Kupang, Vox NTT-Ferdy Hasiman, peneliti Alpha Research Database Indonesia mengingatkan Presiden Jokowi untuk memikirkan ulang penetapan Labuan-Bajo-Flores sebagai destinasi pariwisata premium.
Pasalnya, pariwisata premium hanya melayani wisatawan yang memiliki uang banyak dan hanya menguntungkan investor pariwisata, hotel mewah dan para investor yang telah mengkapling pulau-pulau di sekitar wilayah Taman Nasional Komodo (TNK).
Jokowi, kata Ferdy, harus menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud pariwisata berbasis premium itu. Apa manfaat pengolahan pariwisata Labuan Bajo untuk rakyat kecil di Manggarai Barat?
Dari pengelolaan Taman Nasional Komodo (TNK) yang sekarang dikontrol pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), demikian Ferdy, rakyat Manggarai Barat tak mendapat apa-apa dari penarikan retribusi dan pajak dari TNK senilai Rp 29 miliar tahun 2017 dan Rp 32 miliar tahun 2018.
Bukan hanya itu, pemerintah pusat terus-menerus mengklaim bahwa dana pembangunan infrastruktur untuk menopang pariwisata Labuan Bajo mencapai angka puluhan triliun, tetapi sampai sekarang tak memiliki efek apa-apa untuk rakyat Manggarai Barat.
“Tata kota di Labuan Bajo tak diurus, jalan-jalan ke desa yang akan menghubungkan pusat pertanian rakyat dan industri pariwisata tak terurus. Air bersih di kota Labuan Bajo hanya dinikamati hotel-hotel mewah, sementara rakyat tak mendapat manfaat berarti dari dana pembangunan pusat itu” jelas Ferdy.
Lebih mengerikan, kata dia, pemerintah pusat hanya ingin mengambil untung dari pengolahan TNK dan pulai-pulau indah di Labuan Bajo, sementara warga yang sudah lama menetap di sekitar TNK tidak pernah diperhatikan.
Di Pulau Komodo ada ratusan rumah tangga, di Pulau Mesa dan Papagarang juga ada sekitar 60 rumah tangga dan terdiri dari satu desa. Tetapi selama bertahun-tahun, pemerintah pusat tidak memperhatikan nasib mereka.
Warga TNK, kata Ferdy, dibiarkan hidup tanpa listrik, tanpa air bersih, tanpa fasilitas penunjang kesehatan, fasilitas pendidikan tidak dibangun.
“Pemerintah daerah Manggarai Barat juga tidak mau membangun fasilitas infrastruktur di kawasan TNK, karena mereka berpikir untuk apa membangun, sementara dana pengolahan TNK dan yang mendapat nikmat dari pengolahan wilayah semuanya di ambi pemerintah pusat,” jelasnya.
Berdasarkan data tersebut, Ferdy menyimpulkan, bisnis pariwisata berbasis premium yang disampaikan Jokowi itu, hanya untuk melayani elit pariwisata yang juga dekat dengan kekuasaan dan juga menjadi elit di dalam pemerintahan Jokowi.
Pulau Dikapling
Jumlah pulau di sekitar TNK dan pulau-pulau di wilayah Labuan Bajo mencapai 200-an pulau. Tetapi sampai sekarang sudah banyak investor yang mengkapling pulau-pulau itu untuk bangun hotel, resort, villa dengan biaya sangat mahal.
Di pulau Kenawa dan pulau Seraya kecil dan Seraya Besar misalnya, sudah dikontrol investor asing dari Italia dan Korea Selatan.
“Di pulau Kanawa, satu pulau besar sudah dimiliki investor yang dilengkapi dengan hotel, resort dan restoran besar. Rata-rata yang masuk ke Pulau Kanawa ini adalah wisatawan dari Korea Selatan, Hongkong dan Jepang” ungkap Ferdy.
Sementara di wilayah TNK ada beberapa pulau seperti, pulau Komodo, pulau Rinca, pulau Padar, pulau Kelor dan pulau penyangga seperti, pulau Mesa dan Pulau Papagarang. Di kawasan TNK ini pemerintah sudah membuat zonasi. Pulau-pulau sekitar TNK ini sudah dikontrol oleh investor-investor besar. Sekitar 40 hektar lahan di wilayah TNK sudah dimiliki investor bekerjasama dengan pemerintah pusat.
Padahal, jelas Ferdy, di pulau Komodo warga yang hidup berdampingan dengan Biawak Komodo terdiri dari ratusan keluarga. Sementara di daerah penyangga seperti pulau Mesa dan pulai Papagarang juga sudah ada ratusan rumah tangga yang bermata pencaharian nelayan dan melaut.
“Seiring perkembangan pariwisata Komodo-Labuan Bajo, warga di sekitar TNK ini tak boleh memiliki hak atas lahan dan tak bisa menangkap ikan di sekitar kawasan TNK, sementara mata pencaharian mereka adalah nelayan,” ungkapnya.
Selain itu, di Labuan Bajo sendiri, hotel-hotel mewah semakin padat. Hotel Ayana sudah dibangun dan mengambila-alih wilayah pantai, punya dermaga sendiri, restoran dibangun di wilayah pantai yang menghambat kapal lain masuk ke pelabuhan. Deskriminasi tenaga kerja sudah terjadi.
Ia menambahkan, di hotel-hotel besar, seperti Ayana sudah mempekerjakan pekerja-pekerja asing, pelayan-pelayan asing di berikan standar gaji internasional, sementara pekerja lokal yang standar kerjanya sama diberikan gaji rendah.
Begitu juga dengan master dive, asing diberikan gaji tinggi. Investor-investor yang datang dari Jepang, Thailand dan Hongkong membawa guide-guide sendiri.
Pariwisata Premium, demikian Ferdy, lama kelamaan menjadi sebuah sistem dan membuat ekonomi kecil mati. Tingkat konsumsi pun pasti akan ikut berdampak sangat tinggi. Harga-harga di hotel dan restoran menjadi sangat mahal. Biaya-biaya ke spot-spot pariwisata menjadi sangat mahal, biaya transportasi kapal penumpang ke TNK dan pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo tak bisa dijangkau rakyat kecil.
“Tiket masuk ke TNK selama ini Rp 5.000,00 jika ke Premium nantinya bisa jutaan, rakyat tak bisa masuk ke TNK. Biaya transportasi kapal dari Labuan Bajo ke TNK menjadi ikutan naik dan berimbas pada rakyat bawah yang tak memiliki pendapatan besar” jelasnya.
Menurut Ferdy, keputusan ini sangat ironis, karena Pendapatan per kapita regional kabupaten Manggarai Barat per 2019 hanya sebesar Rp 12 juta per tahun atau pendapat per bulan masyarakat hanya Rp 1 juta atau per hari sebesar Rp30.000,- .
“Ini tentu menjadi sangat tidak normal untuk konsumsi dan inflasi menjadi sangat tinggi. Per bulan Agustus 2019, tingkat inflasi Manggarai Barat mencapai 0.4 di atas tingkat inflasi nasional,” jelasnya.
Selain itu, infrastruktur penunjang pariwisatapun jauh di bawah standar. Kelistrikan di Labuan Bajo, elektrifikasinya masih sangat rendah.
Per tahun 2019, jumlah rumah tangga di Manggarai Barat yang mendapat listrik dari PLN dan non PLN baru sebesar 12.000 Rumah Tangga.
Penulis: Irvan K