buku kumpulan cerpen “Jendela Sunyi” (2018). Emai: edysoge27@gmail.com, Whatsapp: 085790467391.