*Puisi-puisi Carlo Dagur

Surat Awal Januari

 “Siapa aku pada awal tahun ini?”

Pertiwi kembali menggugat,

hingga jangkrik berdengkur dan bamboo berderik

pada hamper temaram senja keladi

Sedang sajak magis tuan Chairil

sibuk bersengketa dengan ego kita

“Aku ingin hidup seribu tahun lagi,”

tapi bukan pada lukamu.

 

Di sini,retak gerak pena

menggores lembar tanda damai

tetapi pupil pertiwi masih dedah risau.

Stempel tebal karat sekarat,

tertempel kumal pada jendela-jendela kaca patri

Makin manis saja rindunya

pada akar rumput yang tenggelam awal tahun ini.

Bahkan rumah besar kita

digagahi lintah berkerah

yang makinsajamendesah

di balik sunyi dan sembunyinya.

Ujung penaku basah kena lumpur

yang juga menyumbat pipa kepalaku.

Aku tersedak karena terdesak kata-kata

Maka kusut di atas kertas

buram tanpa batas,

“Aku adalah jelatang

yang ingin hidup lebih lama lagi,

meski dayung sampanku terancam karam.”

                                                                                                Ledalero, 04/01/2020

 

Homo Deus (I)

Kita adalah maha tuan yang manakala

melakonkan monolog empat babak,

bersabda:

 

“Apa yang ada pada mulutmu,

yang tak habisku pelu kerat hari ini?

Maka,

Giranglah wahai kutilang,

biarkan malammu kian mengerang

memantul riuh pada bilur-bilur kota baru kami

Tegarkan genggammu wahai simpanse,

walau belum habis tarung

dan kisah cinta dengan para gundikmu

Menukiklah wahai elang

walau belum tahu, langitmu

kian kelam abadi

Mengaumlah wahai singa

robohkan istanamu

hingga bilur kami habis dijilat lalat-lalat sialan itu

Dan, bersatulah wahai semut

sebab dunia kita masih panjang

di dalam dada dan kepala kami.”

 

Dan sabda ini gugur ke dasar jubin

seketika terbirit-birit seekor tikus,

menggondol semua kata-kata itu,

menuju bahtera.

Kita pun kembali ke bahtera Nuh

dan bertingkah layaknya nakhoda.

                                                                                             Ledalero, 04/01/2020

 

Homo Deus (II)

 Kata mereka,

kita adalah sekumpulan kepala jelatang

yang diurai dengan kata, tersusun atas angka

dipelintir dengan senyum magis tipis

namun dapat lekas lenyap selesat suara

 

Tanpa sadar,

Kita kian berlaga, berjinjit dan berjingkat,

memaku segala mimpi

pada setiap dinding labirin semesta

Kepala kita mendongak,

“siapa paling tinggi hari ini?”

 

Entahlah,

kita menjadi sekumpulan pengecut

dengan jidat berkerut saat sadar sedang tersesat,

dan seekor anak belatung tampil dengan gagah,

berdiri dengan kepalanya

dan menggantung semesta pada mimpi dan kepalanya

Tanpa paku, tanpa palu, apalagi batu.

Hanya bahu kian meninggi,

diiringi sinis manis:

“mau jadi apa aku hari ini?

Entahlah bukan urusanmu Tuhan.”

                                                                                                Ledalero, 05/01/2020

 

* Penulis adalah mahasiswa tingkat I STFK Ledalero