“Akuisisi tanah, eksklusi petani, dan advokasi resistensi warga
pada Kawasan Industri Bolok di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia”
Kupang, Vox NTT- Kawasan Industri Bolok (KIB) dibentuk pada tahun 1997 di era kepemimpinan Gubernur NTT Herman Musakabe.
Pembentukan kawasan ini bertujuan untuk pengembangan bisnis dan pemusatan aktivitas industri, yang diklaim akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Dasar hukum pembentukan KIB adalah Perda Provinsi NTT Nomor 6 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Kawasan Industri Bolok, yang kemudian dicabut dengan Perda Nomor 13 tahun 2018.
Untuk menunjang pengelolaan, Pemerintah Provinsi NTT kemudian menerbitkan Perda Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pendirian PT Kawasan Industri Bolok (Perseroda) sebagai pengelola, yang sebelumnya dikelola oleh Badan pengelola KIB (wawancara dengan AZ, Kasubag Kelembagaan Ekonomi Daerah, tanggal 14 Agustus 2019).
Pada keempat hamparan tersebut telah dibangun industri energi oleh PT PLN, dan industri mutiara oleh PT Timor Otsuki Mutiara (TOM).
Selain empat kawasan tersebut, terdapat pula 3 kawasan lain di Desa Oematnunu, Nitneo, dan Kuanheum yang direncanakan untuk lokasi PT Semen Indonesia.
Kawasan tersebut diakuisisi dari tanah milik pribadi maupun tanah komunal.
Perubahan struktur agraria di KIB merupakan hasil kolaborasi negara dan korporasi yang digerakkan oleh pasar.
Rezim neoliberal telah mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan reforma agraria.
“Pengalihan tanah milik pribadi kepada milik korporasi jauh lebih mudah daripada tanah milik komunal. Tanah komunal di KIB yang menjadi target investasi korporasi telah dilegalisasi kepemilikannya secara individu dengan penerbitan sertifikat. Pemerintah Provinsi NTT telah membuka investasi bagi korporasi untuk menanamkan kapital pada Kawasan Industri Bolok di Kupang,” tulis Peneliti dari Kampus Unwira Kupang, Dedi Didimus Dhosa, dalam Jurnal Sosiologi Pedesaan terakreditasi Sinta 2 oleh Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia SK Nomor 36/E/KPT/2019; Tanggal 31 Desember 2019.
Kongkalikong
Dalam jurnal yang sama, Dedi dalam risetnya menemukan bahwa pemerintah berdalih investasi kapital dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, dan menekan tingkat kemiskinan masyarakat NTT.
Akan tetapi, tulisan ini menunjukkan secara adekuat bahwa kehendak untuk memperbaiki (the will to improve) tingkat kemiskinan oleh pemerintah jatuh pada permasalahan akut, karena sejarah KIB adalah sejarah perampasan tanah pribadi dan tanah komunal.
Tanah-tanah warga diakuisisi oleh pemerintah dan korporasi yang berkolaborasi dengan pemerintah daerah.
“Akuisisi tersebut telah merugikan masyarakat bukan saja para pemilik tanah melainkan juga para penggarap yang telah mengelola tanah selama bertahun-tahun,” tulis Dedi.
Dedi dalam tulisan itu juga memaparkan modus operandi perampasan tanah yang halus dilakukan oleh pemerintah dalam kolaborasi dengan korporasi melalui tiga hal penting.
Pertama, politik iming- iming. Kedua, wisata atau studi banding di Pulau Jawa. Ketiga, konstruksi wacana ‘lahan kering’.
Ketiga hal ini merupakan taktik halus yang mengkooptasi para pemilik tanah, elit lokal, dan pemerintah lokal.
Menurutnya, hasil penelitian menampilkan konsentrasi tanah pada dua suku besar dan akses atas tanah yang timpang oleh ke-11 suku kecil di Kuaneheum.
Hal ini menyebabkan para petani penggarap mengalami kesulitan dalam mengolah tanah.
Para penggarap pada akhirnya terusir dari tanah sebagai basis produksi, baik untuk mengelola pertanian, peternakan, maupun untuk menambang batu karang.
Advokasi
Dedi menemukan, adanya advokasi dua institusi sosial: GMIT dan WALHI, meskipun membuka kesadaran kritis warga tentang dampak buruk pengembangan industri baik bagi lingkungan hidup maupun bagi masyarakat, belum mampu menghentikan dominasi negara dan korporasi yang menerbitkan sertifikat tanah sebagai basis legal-formal kepemilikan.
Tantangan yang dihadapi dalam advokasi semacam ini adalah otoritas negara dalam menerbitkan sertifikat tanah secara tumpang tindih, dan tendensi korporasi dan negara dalam menghancurkan basis komunalitas warga.
Gerakan sosial tersebut mengalami kesulitan tatkala aktor penting di dalam masyarakat telah dikooptasi dengan kekuatan modal korporasi yang berujung pada penundukan terhadap massa rakyat.
Aktor advokasi pun mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anggota suku pemilik tanah yang luas yang bersikap kompak, dan rumitnya keterpecahan gereja.
Menurut Dedi, inilah tantangan berat bagi institusi yang mengadvokasi gerakan sosial.
Merujuk pada hal-hal yang dipaparkan tersebut, Dedi menyebut ada tiga catatan penting yang harus diperhatikan.
Pertama, Pemerintah Provinsi NTT perlu memikirkan kembali pembangunan Kawasan Industri Bolok di Kupang.
Hal ini disebabkan sejarah pembangunan KIB adalah sejarah perampasan tanah yang merugikan, bukan saja generasi para pemilik tanah melainkan juga para penggarap
Sebelumnya, dalam penelitian Li (2009) telah menunjukkan bahwa ‘tercabut dari tanah’ akan menimbulkan kemiskinan yang akut, dan hal ini sedang dialami, bahkan tidak menutup kemungkinan akan terus menimpa masyarakat di KIB.
Pembangunan KIB dapat juga merusakkan lapisan kars yang terbentang di KIB.
Kedua, proses penyadaran kritis kepada masyarakat NTT pada umumnya dan masyarakat di KIB pada khususnya tetap dilakukan, meskipun para pemilik tanah luas, elit lokal dan aparat pemerintah desa telah dikooptasi oleh Pemerintah provinsi dan korporasi.
Ketiga, kerja politik institusi sosial: gereja dan WALHI, serta organ sosial-politik lainnya terus dilakukan bukan saja pada saat telah terjadi akuisisi tanah, namun juga ketika fenomena perampasan tanah mulai bermunculan.
Dikatakan, pencaplokan tanah oleh negara dan korporasi atas nama pembangunan dan pengembangan industri tidak cukup terbukti menyejahterakan massa rakyat di NTT di tataran empiris.
Oleh karena itu, praktik iming-iming, studi banding, dan apapun modus operandi yang ditawarkan pemerintah dan korporasi perlu diwaspadai oleh massa rakyat.
Penulis: Ronis Natom
Sumber: Hasil Riset Dedi Didimus Dhosa dalam Jurnal Sosiologi Pedesaan oleh Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia SK Nomor 36/E/KPT/2019; Tanggal 31 Desember 2019