Kupang, Vox NTT- “Teing Hang”, apakah ritus berhala? Begitulah pertanyaan penuntun dari Pastor Alexander Jebadu, staf pengajar STFK Ledalero saat hadir sebagai pemateri dalam seminar tentang agama dan budaya di Aula Paroki St. Petrus Rasul TDM Kupang, Jumat (03/01/2019).
“Teing Hang” sendiri merupakan salah satu ritus adat orang Manggarai-Flores, NTT. Ritus ini adalah memberikan sesajian kepada roh leluhur sebagai bentuk persembahan yang memiliki berbagai maksud, antara lain meminta keberhasilan, memohon perlindungan dan juga berupa ucapan syukur.
Dalam materinya, Pastor Alexander menjelaskan, banyak orang Manggarai dan orang luar yang mencurigai ritus “Teing Hang” sebagai praktik berhala.
Menurut dia, ritual memberi makan leluhur sudah dipraktikan sejak zaman kuno, bahkan populer di seluruh dunia.
Ritus “Teing Hang” bukan hanya praktik adat istiadat semata. Tetapi sebuah praktik keagamaan.
Doktor filsafat itu menjelaskan, sikap Gereja sangat positif toleran dan tidak menolak terhadap ritus “Teing Hang”.
Menurutnya, sampai saat ini Gereja belum mempunyai pedoman pastoral tentang ritus “Teing Hang”. Hal itu karena Gereja sendiri belum mempelajarinya.
“Kenyataan di lapangan ada gesekkan atau bahkan konflik antar yang mempraktikannya dan yang tidak,” imbuhnya.
Pastor Alexander menambahkan, dalam Nostra Ætate Nomor 2 salah satu dokumen konsili vatikan dua menjelaskan, Gereja tidak menolak segala yang baik, benar dan suci dalam agama-agama lain.
Karena itu, Gereja mendesak putra-putri untuk bekerja sama dengan kelompok agama- agama lain.
Ia menegaskan, dalam ritual “Teing Hang”, leluhur tidak disembah tetapi hanya dihargai. Penghormatan kepada orang yang telah meninggal, sesajian makanan dan minuman untuk roh-roh orang mati hanya simbol atau tanda, juga lambang cinta dan kerinduan.
Pastor Alexander kembali mengingatkan
bahwa ritual “Teing Hang”, bukan praktik sia-sia dan praktik berhala.
Baca Juga: Masyarakat Adat Manggarai Tutup Tahun dengan Ritual ‘Teing Hang’
“Teing Hang” tidak bertentangan dengan iman dan bakti Kristen. Integrasinya ke dalam iman dan bakti Kristen memang bersifat sinkrestik, tetapi sebuah sinkretis religius yang benar dan bukan yang tidak harmonis.
“Justru mempelajarinya akan memperkaya gereja sendiri. Konsep persekutuan diperluas. Menolong mengakhiri adanya dualisme agama. Membuat gereja semakin berakar di Asia,” tuturnya.
Untuk diketahui, seminar tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Besar Macang Pacar Kupang, Ikatan Keluarga Manggarai Raya Kupang, Media Pendidikan Cakrawala NTT dan Hipmaspa Kupang, berkerja sama dengan Paroki St Petrus Rasul TDM.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba