*Cerpen Chan Setu
Semenjak pagi kemarin, aku lihat Tima seperti orang yang sedang kesurupan. Mondar-mandir, keluar-masuk rumahnya. Apa yang terjadi? Tanyaku membatin. Lima belas menit kemudian, mobil ambulance dengan bunyi sirene mampir di halaman rumah mereka. Jejal kaki para tetangga bergemuruh di sepanjang gang perumahan kompleks KOGER yang saban hari disingkat dari “Komplek Gereja.” Siapa yang sakit? Atau jangan-jangan ada yang meninggal? Aku masuk dalam kerumunan massa itu, satu diantara yang lain saling berbisik merisik “ibunya sudah mati?” Yang lain lagi berisik membisik sambil mencibir “sakit apa ibunya selama ini?” aku pun diam membatin, “Ibu, jangan tutup usia dulu.”
Tima adalah seorang gadis remaja usianya sekitar 20-an tahun. Suatu hari di kompleks kami ribut di gosip oleh mama-mama tetangga tentang Tima. Banyak isu yang beredar Tima adalah gadis malam, yang sewaktu-waktu sering didapati berkeliaran di luar gang kompleks sekitar Pukul 20:00 dan kembalinya selalu dini hari Pkl. 04:30. Mama-mama di kompleks kami tidak pernah menginginkan anak laki-laki mereka sedikitpun untuk mendekati Tima bagi mereka Tima hanya seperti aib bagi nama baik keluarga mereka masing-masing. Sekalipun demikian aku boleh jujur, kalau-kalau Tima merupakan satu-satunya bunga desa dari kompleks kami yang cantik, berperawakan tinggi, manis disimpul lesung senyum pipinya dengan rambut yang tergerai diimbangi warna kuning langsat, kulitnya. Sesekali aku selalu “silik-silik na’o”* padanya. Tatapan matanya begitu kosong, hampa, hambar, senyum yang disimpul lesung diujung bibirnya semakin hari semakin menua. Barangkali Tima sakit? Saat pikiranku berkecambuk sambil menerka-nerka kondisi Tima yang semakin hari sekamin menurun, Ibuku memergokiku sambil berkata “kamu lihat, Tima itu. Gadis yang saban hari diagung-agungkan oleh guru-gurumu sewaktu sekolah kemarin, para katekismus di KBG kita, orang-orang tua, anak-anak muda seusiamu lantaran keaktivan dan kreativitasnya yang luar biasa itu kini telah menjamur seolah telah menjadi aib bagi mereka yang tidak menyukainya.” Randy, cobalah sesekali menyapa dan ajaklah ia berbicara, apa gunanya setiap hari dari sudut bibir jendela kamar tidurmu kau menatap dengan segala kekaguman dan keheranan atas segala perubahan yang dialaminya.” Tapi kan Ma… “Mama mengerti, banyak tetangga kita yang tiap hari membicarakannya, tapi Anakku Ran, tidakkah kau lihat mama Tima akhir-akhir ini tidak pernah menonggolkan wajahnya di halaman rumah mereka bahkan di pelataran kompleks kita.” Jawab mamaku sambil mencelah pembicaraanku seolah memahami apa yang aku pikirkan. “Baiklah Ma, kapan-kapan akan kuajak Tima kemarin dan mengajaknya berbicara sambil berbagi kisah, jawabku.”
Randy, itu namaku. Aku dan Tima terpaut usai yang cukup jauh aku duapuluh depalan tahun sedangkan Tima duapuluh tiga tahun. Jarak rumahku dan Tima hanya berseberangan saja di batasi oleh ruas jalan kompleks kami. Dulu mamaku pernah bercerita kalau-kalau ayah Tima dan ayahku adalah partner kerja di kantor camat, kecamatan kami yang kebetulan ayahku hanya sebagai pegawai biasa begitu pula dengan ayahnya. Selain itu ayahku dan ayah Tima selalu ambil bagian dalam segala kegiatan baik kegiatan organisasi kecamatan maupun di ruang lingkup Gereja. Keaktifan ayahku dan ayahnya membuat kelaurga kami dan keluarga mereka seperti satu keluarga. Namun lamban laun, semuanya kian berubah. Awalnya masih terlihat biasa-biasa saja. Semenjak ayahku dipromosikan untuk naik jabatan sebagai Kepala Lurah di kelurahan kami dan ayah Tima tetap menjadi pegawai harian di kantor camat begitupun dengan KBG ayahku diberi kepercayaan oleh umat KBG sebagai ketua KBG membuat kecemburuan itu semakin menjadi-jadi yang akhirnya membuat ayahku dan ayah Tima seperti saling bermusuhan. Senyum, sapa dan salam yang dulu begitu akrab dan familiar mulai berubah yang terlihat hanyalah sebuah tatapan kebencian, kecemburuan, ketidaksukaan, seolah-olah ayahku jadi mangsa yang ingin segera diterkam. Semenjak itu juga hubungan keluarga kami dan kelurga mereka mulai merengang. Sekalipun demikian, ibuku dan ibu Tima masih tetap seperti dulu, saling bercerita, berbagi satu sama lain, sambil mengunyah nata* yang mana kata ibuku waktu itu ibu dan ibu Tima melakukan itu secara diam-diam sewaktu ayahku dan ayahnya pergi kerja. Selebihnya kata ibu semua terlihat normal-normal saja.
Kecemburuan itu berakhir ketika ayahku mulai sakit-sakitan dan akhirnya ayahku divonis oleh Dokter mengidap Kanker pada hati waktu itu bulan Oktober 2015 dan dua bulan kemudian ayahku meninggal dunia bersamaan dengan perayan kelahirannya sekaligus manusia merayakan euforia kebahagiaan atas tutup tahun 2015, 31 Desember 2015, saat itu langit sedang romantisnya dikawini oleh kembang api dan segala pernak-perniknya juga bunyi mariam bertalu saling menyahut, memangil satu per satu kenangan dan katakan “Say Good Bye.” Sedang aku, mama dan kelaurga kami saling menyahut dalam tangisan, memangil kembali segala cerita bersama ayah dengan segala harap mujizat itu ada. Namun, semuanya sia-sia, “kita diciptakan dari tanah demikian juga kita akan meninggal, dikuburkan dan kita akan kembali menjadi tanah.” Demikianlah ungkapan, salah satu imam saat berusaha menguatkan kami. ‘Tuhan, kutitip ayah kami, jangan kau ambil lagi Ibuku.”
* * * *
Desember 2018
Siang itu, langit tampak mendung, bunga-bunga kembang sembilan di halaman rumah kami tak lagi mengembangkan kelopaknya. Di terka-terka sebentar lagi hujan akan turun. Dari bibir jendela kamar, aku lihat para petani yang hilir mudik, dengan langkah kaki yang begitu berirama sangat cepat, barangkali tak mau hewan peliharaan mereka basah terkena hujan atau pakaian-pakaian yang mereka jemur di beranda samping dan belakang rumah, tak ingin dibasahi lagi oleh hujan. Di seberang ruas jalan rumahku, aku lihat seorang wanita berdaster hitam dengan payung di tangan sambil mengenggam beberapa buku sedang berjalan menghampiri rumah kami. Lima menit kemudian, ibuku memanggilku. “Randy, Randy, Ran.” Iya Ma, jawabku setelah berada di hadapan ibuku, tanpa melihat siapa yang datang. “Nak, tolong bantuin Tima, temanin mamanya di Rumah Sakit.” Ungkap mamaku. “Tapi Ma, aku sedang menyelesaikan Renungan, untuk kotbah malam natal nanti.” Jawabku. Tidak pakai tapi-tapian, pokoknya mama tahu, sekarang kamu menemani Tima temanin mamanya di rumah sakit. Jawab mamaku dengan suara lantang dan keras. Aku ingat hari itu hari Senin, 23 Desember 2018. Aku menemani Tima termanin mamanya di Rumah Sakit. Ada kecangungan dalam diriku untuk memulai percapakan seperti biasanya. Namun kebisuan yang cukup lama. Mula-mula dari kompleks hingga di ruang Mawar Rumah Sakit sedikit membuatku tak nyaman seperti ada penghalang yang membuatku jadi jenuh dan bosan meskipun secara diam-diam aku selalu memperhatikan Tima yang sedang duduk di seberang pembaringan ibunya. Aku lihat, ada urat-urat yang mulai nampak di raut wajahnya, seperti usia tua yang sebenarnya belum pantas dimiliki oleh seorang gadis berparas dan berperawakan cantik sepertinya. “Tima, panggilku dengan lantang.” Iya Ran, “jawabnya sambil menoleh kepadaku.” Sejak kapan mamamu, mulai sakit seperti ini. “Tanyaku.” Randy, barangkali sudah sejak bulan November kemarin. Awalnya, mama hanya kecapehan seperti biasa, namun semakin lama mama mulai engan makan dan bandannya mulai kurus dengan kondisi tubuh yang kadang panas tinggi dan kadang dingin. Bahkan mama, begitu seringnya mengigil. Sampai pada tanggal 15 Desember kemarin mama mulai sering tidak sadarkan diri, lebih banyak habiskan waktu di atas tempat tidur hingga hari ini mama belum juga sadarkan diri. “jawab Tima, dibarengi suara parau oleh isak tangisnya.” Kalau boleh tahu, mama sakit apa sih Tima. Tanyaku lanjut. “Kata Dokter, mama mengidap kanker otak.” Tangisnya pecah. Sesaat kemudian, aku telah membawanya dalam rengkuhan tubuhku sambil menguatkan dan mengelus kepala dan pudaknya yang entah dari mana aku mendapatkan keberanian seperti itu. “Tima, banyak hal yang tidak bisa kita pikirkan bahkan tidak mau kita adakan dalam pikiran termasuk seperti yang dialami oleh mama. Banyak hal juga yang tidak bisa kita larang bahkan sekadar membuat sebuah perlawanan baik secara fisik maupun dengan menggunakan verbal. Begitu juga dengan kehidupan yang kita jalani. Tak ada yang tahu kapan ia mengalami keadaan kritis hingga koma atau kapan seorang manusia mengetahui kalau-kalau kondisi tubuhnya benar-benar dalam keadaan yang paling baik. Kita boleh kapan dan dimana saja untuk merencanakan sesuatu namun kita tak mampu menghindari segala sesuatu yang terjadi dari setiap perencanaan yang telah kita rencanakan. Sebab hanya Tuhan yang tahu persis bagaimana kehidupan kita hari ini, esok, lusa, nanti dan selamanya.” Tapi Randy. “Tima, tak usah kau mengeluh tentang-Nya, atau tak usah kau pikirkan tentang apa yang dibicarakan oleh tetangga-tetangga kita tentang dirimu. Tuhan, selalu mencoba umat-Nya dengan segala peristiwa salib. Saat ini pun kau sedang mengalami peristiwa salib mulai dari dicibirkan oleh tetangga hingga kondisi kesehatan mamamu. Meskipun demikian, Tuhan telah merencanakan sesuatu untukmu, melalui peristiwa salib yang kau alami ini.” Ketika kau membutuhkan orang lain, datanglah jangan sekali-kali kau sungkan untuk mampir ke rumah aku dan mamaku juga dengan ayahku sekalipun ia telah meninggal tetap dan akan selalu menerima dirimu dan keluargamu seperti bagian dari kehidupan kami. Satu hal yang harus kau pahami, bahwa hanya kepada-Nya tempat dan rumah kita untuk berlabuh.” Makasih Randy, semoga Tuhan memberikan yang terbaik buat mama. “jawab Tima.”
Selesai berbincang, aku dan Tima kembali membisu dengan keheningan masing-masing. Lima belas menit kemudian, tanggisan itu kembali pecah usai nadi ibunya tak lagi berdetak. Mungkinkah ibunya telah meninggal? Tanyaku, membatin. Dokter, dokter, dokter…, beberapa menit kemudian dua-tiga perawat mulai datang lalu disusul dokter tanpa banyak bertanya mereka mulai mengantisipasi dan memastikan kalau-kalau semuanya baik-baik saja. Namun, hidup tak pernah mampu kita terka, kematian dan kehidupan yang kita jalani hanya sebuah anugerah dan titipan dari sang pencipta bagi kita. “Bagaimana dok, kondisi ibu kami.” Tanyaku dengan suara berat. Maaf, Nak kami tidak dapat berbuat lebih untuk bisa menolong ibu kalian. Ibu kalian, telah meninggal dunia, lima belas menit yang lalu. “Jawab pak. Dokter.” Tanggisan itu pecah, disela-sela isak tangisnya, Tima, berkata parau dengan nada sesak, “ibu, sebentar lagi natal tiba dan tahun baru menyusul dari belakang. Mungkinkah tak ada natal yang perlu kurayakan lagi. Ibu, bangun bu, malam tahun baru masih harus kita doakan kepergiaan ayah kita dengan mengenang hari kelahirannya. Bu, tutup tahun sebentar lagi datang. “Ibu, jangan dulu tutup usia-mu.”
Keterangan:
*silik-silik Na’o (bahasa Sikka): curi-curi pandang.
*Nata: merupakan sirih pinang yang biasa dikunyah oleh mama-mama di kampung.
*Ibu, Jangan dulu tutup usia merupakan sebuah judul cerpen yang penulis imajinasikan dari sebuah pengalaman nyata di tempat tinggal penulis sambil penulis mencoba membahasakannya secara imajinatif. Selain tokoh-tokoh dan tempat yang penulis cantumkan bukanlah nama dan tempat yang sebenarnya begitupun dengan pekerjaan namun alur yang penulis ciptakan paling tidak penulis mencoba berangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulis secara langsung.