Ruteng, Vox NTT- Praktisi psikologi Jefrin Haryanto turut mengomentari kasus dugaan pelecehan seksual di Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kasus yang menimpa TJ (9) korban yang masih berumur 9 tahun itu menyeret PK, pria dewasa yang disebut-sebut sebagai pelaku pelecehan seksual.
Namun, kuasa hukum PK melalui siaran persnya menuding WK ayah korban telah merekayasa kasus tersebut.
Salah satu alasan di balik tudingan tersebut ialah karena WK dinilai telah menyampaikan keterangan berubah-ubah di berbagai media massa. Itu terutama locus dan tempus kejadian.
Bahkan kuasa hukum sudah mengajukan permohonan untuk melakukan tes kebohongan supaya kasus ini menjadi jelas dan terang.
Baca Juga: PK Nilai Ayah Korban Rekayasa Kasus Pelecehan Seksual
Tes kebohongan diklaim kuasa hukum terduga pelaku sangat penting untuk membantu penyidik Unit Perlindungan Perumpuan dan Anak (PPA) Polres Manggarai.
Di mata Jefrin, kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai korban mesti ditangani dengan hati-hati. Kehatian-hatian itu, mulai dari pendampingan hingga menggali keterangan dari anak sebagai korban.
Menurut psikolog dari Yayasan Mariamoe Peduli (YMP) itu, hal pertama yang dilakukan ialah upaya penyelamatan psikologis anak. Kemudian, jika anak terluka haruslah dibuatkan visum et repertum.
Jefrin menyatakan, penting juga memastikan saat dimintai kesaksian apakah anak itu nyaman atau tidak.
Sebab biasanya, kata dia, ada aturan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan harus didampingi oleh orang dewasa atau oleh ahli yang menangani anak. Atau bisa juga didampingi oleh lembaga-lembaga yang peduli dengan anak.
“Biasanya teman-teman di Kepolisian tahu bagaimana menggali kesaksian dari anak, pada saat mana saja dia bisa dimintai keterangan, jangan sampai punya efek trauma baru,” terang Jefrin kepada sejumlah awak media saat ditemui di Kantor YMP Ruteng, Jumat (06/12/2019).
Ulumnus pascasarjana psikolgi Universitas Gadjah Mada itu juga merespon tudingan kuasa hukum terduga pelaku yang menyebut keterangan WK ayah korban berubah-ubah.
Ia berpandangan bahwa keterangan anak kepada orang dewasa atau penyidik bisa saja berubah-ubah.
Sebab menurut Jefrin, anak memiliki keterbatasan dalam merekontruksi informasi dan kejadian. Apalagi kalau soal itu menimbulkan efek yang sangat trauma.
“Untuk mengungkapkan secara detail juga kadang-kadang dia ketakutan,” ujar peneliti sekaligus konsultan itu.
Seharusnya, lanjut dia, hal tersebut wajib dipertimbangkan, bahwa informasi yang berubah-ubah mungkin saja anak tidak memiliki kemampuan atau anak tidak sedang dalam kondisi terbaik untuk merekontruksi kejadian. Apalagi kalau soal itu menimbulkan efek yang sangat trauma baginya.
“Jadi jangan berpikir bahwa anak bisa sedetail kita orang dewasa. Tidak etis juga kita mengatakan bahwa anak memberikan kesaksian bohong terkait hal itu hanya karena dia berubah-ubah dalam bercerita,” ujar Jefrin.
Penulis: Ardy Abba