*)Puisi-puisi Rikard Diku
Di Bandara
1/
di bandara, orang-orang merayakan temu dan menangisi pisah
seperti kemarin di bangku ruang tunggu itu.
kini aku masih bisa mendengar percakapan-percakapan kecil
bahkan masih mencium wangi tubuhmu yang melekat di bangku tunggu yang bisu.
2/
sebelum meninggalkan Kota Karang bersama wangi cendananya
aku tak berkisah pada siapa, tidak juga kau yang kemarin
pada waktu kesekian duduk di bangku ini sambil menebak teka-teki
tentang cuaca bulan Agustus sedang seorang lain yang jauh darimu berharap
langit tetap biru, sebiru rindu padamu.
3/
di bandara, aku seperti mengingini kemarin
bisa melihat senyummu yang ringkas dan tawamu yang gegas
atau mengabadikan jumpa setelah lama hanya maya yang menggantung tanya
diam-diam ada harap, semoga teka-tekimu kemarin tidak melahirkan hujan hari ini
yang mungkin runtuh dari langit mata.
4/
di bandara, aku dan bayang-bayangmu berpisah tanpa lambaian tangan
untuk kali kesekian aku paham bahwa setiap ada-ku bukan hadirmu ‘kan?
sampai pada suatu hari kuharap ada pesawat yang siap mendarat di hatimu
seperti kemarin, kita berjumpa di suatu yang entah.
(Bandara El Tari Kupang, Agustus 2019)
Pulang
di kening malam paling hening
embun adalah butir-butir doa yang jatuh
dari kelopak matamu
ketika amin masih membasuh bibir-bibir candu
: Rindu
antara aku dan kamu
Ampun.
(Noemeto, 2019)
Membaca Sunyi dari Jendela
Tak ada yang lebih jujur dari daun jendela membahasakan sunyi
dari empat penjuru mata angin :
Timur, awal kau menenun hidup dan melitanikan doa-doa pada bibir pagi yang basah.
Selatan, menghitung tangkai-tangkai waktu yang patah dan ikhlas menerima musim-musim yang penuh dengan genangan hujan dari langit mata.
Utara, ketika pada dingin waktu kau mengingini balutan hangat
berupa selimut puisi dan kuucapkan selamat puasa untuk harapmu yang keras kepala
biar angan adalah setiap ingin yang akan kau perjuangkan.
Barat, adalah amin dari setiap doa-doa yang kau daraskan di setiap musim
adalah akhir dari petualangan tanpa jeda, tempat senja datang lalu pulang
dan kau akan menunggu kapan waktu menjemput.
Di jendela, mata kaca dan mata kata mencatat dengan jujur
bahwa semuanya ada dan menjadi tiada setelah bayang-bayang malam
mengatup kelopak matamu.
(Ledalero, 2019)
*Rikard Diku. Mahasiswa STFK Ledalero. Penyuka sastra. Tinggal di unit Gabriel