Ruteng, Vox NTT – Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM) menyebut Bupati Manggarai Deno Kamelus sebagai “The Man Behind” atau otak di balik dugaan kasus pembalakan hutan lindung di RTK 18 Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hal itu disampaikan melalui pernyataan sikap resmi saat menggelar aksi unjuk rasa memperingati hari antikorupsi sedunia di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Senin (09/12/2019).
LPPDM membeberkan bukti yang mereka peroleh terkait kasus pembangunan embung Wae Kebong di Kecamatan Cibal.
Pertama, pada tanggal 2 April 2016 Bupati Deno selaku pemohon telah mengirimkan surat ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Surat itu bernomor BLHD.660.1/053/IV/2016
Kedua, pada tanggal 8 November 2016 Bupati Deno kembali mengirimkan surat pasca proyek pembangunan embung tersebut sudah dikerjakan oleh kontraktor pelaksana.
Baca Juga: Video: Mantan Kapolres Manggarai Mengamuk Saat Aksi di Ruteng
Surat dengan nomor surat EK.019.1/445/XI/2016 tersebut kembali ditujukan kepada KLHK.
“Dari dua alat bukti tersebut di atas, bahwa Bupati Deno Kamelus sudah tergolong sebagai pelaku tindak pidana pembalakan hutan dan pembangkangan terhadap pemerintah pusat,” tulis LPPDM.
Ketua LPPDM Manggarai Marsel Nagus Ahang menjelaskan, dari alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHP, Bupati Deno layak ditetapkan menjadi tersangka sebagai otak atau “The Man Behind” dalam pembalakan hutan lindung RTK 18 Kecamatan Cibal.
Sebagai kepala pemerintahan, kata Ahang, Bupati Deno diduga telah membiarkan kontraktor pelaksana untuk melakukan pembangunan embung di Kecamatan Cibal.
Padahal seharusnya, Bupati yang berpasangan dengan Victor Madur itu memerintahkan kontraktor untuk menghentikan pembangunan sebelum ada izin dari KLHK.
Apalagi saat bersamaan Bupati Deno mengirimkan surat permohonan izin pembangunan embung tersebut.
Ahang menilai, Bupati Deno saat itu sudah mengetahui adanya pembalakan hutan lindung tanpa ada izin. Sayangnya tetap dibiarkan.
Mantan anggota DPRD Manggarai itu menegaskan, dalam surat tersebut Bupati Deno sebagai pemohon.
Sebab itu, ia layak diduga telah melanggar hukum lantaran membiarkan kontraktor pelaksana tetap melakukan pembangunan embung, sebelum ada izin dari KLHK.
Apalagi, jelas Ahang, sebelumnya Polres Manggarai sudah pernah menetapkan 3 orang sebagai tersangka dalam pengusutan kasus tersebut.
Polres Manggarai, menurut dia harus menetapkan Bupati Deno sebagai tersangka. Sebab ia merupakan kepala pemerintah.
“Dia (Bupati Manggarai) yang kirim surat Kementrian untuk permohonan izin, sementara proyeknya sementara berjalan. Berarti di situ dia secara sengaja perintahkan kontraktor untuk lakukan pembalakan hutan lindung secara liar, tidak mungkin kontraktor bekerja tanpa ada perintah dari siapapun. Karena dalam surat yang dikirim ke Kementrian Bupati Deno sebagai pemohon,” ujarnya.
Ia menambahkan, pada Pasal 55 ayat (1) KUHP mengatur tentang barang siapa yang melakukan semua unsur-unsur tindak pidana.
Pada poin pertama berbunyi bahwa mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan.
Sementara pada poin kedua, mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan atau ancaman atau penyesatan atau dengan memberikan kesempatan sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatannya.
Untuk diketahui, proyek yang berlokasi di Wae Kebong, Kelurahan Pagal, Kecamatan Cibal tersebut milik Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Manggarai tahun anggaran 2016. Proyek dikerjakan oleh PT Selera.
Realisasi anggaran untuk proyek tersebut sebesar Rp 1.248.422.000 dari target awal senilai Rp 2,1 miliar.
Proyek ini kemudian sudah pernah diusut pihak Polres Manggarai sebelum akhirnya mengeluarkan surat perintah pemberhentian penyelidikan (SP3).
Baca di sini sebelumnya: LPPDM Desak Polres Manggarai Cabut Kembali SP3 Kasus Embung Wae Kebong
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba