(Sebuah Prosa tentang Catatan Ibu di Hari Ibu)
*) Karya RP. Ovan Setu, O. Carm
Waktu itu, aku ingat kisah seorang wanita yang terkelengkup-membaringkan seorang bayi, di sana di sudut kasur dekat dinding-dinding halar rumah pelupuh ada mata yang mengintip kecup-elus dan air mata itu jatuh menjuntai. Di bibir kering-bergaris di lihat oleh mata ada keruh dan keriput yang mulai memoles paras yng saban hari begitu molek diparas ayu yang sederhana. Itu mama, mamaku.
“berapa puluh taun lalu, beta masi kacile, beta inga tempo itu, sio mama gendong-gendong betae……” salah satu syair dalam lagu Sio Mama di atas memberi waktu aku dikenang kembali yang saban lalu dengan mengunyah sirih pinang di mulutnya dan bibir yang memerah oleh nata* mengecup kecil kening sambil mengendongku. Bayi itu, menangis, mengompol, lalu perih amis jadi tangisan risih di gendang telinga kau ralat-lepas segala kerja yanng menyibukkanmu, kau ambil aku, digendong mesra, diberi tetek sambil menyanyi. Aku ingat lagu khas yang kau nyanyikan bagiku di bawah rumah panggung, di depan teras rumah kita “Aku Retang Bao.” Dengan suara parau, di bawah alur nada yang tak selaras, kau tetap tersenyum-memberi kecup lagi dan lagi biar aku nyenyak dengan tenang, diam di bawah payung teduh dekapanmu.
Waktu itu, aku tertidur tapi aku ingin tubuhmu tak harus jauh, aku menangis, menangis lagi setiap tubuhmu menjauh dan kau mama, datang mengecup dan mengendongku membusungkan tubuhmu biar aku tetap berada di punggungmu, meski lelah memapahku, jemari dan matamu terus meramuh kain-kain lepas, menamabalkan beberapa sobekkan-sobekkan kecil di pakaian kerja Ayah dan kau mejahit baju-baju kecil dengan hiasan-hiasan motif anak-anak untukku. Bayi yang kala itu masih mungil untuk memahamimu.
Mama, bulan Desember sekarang. Ada rindu di ujung mata ini. Kemarin, kemarin sekali aku masih membaringkan tubuhku dengan suasana lampu-lampu natal dalam pelukkanmu, kau masih saja mengelusku, mendekapku, memangkuku di pahamu, namun sekarang desember itu tiba, aku rindu suasana itu mama. Rindu pada jemari-jemari yang kini telah keluh-rapuh dimakan waktu. Sudah dua belas tahun natal itu kian sepih, lampu-lampu natal di setiap ruas jalan, kandang-kandang natal yang menghiasi rumah-rumah kecil di sini tak lebih dari sekadar pelipur larah. Mama, aku rindu kue buatan mama, diseduh dengan kopi pahit takaran jemari rasamu. Mama, natal ini aku rindu lahir baru meski tak lagi harus meng-asi padamu. Cukup, pelukkan rasa dan kecupan kecil di keningku.
* * * *
Mama, selamat ya. Aku ucap selamat itu lewat via telepon seluler sambil jemariku mengengam beberapa helai fotomu yang waktu itu pernah kuambil dari album keluarga kita. Sudah usang sih sebenarnya, namun wajahmu sama sekali tak pernah usang sekalipun waktu ingin merampasnya. “Mama, sekali lagi selamat untuk hari ini.” Makasih nana*, tetap jaga kesehatan, jangan lupa berdoa, owh iya nana natal kali ini mama tidak bisa mengirimkan kue untuk nana soalnya mama juga tidak mengerjakan kue tahun ini, nana. Mama dan Bapamu kali ini natal dan tahun barunya di kampung kelahiranmu. “Jawab ibuku, diseberang sana.” Iya Ma, tidak apa-apa. Kalau begitu sekali lagi selamat untuk hari-mu, hari ini Ma.
Telepon itu berakhir.
di seberang antara waktu dan jarak,
di sini antara aku dan telepon genggamku
masih ada rindu.
Air mataku jatuh, jatuh lagi memburamkan mataku pada sehelai foto di tangan kananku. “Mama, selamat hari ibu.”
Mageria, 2019.
Keterangan
Nata : Makan sirih pinang (kebiasaan mama-mama di kampung di wilayah Ende-Lio)
Nana : sapaan untuk anak laki-laki (panggilan kepada anak-anak dalam bahasa Manggarai)
Tentang Penulis
Ovan Setu, O. Carm merupakan putera sulung dari lima bersaudara, kelahiran Detusoko, 02 Oktober 1988. Penulis adalah Kepala Sekolah di SMPK Alvarez Paga dan saat ini menetap di Mageria.