Oleh: Hans Pohar
Alumni Ekonomi Pembangunan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Pengantar
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah daerah dalam pembangunan nasional suatu negara.
Kemiskinan merupakan masalah yang serius dalam pembangunan suatu daerah yang bersifat kompleks. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan ini.
Sekalipun demikian, persoalan kemiskinan ini juga tak kunjung dituntaskan. Faktanya, kemiskinan bersifat multidimensional yang tidak saja berakar pada realitas fisik dan psikologis, tetapi juga pada masalah struktural.
Berbagai perencanaan, kebijakan serta pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan intinya adalah untuk mengurangi ketimpangan dan kesenjangan pendapatan yang pada akhirnya jumlah penduduk miskin semakin kecil.
Kemiskinan tidak hanya menjadi persoalan bagi daerah berkembang bahkan daerah tergolong maju sekalipun masih mengalami persoalan kemiskinan hanya tidak sebesar daerah berkembang seperti Nusa Tenggara Timur.
Daerah maju dan daerah berkembang pokok persoalannya sama tetapi dimensinya berbeda. Masalah kemiskinan di daerah maju lebih terlihat dari komponen masyarakatnya, tetapi bagi daerah berkembang (NTT) persoalan ini menjadi lebih kompleks karena hampir setengah dari total penduduk di kategorikan penduduk miskin.
Pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Menurut pendekatan ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata–rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK).
Secara teknis Garis Kemiskinan dibangun dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minuman makanan yang disertakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari, sedangkan GKNM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Penduduk miskin dapat juga dihitung melalui pendekatan lain seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia yang menghitung jumlah penduduk miskin berdasarkan pengeluaran per kapita setara dengan US$1 dan US$2 Puchasing Power Parity (PPP/Paritas Daya Beli).
Perkembangan Tingkat Kemiskinan NTT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin NTT meningkat 12,21 ribu orang, yaitu dari 1.134,11 ribu orang pada September 2018 menjadi 1.146,32 ribu orang pada Maret 2019.
Dibandingkan dengan Maret 2018 – Maret 2019 meningkat sebanyak 4,15 ribu orang. Persentase penduduk miskin NTT meningkat 0,66 persen poin dari 21,03 persen pada September 2018 menjadi 21,09 persen pada Maret 2019.
Apabila dibandingkan Maret 2018 – Maret 2019 menurun 0,26 persen poin. Sementara itu, dibandingkan kemiskinan Nasional, kemiskinan NTT masih jauh lebih tinggi dibanding rata-rata Nasional sebesar 9,41 persen per Maret 2019. Sekaligus ini tetap menjadikan NTT sebagai provinsi ketiga termiskin di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan meningkat sebanyak 60 orang dari 114,06 ribu orang pada September 2018 menjadi 114,12 ribu orang per Maret 2019, sedangakan jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan meningkat sebanyak 12,15 ribu orang dari 1.020,05 ribu orang pada September 2018 menjadi 1.032,20 ribu orang per Maret 2019.
Persentase kemiskinan di perkotaan semakin menurun dari 9,09 persen per September 2018 menjadi 8,84 persen Maret 2019, sedangkan di pedesaan mengalami peningkatan, pada September 2018 sebesar 24,65 persen menjadi 24,91 persen per Maret 2019.
Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Garis Kemiskinan meningkat 3,85 persen dari Rp.360.069,- per kapita per bulan menjadi Rp.373.922,- per kapita per bulan per Maret 2019. Apabila dibandingkan GK Maret 2018 – Maret 2019 meningkat 5,36 persen.
Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Kontribusi komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan kontribusi komoditi bukan makanan. Besarnya kontribusi GKM terhadap GK mencapai 78,17 persen pada bulan Maret 2019.
Jika dibedakan menurut tempat tinggal, konstribusi GKM terhadap GK di perkotaan dan di pedesaan umumnya hampir sama. Beras masih menjadi kontribusi terbesar yaitu 28,41 persen di perkotaan dan 39,14 persen di pedesaan. Rokok kretek filter menjadi kontribusi terbesar kedua terhadap GK yaitu 10,50 persen di perkotaan dan 6,22 pesen di pedesaan.
Sementara itu, komoditi bukan makanan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap GK adalah perumahan yaitu 9,10 persen di perkotaan dan 7,21 persen di pedesaan. Total Garis Kemiskinan Makanan meningkat 4,0 persen yaitu dari Rp.281,070,- per kapita per bulan pada September 2018 menjadi Rp.292,305,- per kapita per bulan per Maret 2019. Apabila dibandingkan Maret 2018 – Maret 2019 meningkat 4,80 persen.
Sementara itu, Garis Kemiskinan Bukan Makanan meningkat 3,31 persen dari Rp.78,999,- per kapita per bulan pada September 2018 menjadi Rp.81,617,- per kapita per bulan per Maret 2019. Dibandingkan Maret 2018 – Maret 2019 meningkat 7,41 persen.
Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Garis kemiskinan per rumah tangga adalah gambaran besarnya nilai rata-rata pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan minimum rumah tangga, baik makanan dan nonmakanan. Dengan kata lain, setidaknya rumah tangga harus memiliki pendapatan minimal sebesar GK rumah tangga agar tidak dikategorikan miskin.
Secara rata-rata, Garis Kemiskinan per Rumah Tangga meningkat sebesar 4,67 persen dari Rp.2.135,209,- per bulan pada September 2018 menjadi Rp.2.183,704,- per bulan pada Maret 2019.
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan mengindikasikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) turun sebesar 0,40 poin dari 4.549 pada September 2018 menjadi 4,152 pada Maret 2019. Demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) turun sebesar 0,32 poin dari 1,443 pada September 2018 menjadi 1,125 pada Maret 2019.
Solusi NTT Keluar dari Zona Kemiskinan
Nusa Tenggara Timur harus mampu keluar dari zona nyaman. NTT selalu dinobatkan sebagai provinsi ketiga termiskin di Indonesia. Pemerintah NTT perlu menemukan solusi yang tepat dalam mengentaskan kemiskinan.
Solusi yang tepat adalah melihat kembali kebijakan dan program yang telah di buat serta mengevaluasi terhadap program yang telah dijalankan tersebut.
Untuk mengentaskan kemiskinan di NTT diperlukan upaya yang memadukan berbagai kebijakan dan program pembangunan yang tersebar di berbagai sektor. Kebijakan dan program yang dipilih harus berpihak kepada masyarakat dengan cara meyempurnakan dan memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat di kawasan pedesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin.
Program yang dibuat harus strategis agar tepat sasaran. Terdapat tiga pendekatan dalam memberdayakan masyarakat miskin.
Pertama, pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan harus berpihak kepada masyarakat miskin dan fokus programnya adalah meningkatkan kualitas masyarakat miskin.
Kedua, pendekatan kelompok, artinya masyarakat diberi kesempatan untuk secara bersama-sama mencari solusi yang tepat sasaran dalam memecahkan masalah kemiskinan yang dihadapi.
Ketiga adalah pendekatan pendampingan, artinya masyarakat miskin perlu didamping oleh ahli yang profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan disaminator untuk mempercepat kemandirian dari kelompok masyarakat.
Pendekatan pendampingan ini sangat diperlukan karena targetnya adalah kualitas dari masyarakat sehingga dalam jangka waktu tertentu terjadi perubahan dalam ekonomi masyarakat miskin.
Selain pendekatan pemberdayaan masyarakat miskin, ada program mengatasi kemiskinan yaitu meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar. Fokus program ini bertujuan untuk meningkatkan akses penduduk miskin memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan prasarana dasar.
Beberapa program yang berkaiatan dengan fokus ini antara lain penyediaan beasiswa bagi siswa miskin dari tingkat SD,SMP,SMA/SMK, dan beasiswa untuk mahasiswa miskin yang berprestasi serta pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin di rumah sakit.