Oleh: Arnus Setu
Jalanan di hadapanku masih sama seperti kemarin. Begitu pun kemarinnya lagi. Bahkan sudah lebih dari sebulan sejak aku di sini. Jalanan itu tetap sama. Lembab. Basah. Air tampak menggenang di beberapa titik. Daun-daun dari pohon nangka mulai berserakan. Yang lainnya lagi menumpuk di salah satu titik. Tidak ada satu pun yang peduli. Tidak juga aku.
Sementara itu, mentari perlahan-lahan mengendap dari balik sebuah bangunan baru berlantai tiga bersamaan dengan lalu-lalangnya puluhan kendaraan yang perlahan-lahan menyesaki badan jalan. Menyisakan asap-asap kotor yang mengudara tak tentu arah. Sebuah jenis polusi akut yang hingga kapanpun selalu ku kutuk keras. Sungguh pagi yang biasa.
Di antara kendaraan yang berjejal itu, beberapa ibu kelihatan bersepeda berlawanan arah. Mereka mengambil sisi paling kiri dari badan jalan dengan ayunan yang terkesan tidak terburu-buru. Pacul, sabit, hingga cerek minuman kudapati letih di balik punggung. Sementara mata memandang jauh ke depan. Entah ke mana. Pada titik apa. Tidak ada yang benar-benar tahu.
Beberapa hari terakhir, hujan memang tiada henti mengguyur kota ini. Membasahi seluruh permukaan tanah. Selokan yang sempat kering sebulan lebih itu kini telah dialiri air. Bersamaan dengan aliran itu sampah dari berbagai jenis pun ikut hanyut. Seolah tidak mau kalah satu sama lain. Namun, yang menarik dari hujan kali ini tidak lain selain berhasil meniadakan kesedihan para petani karena didera kemarau yang terlampau lama.
Pukul 08:48
Belum ada satu orang pun yang mampir untuk membeli. Kecuali, seorang bapak yang entah dari mana datangnya. Begitu pintu kubuka, ia sudah menunggu dan bergegas menanyakan sebuah alamat. Tapi, kemudian kujawab dengan sekali geleng kepala. Ia pun pergi masih dengan pertanyaan yang belum terjawab juga alamat yang masih menjadi teka-teki. Di kelokan jalan, ia mulai merapihkan celana tisu hitam yang sedikit kedodoran.
Memerhatikan celana itu, simpul ingatan mendadak menyeret ku kembali pada sebulan lalu. Pada sebuah bangunan berbentuk huruf u dengan dinding-dindingnya dihiasi aneka tulisan inspiratif. Di deretan paling belakang dari salah satu ruangan itu, aku menepi. Sejenak merapihkan kemeja putih dan celana hitam yang mulai longgar juga mengelap sepatu fantofel hitam yang sedikit berdebu. Sepatu yang rasa-rasanya terlanjur tua untuk usiaku.
Sambil menunggu bunyi lonceng bordering, aku mulai menyiapkan berbagai buku yang mesti dibawa ke dalam kelas sembari sesekali menyeruput segelas kopi hitam yang sedikit lebih manis dari biasanya.
Di sekelilingku, rekan-rekan guru yang lain juga dalam kondisi siap untuk memulai pelajaran. Percakapan kami sepagi itu pun seperti biasa. Paling-paling membahas berita-berita di televisi atau di media sosial yang ramai diperbincangkan. Pembahasan berikutnya pasti tentang anak-anak didik masing-masing. Tak luput tiap harinya, nama-nama seperti Dito, Hiro, dan Andra, siswa-siswa kelas VI yang terkenal begitu nakal itu dibicarakan, juga Nesya, siswi kelas IV yang terus dipuji-puji karena suaranya amat bagus. Apalagi ia baru saja menjuarai ajang pencarian bakat dalan bidang tarik suara di kota kami. Prestasi yang gemilang, bukan
Lonceng berbunyi dan kami pun bergegas. Di antara tumpukan buku juga padatnya isi tas yang kami bawa, terselip harapan anak didik, orang tua, dan bangsa ini. Harapan akan hari esok yang lebih baik, tentunya.
Pandangan mataku mendadak gelap. Samar-samar sesosok tubuh nan begitu besar mulai menghalauku. Sementara deru kendaraan mulai bercokol di telingaku.
Pukul 09.30
“Mas, Mas….”, sebuah suara mengagetkanku.
“Gimana, Bu. Ada yang bisa dibantu?” jawabku santai.
“Voucher Telkomsel dong Mas yang sebulan”, lanjut wanita itu.
Segera kuambilkan kartu tersebut lalu menyerahkannya. Ia pun pergi setelah membayar sejumlah uang. Badannya yang begitu besar membuat langkah kakinya menjadi tergontai-gontai. Makin jauh gerakannya makin melambat.
Beberapa saat setelah wanita itu, berbagai orang pun datang. Tentunya dengan kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda. Aku mulai sibuk melayani satu demi satu dari para pembeli tersebut. Kartu, aksesoris hp hingga pulsa berangsur-angsur menipis karena banyaknya pembelian. Meski sedikit lelah karena kekurangan tidur, tetap kupaksakan diri untuk memberikan pelayanan terbaik. Toh, itu adalah kewajibanku.
***
Sesungguhnya sejak beralih profesi menjadi seorang karyawan konter. Aku pun belajar banyak hal tentang karakter orang. Ada orang yang ketika mendatangi konter, raut wajahnya begitu cemberut. Ada lagi yang menemuiku sambil senyum-senyum sendiri. Ada pula yang lupa uang ketika hendak membayar. Ada lagi yang menjadi sok akrab. Padahal kami belum pernah ketemu sebelumnya.
Kehabisan pulsa atau ketiadaan kuota seperti menjadi prahara yang luar biasa. Membuat pikiran berkecamuk-tidak tenang. Kemudian berusaha sekuat tenaga untuk memerolehnya kembali. Tidak penting bagaimana dan apa caranya. Begitulah gelagat orang-orang yang datang itu.
Pernah suatu waktu, di suatu siang yang begitu panas. Tidak ada hujan seperti sekarang ini. Seorang pria muda menghampiri ku dengan sebuah tas hitam yang diletakan di depan perut dengan salah satu tangan menggenggam tas itu.
Pria itu begitu pendiam. Tidak banyak bicara. Namun, sebagai pelayan yang baik aku coba menanyakan maksud kedatangannnya. Ia pun akhirnya menunjukkan beberapa nomor hp. Kurang lebih tiga nomor hp yang berbeda.
“Isi pulsa, Mas?” tanyaku penasaran.
“Iya,” jawabnya sedikit ketus.
Salah satu dari ketiga nomor itu kuisikan pulsa 400.000 sebagaimana perintahnya. Sementara kedua nomor lainnya masing-masing 300.000. Jumlah yang fantastis, bukan?
Siang itu aku menjadi begitu senang dan mulai senyum-senyum sendiri. Penjualan dalam jumlah banyak tentu saja membuat pendapatan bertambah. Apalagi ada sebuah aturan di konter kami, apabila penjualan mencapai target maka penjaga konter saat itu akan mendapatkan uang tambahan yang mirip tunjangan begitu yang diambil saat penerimaan gaji bulanan.
Namun, Itu pun bila hari-hari ke depannya, aku tidak telat masuk kerja. Jika telat sedikit saja, secara otomatis tunjangan tersebut hangus. Berat, bukan?
“Mas, saya jaminkan laptop dulu ya”, pinta orang itu.
“Maksudnya gimana, Mas? Kan pulsanya sudah kuisi semua. Ko malah ngasih laptop”, jawabku sekenanya saja.
Hal aneh mendadak mengusik pikiran dan perasaan senangku itu.
Kusodorkan kertas kecil berisi total pembayaran yang mesti ia bayar. Berharap ia langsung menyerahkan uang sejumlah itu. Sayangnya, ia malah mati-matian ingin menjadikan laptopnya sebagai barang jaminan sebab tidak membawa serta uang kas.
Mendengar itu, aku pun marah. Berbagai ancaman pun kusampaikan. Caci maki ke luar begitu saja. Ia hanya menundukkan kepala tanpa sepatah kata pun. Sampai-sampai kukeluarkan ancaman yang berisi laporan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian. Ia makin terpojok.
Pukul 13.30
Kami masih saling berhadap-hadapan. Mataku melotot tajam. Seolah mencari kebenaran di kedua bola mata yang membisu itu. Apa benar ia tak bawa uang ataukah ia hanya bersandiwara? batinku. Ia tertunduk malu. Hp di hadapannya terus berdering. Sebuah panggilan entah dari siapa menantikan jawabnya.
Diambilnya hp tersebut. Beberapa nomor coba dihubungi. Beberapa jawaban dari seberang kudengar samar-samar.
“Maaf, De. Aku ngga wa atau nelpon kamu e tadi”, sebuah jawaban yang terdengar sedikit serak.
“Sejak kapan aku berani minta pulsa sebanyak itu. Gila kali ya,” suara lainnya dengan nada sengaja ditinggikan.
Aku mulai bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan orang ini? Bagaimana bisa ia mengisi pulsa pada nomor orang yang tak ia kenal?
Beberapa saat berselang, seorang Ibu tiba-tiba saja sudah di hadapan kami. Ia pun memelototkan matanya yang tajam dan sangar ke lelaki itu.
“Bukannya mau ikut campur, Mas. Tapi keributan tadi cukup menggangguku. Apalagi kejadian kaya gini terulang lagi,” kata wanita itu seketika.
“Maksudnya terulang?” tanyaku penasaran.
“Ya..orang ini korban penipuan, Mas. Sudah jelas ini,” lanjut wanita itu.
Wanita itu kemudian menjelaskan panjang lebar perihal kejadian serupa di masa lalu. Aku mendengar begitu antusias. Memotong pembicaraannya tak mungkin. Ia kelihatan begitu berapi-api dan penuh semangat.
Sementara, lelaki di hadapanku hanya terpaku. Ia kembali menundukkan kepala dalam-dalam. Seolah membenarkan setiap detail perkataan Ibu itu.
Karena telah merasa dibohongi, wajahnya mulai layu. Ia mengira orang yang memintanya mengisikan pulsa adalah kakak-kakaknya. Sayang, kuketahui kemudian ternyata kakaknya tak pernah menghubunginya sama sekali. Ada orang lain di luar sana yang menyerupai suara saudaranya dan berhasil memanfaatkannya. Akhirnya aku sadar: ia korban penipuan. Bagaimana bisa?
Akhirnya ia meminta bantuan kedua orang tuanya yang tidak tahu-menahu. Dalam lima belas menit saja, uang sudah dikirim dan ia pun membayar sejumlah uang tadi lalu pergi dengan perasaan sedih, marah, dan kecewa. Nasib seperti tidak berpihak padanya.
Pukul 15.30
Setelah ia pergi, aku sadar ia sebenarnya anak yang baik. Namun, terkadang keberuntungan tidak selalu menghampiri orang-orang yang baik. Malah kemalanganlah yang sering menimpa mereka. Hidup memang sepereti itu. Dan sepertinya akan terus seperti itu.
Tentang guru tadi, tidak perlu kuceritakan panjang lebar di sini. Profesi yang menarik dengan tanggung jawab moral yang tinggi seperti itu tampaknya tidak layak aku teruskan.
Aku mulai larut dalam kesibukan merekap semua penjualanku. Hal itu wajib dilakukan seorang penjaga konter. Tidak boleh tidak.
Meski begitu, beberapa ingatan terus saja menggangu. Baik kenangan, harapan, maupun masa depan terus berkecamuk. Menyisakan ruang khusus dalam kepalaku. Hidup sudah seperti melalui perjalanan yang panjang dengan setiap arahnya masih dan akan terus menjadi teka-teki. Persoalannya ialah: Mampukah teka-teki itu dipecahkan?
Yogyakarta, 2019
*Arnus Setu berasal dari Detusoko, Ende, NTT. Alumnus SMA Seminari Mataloko. Belajar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.