Kupang, Vox NTT-Revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan internet, big data dan kecerdasan buatan membawa peluang sekaligus tantangan bagi generasi milenial. Salah satu tantangan yang belakangan menjadi topik diskusi serius di Indonesia yakni persebaran paham intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi milenial.
Hal tersebut diungkapkan oleh Anggota Komisi IV DPR RI Fransiskus Yohanis Lema dalam Sosialisasi Materi Empat Pilar MPR RI di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Selasa (26/11).
Menurut pria yang akrab disapa Ansy Lema ini, munculnya aplikasi-aplikasi media sosial yang merupakan produk Revolusi Industri 4.0, dinilai banyak pakar turut mempercepat penanaman paham radikal dan intoleransi di kalangan milenial.
Hal ini didukung oleh riset Setara Institute tahun 2019 yang mengungkapkan, 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia telah terpapar paham radikal. Itu diantaranya Universitas Indonesia, ITB, UGM, Universitas Negeri Yogyakarta, UIN Jakarta, UIN Bandung, Institute Pertanian Bogor, Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, dan Universitas Airlangga. Selain itu, riset LIPI tahun 2016 menyebutkan, 21% pelajar di Indonesia mengganggap Pancasila tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar negara.
Sementara di NTT, berdasarkan penelitian Pater DR. Hendrik Maku, SVD, Ryamizard Ryacudu mengungkapkan, 23,4% mahasiswa setuju dengan jihad dan pembentukan negara Islam.
“Fakta-fakta dalam berbagai riset ini tentu sangat merisaukan di tengah bonus demografi yang sedang dihadapi Indonesia. Jika kita lengah, itu artinya bangsa ini sedang menginvestasikan bencana pada masa yang akan datang,” tutur Ansy.
Ansy dalam pemaparan materinya menyebutkan, tantangan ini harus segera diantisipasi secara tepat dan sistematis generasi milenial yang aktif bersosialisasi di komunitas dan berselancar di media sosial serta internet. Hal ini didukung riset UIN 2019 yang menyebutkan siswa dan mahasiswa yang aktif di media sosial cenderung lebih intoleran dibandingkan dengan yang kurang aktif.
Echo Chamber dan Filter Bubble
Menurut Ansy, penyebaran radikalisme didukung oleh fenomena echo chamber dan filter bubble. Fenomena echo atau gema dalam media sosial membuat pengguna diarahkan menuju pada “suara-suara” yang sesuai dengan keyakinannya. Fenomen ini terlihat dalam perilaku share, klik dan komentar di media sosial.
Sementara itu, filter bubble merupakan penyortiran dan seleksi informasi oleh alogaritma berdasarkan pertimbangan kecocokan, relevansi, dan preferensi. Algoritma akhirnya menciptakan sebuah “gelembung besar” yang membuat seseorang terisolasi dan cenderung ekslusif dari kelompok dan komunitas yang berbeda.
Selain itu, gelembung saringan ini juga menciptakan efek kesimpulan yang salah.
“Bayangkan jika konten di Facebook disuguhkan berdasarkan klik dan perilaku ‘likes’ di masa lalu, jadi otomatis kita akan kebanyakan mengonsumsi konten atau isu yang serupa dengan pandangan kita,” jelas Ansy.
Pentingnya Literasi
Menurut Ansy, literasi dasar dan literasi digital menjadi solusi mendasar agar persebaran paham radikal dan intoleransi dapat dibatasi di kalangan milenial. Literasi dasar seperti membaca, menulis dan berdiskusi merupakan perangkat yang dapat mengasa kemampuan berpikir kritis khususnya dalam menyeleksi setiap informasi yang beredar, mana yang berguna dan mana yang perlu diabaikan.
“Membaca, menulis dan berdiskusi tidak hanya menambah pengetahuan kognitif kita, tetapi dapat mengasah otak kita untuk berpikir kritis. Seperti pisau, semakin diasah, maka otak kita makin tajam dalam melihat persoalan maupun isu yang beredar,” ungkap eks juru bicara Ahok ini.
Setelah literasi dasar, anggota Komisi IV DPR RI ini juga menekankan pentingnya literasi digital agar generasi milenial memiliki pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital dan alat-alat komunikasi secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan tidak melanggar hukum.
Selain literasi dasar dan digital, pemahaman masyarakat khususnya generasi muda mengenai empat pilar kebangsaan Indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika harus terus dilakukan. Keempat pilar ini adalah tonggak pemersatu bangsa untuk melawan berbagai tantangan perpecahan, terutama intoleransi dan radikalisme yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan.
“Maka dari itu, kegiatan sosialisasi yang saya sampaikan pada hari ini adalah bagian dari MPR yang diberikan mandat oleh negara untuk terus menyampaikan pentingnya penanaman pengetahuan empat pilar kebangsaan,” pungkasnya. (VoN).