*Cerpen Rian Tap
“Puing-puing Tuhan”
Jarum waktu menuju penuh gegas, bunda dengan cepat menutup bilik tendanya dengan sepotong kain lusuh. Sebab rumah telah menjadi serpihan puing-puing. Ia hanya tinggal dengan seorang putri kecilnya yang bernama Yolanda. Sambil menutup tirai, ia menatap keluar bilik tendanya,
“Itu sedang shooting film kaya di TV itu ya, bun?” gadis kecil itu bertanya pada bundanya.
Bundanya tidak menjawab dan malah ikut membayangkan bahwa puing-puing bangunan yang berserakan itu bukanlah hal nyata dan pohon-pohon yang berjatuhan itu hanyalah imajinasi. Sang bunda seperti terhenyak dari lamunannya ketika disadarinya bahwa langit terlampau kelabu mengirim pilunya suara tangisan lautan manusia.
Yolanda, gadis kecil itu, ataupun bundanya memang belum pernah melihat serakan puing-puing bangunan secara langsung, kecuali dari film-film aksi yang sering mereka tonton di televisi.
***
“Itu puing-puing Tuhan,” balas sang bunda tiba-tiba, setelah beberapa lama.
“Puing-puing Tuhan?”
“Iya, puing-puing Tuhan.”
“Bunda bohong, katanya puing-puing itu hanya ada di film-film.”
“Kalau begitu mengapa kau bertanya, ‘itu sedang shooting film kaya di TV itu ya, bun?’”
“Soalnya memang seperti film yang ada di TV, bun”
“Tapi, tetap saja itu puing-puing asli, bukan seperti di TV.”
“Apakah itu benar puing-puing Tuhan?”
“Iya, itu puing-puing Tuhan.”
“Mengapa Tuhan membuat kita menangis dengan puing-puing yang Dia berikan, bun?”
“Tuhan mau kita belajar dan selalu mengingatNya, anakku?”
Keduanya terdiam, memicing, menatap langit yang mulai mengucurkan keringat-keringat kecil. Sudah beberapa hari orang-orang tinggal di tenda-tenda pengungsian yang dibangun dadakan oleh para relawan berbagai daerah. Orang- orang tinggal di satu tenda yang sama. Sempit dan berdesak-desakkan seperti di tempat pelelangan ikan.
Orang-orang begitu riuh dengan percakapan-percakapan, dengan keluhan-keluhan. Sementara, bayi-bayi begitu gaduh dengan rengekan-rengekan. Dan, perempuan itu memilih menunggu kedatangan suaminya, dengan duduk di teras paling tepi, dengan putrinya yang baru kelas 4 SD, yang begitu suka bertanya macam-macam, seperti mesin penanya.
***
“Mengapa kita memakai ini?” Yolan bertanya lagi.
“Itu masker,” jawab bundanya datar.
“Masker?”
“Iya, supaya kita tidak sesak napas karena debu dari puing-puing itu,” timpal bundanya.
Gadis kecil itu terdiam sejenak dan berujar lagi, “Tapi, itu kan puing-puing Tuhan. Kata bunda, Tuhan menyayangi kita. Lalu mengapa debu dari puing-puing Tuhan bisa membuat kita sesak napas?”
Perempuan itu menoleh ke Yolanda, putrinya yang menembakkan matanya tepat ke matanya, memohon jawaban. Mengapa anak-anak kecil selalu melontarkan pertanyaan- pertanyaan yang sulit lagi mencemaskan. Perempuan itu berpaling dan kembali menatap langit yang terlampau kelabu. Kepala cemasnya berusaha menemukan jawaban.
“Tuhan menyayangi kita, karena itu Dia menurunkan debu dari puing-puingNya yang bisa membuat kita sesak napas,” jawab sang bunda.
“Puing-puing Tuhan juga jalan-jalan, padahal, kata bu guru, Tuhan suka kebersihan. Ini benar-benar aneh,” kelit Yolanda.
Perempuan itu tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, mengapa pula bocah-bocah kecil zaman sekarang pandai sekali berkomentar layaknya orang dewasa. Apa ia terlalu sering menonton Doraemon dan Mr. Bean?
“Ya, itu tadi, karena Tuhan menyayangi kita,” perempuan itu menjawab juga, “Menyayangi tak berarti memanjakan atau selalu membuatmu senang. Kamu ingat waktu bunda menghukummu tinggal di rumah sendirian karena kamu tak mau pergi ke sekolah?”
Gadis kecil itu mengangguk.
“Itu artinya bunda ingin kamu belajar menjadi lebih baik. Jika bunda terus membiarkanmu malas pergi ke sekolah maka kamu akan ketinggalan pelajaran, kalau kamu ketinggalan pelajaran maka kamu akan rugi, dan kamu tidak akan naik kelas. Bunda tak mau kamu rugi, apalagi tidak naik kelas. Makanya bunda melakukan itu dan itu karena bunda menyangimu.”
***
Gadis itu terlongok menatap bundanya sebentar dan kembali menekuni langit kelabu di kejauhan. “Jadi, Tuhan menghukum kita?” tanyanya kemudian.
“Tuhan hanya ingin kita belajar,” jawab bundanya singkat.
Mereka terdiam agak lama. Gadis kecil itu menggambar matahari cemberut di atas lantai teras yang diselimuti debu-debu tipis akibat reruntuhan gedung-gedung dengan jemari mungilnya.
“Mengapa kita harus tidur di sini beramai-ramai dengan orang lain?” tiba-tiba gadis kecil itu bertanya lagi.
“Kampung kita tidak aman, rumah kita sudah tidak ada, makanya, untuk sementara waktu kita harus tinggal di sini,” jawab bundanya.
“Tapi, mengapa sekarang Ayah masih di sana? Bukankah itu tidak aman?”
“Ayahmu sedang mencari kakakmu agar bisa berkumpul bersama kita di sini”
“Apa ayah akan kembali ke sini bersama kita?”
“Pasti.”
“Kapan?”
“Segera. Kalau semuanya sudah aman dan kakakmu telah bersamanya.”
“Kalau ayah tidak datang juga bagaimana?”
***
“Mmm… mungkin bunda harus menjemputnya.” Gadis kecil itu terdiam dan mendadak murung. Ia menghapus gambar matahari cemberut di atas lantai yang berdebu itu dan menggantinya dengan gambar matahari menangis.
Sejatinya, perempuan itu begitu cemas menunggu suaminya kembali. Sudah sejak awal kejadian suaminya tidak ditemukan bersama anak sulungnya. Dan sampai sekarang ia begitu mencemaskan suami dan anak sulungnya.
“Apa kamu janji tidak akan nakal kalau nanti kamu bunda tinggal sebentar balik ke rumah untuk menjemput ayah dan kakakmu?” silih perempuan bertanya.
“Mengapa aku tidak boleh ikut?” gadis kecil itu balik bertanya dengan nada murung.
“Bukankah sudah ibu bilang, di sana tidak aman. Kalau tidak untuk menjemput ayahmu, bunda juga tidak akan balik ke rumah.” Gadis kecil itu tertunduk, kini ia menghapus gambar matahari menangis dan silih menggambar bintang, bintang yang menangis.
“Bunda hanya sebentar, bunda janji, sebelum langit gelap, bunda sudah kembali ke sini bersama ayah dan kakakmu.” Gadis kecil itu melongok ke bundanya dan mengangguk berat.
Setelah beberapa jenak, perempuan itu beranjak dari duduknya dan berbincang lirih dengan salah seorang tetangganya yang juga sama-sama cemas. Beberapa saat kemudian, setelah mengecup kening bocah kecil itu, perempuan itu pergi dengan payung hitam yang dimekarkan di atas kepala, dan perempuan itu pun berjalan menjauh dari tenda pengungsian. Bocah kecil itu terus mengawasi bundanya sampai sosok remang itu hilang ditelan remang yang lebih remang di kejauhan.
***
Selama bundanya pergi, gadis kecil itu hanya terduduk di lantai tenda paling tepi. Ia terus menggambar apa saja di atas lantai terpal yang diselimuti debu-debu tipis itu. Ia tak bisa memikirkan hal lain kecuali ayah, bunda dan kakaknya yang harus berjalan melewati debu-debu yang terus mengucur seperti tak ada habisnya itu. Ia membayangkan tubuh ayah, bunda dan kakaknya yang tertimpa puing-puing Tuhan, atau yang terguyur debu dari puing-puing tersebut.
Jelang petang, gadis kecil itu menjadi sedikit cemas karena ayah, bunda dan kakaknya tak kunjung datang. Ketika petang merembang, gadis kecil itu mulai menangis. Ia terus berdiri di tenda paling tepi dan terus menatap ke depan. Beberapa tetangga dan relawan sudah membujuknya untuk diam dan menunggu bundanya sambil bermain atau tidur-tiduran, tapi tidak berhasil.
Gadis kecil itu terus tergugup di antara keriuhan orang-orang, di antara keluh-kesah, dan rengekan-rengekan balita. Seorang relawan menawarinya semangkuk mie instan, meski ia lapar, ia tetap tak menggubris. Ia masih saja berdiri di tenda paling tepi dan terus menatap ke depan.
***
Di sisi lampu jalan yang pucat, puing-puing bekas bangunan masih tampak berserakan penuh kesedihan. Beberapa pohon terlihat merunduk seperti merajuk. Mendadak, gadis kecil itu membayangkan bahwa ayah, bunda dan kakaknya sangat kelelahan karena debu dari puing-puing itu terus menerus mengguyur mereka, mengguyur rumah-rumah, mengguyur jalan-jalan dan pohon-pohon. Gadis kecil itu membayangkan bahwa ayah, bunda dan kakaknya sudah tertidur pulas berselimutkan puing-puing Tuhan dan meninggalkannya sendirian.
Gadis kecil itu menjadi semakin cemas dan ingin menyusul ayah, bunda dan kakaknya yang tak kunjung datang. Bukankah Tuhan selalu baik pada siapa pun? Apakah puing-puing Tuhan ini mau mengantarku bertemu ayah, bunda dan kakakku, pikirnya.
Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, orang-orang sudah tertidur pulas, beberapa yang lain bergerumbul bermain catur, sisanya yang lain berbincang-bincang rendah di antara keremangan lampu. Tak seorang pun tampak memperdulikannya.
Diam-diam, dengan isakan lirih, gadis kecil itu melangkahkan kakinya ke depan dan terus berjalan, berjalan dan terus ke depan, menembus puing-puing Tuhan.
*Penulis adalah seorang pegiat sastra. Asal Lembor-Manggarai Barat. Tinggal di Ledalero-Maumere.