Jakarta, Vox NTT-Skandal mega korupsi Jiwasraya dinilai tidak hanya menimbulkan dampak sistemik pada bidang ekonomi, keuangan, dan investasi, tapi juga merambah ke bidang hukum dan politik.
Itu sebabnya, Ketua Fraksi Demokrat MPR RI, Benny K Harman mengatakan, penyelesainya tidak cukup hanya melalui Kejaksaan Agung dan mekanisme Panja, melainkan harus melalui Pansus.
Pansus merupakan alat kelengkapan DPR untuk menyelidiki, mengapa pemerintah tidak menjalankan perintah undang-undang atau menjalankan secara salah perintah UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan usaha Milik Negara (BUMN), UU No 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan beberapa kebijakan pemerintah lainnya.
Beberapa alasan mengapa harus melakukan penyelidikan menurut BKH ialah:
Pertama, melalui Pansus hak angket, DPR dapat mengetahui sejauh mana pemerintah melaksanakan peraturan perundangan yang berlaku, utamanya terkait pengelolaan Jiwasraya. Apakah ada indikasi pelanggaran peraturan perundangan, baik yang bersifat pidana maupun perdata.
Selain itu melalui Pansus hak angket, DPR bisa melakukan evaluasi dan mempertanyakan kinerja pemerintah apakah sudah sesuai undang-undang atau tidak.
Kedua, melalui Pansus hak angket, DPR dapat mengurai secara transparan komplikasi yang membelit Jiwasraya, termasuk adanya kemungkinan terjadi konspirasi antara para Direktur Keuangan, Otoritas Keuangan, dan Pihak Istana.
Melalui Pansus hak angket tersebut, DPR dapat menyelidiki ke mana saja aliran dana Jiwasraya mengalir. Apakah pembobolan uang Jiwasraya dilakukan demi kepentingan politik, terutama untuk memenangkan kandidat tertentu dalam Pilpres tahun 2019? Hanya dalam dan melalui Pansus, dugaan-dugaan seperti ini bisa diluruskan.
Ketiga, Pansus hak Angket dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kerugian negara yang ditimbulkan oleh Jiwasraya dan sejumlah kemungkinan penyelamatan uang negara bisa dilakukan.
Keempat, melalui Pansus hak Angket, DPR dapat mengetahui detail penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum berikut pihak-pihak yang di duga bertanggung jawab.
Kelima, Pansus hak angket memungkinkan DPR untuk mengetahui apakah ada faktor kesengajaan menempatkan dana investasi ke perusahan-perusahan yang tata kelolanya kurang baik.
Materi yang Menjadi Obyek Penyelidikan Kasus Jiwasraya
Berikut undang-undang dan kebijakan pemerintah yang diduga dilanggar oleh pemerintah:
Pertama, pemerintah diduga melanggar Pasal 1 ayat (5) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa “Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham Negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 1 ayat (5) UU No 19 Tahun 2003 jelas-jelas memberi amanat kepada Kementerian BUMN sebagai yang memegang kuasa pemegang saham. Kementerian BUMN memiliki kewenangan absolut untuk menentukan direktur dan komisaris perusahaan.
Demokrat Dorong DPR Gunakan Hak Angket untuk Mengungkap Skandal Jiwasraya
Pembobolan Jiwasraya itu lolos dari pengawasan komisaris dan Pemegang Saham, Negara. Dalam kaitan dengan Pasal 1 ayat (5) patut diduga kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah adalah pembiaran (error of omission), yaitu adanya unsur kesengajaan untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan.
Pemerintah diduga membiarkan direksinya untuk tidak melaksanakan perintah undang-undang dan melaksanakan secara salah perintah undang-undang. Tindakan tidak melaksanakan undang-undang atau melaksanakan perintah undang-undang secara salah adalah pelanggaran. Patut diduga pemerintah membiarkan Direksi Jiwasraya berinvestasi di saham-saham gorengan.
Kedua, Pemerintah melanggar Pasal 73 (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dalam pasal tersebut dijelaskan fungsi atau peran Pemerintah adalah sebagai regulator untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Dalam kasus Jiwasraya, patut diduga pemerintah tidak menjalankan peran sebagai regulator untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahan yang baik. Untuk kasus membelit Jiwasraya selama puluhan tahun, pemerintah dalam perannya sebagai regulator, seharusnya mengambil kebijakan restrukturisasi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (11) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Yang dimaksudkan dengan restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategi suntuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.
Dalam Pasal 72 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN disebutkan bahwa Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional.
Ketiga, patut diduga pemerintah melanggarPasal 17 UU NO 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Pemerintah ditengarai membiarkan orang-orang tidak professional memimpin Perseroan (Jiwasraya). Pemerintah diduga mempekerjakan orang yang tidak memiliki keahlian dalam bidangnya sehingga perusahaan merugi.
Dalam Pasal 17 (ayat 1) UU NO 40 tahun 2014 tentang Perasuransian disebutkan bahwa, “Perusahaan Perasuransian wajib mempekerjakan tenaga ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya, dalam rangka memastikan penerapan manajemen asuransi yang baik”.
Indikasi ketidakprofesionalan itu ialah pemerintah tidak bisa mengelola dampak keuangan dan risiko yang dihadapi perusahaan, serta membiarkan perusahaan menempatkan dana investasi pada saham-saham gorengan.
Keempat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diduga tidak menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan untuk menjalankan fungsi pengawasan di sektor Perasuransian [lihat fungsi dan wewenang OJK pada Pasal 5 (c) UU No 21 Tahun 2011].
OJK merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam melakukan tugas pengawasan dan pemeriksaan (Pasal 1 UU No No 21 Tahun 2011).
Kesembilan, patut diduga pemerintah tidak memperhatikan atau mengabaikan secara sengaja maupun tidak sengaja Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 46/ SEOJK.05/2017 tentang Pengendalian Fraud, Penerapan Strategi Anti Fraud, dan Laporan Strategi Anti Fraud bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah.
Merujuk pada beberapa hal di atas, maka dapat disimpulkan, ditengarai pelanggaran hukum ini dilakukan secara terencana, terorganisir dan sistemik dengan maksud untuk memeroleh dana triliunan rupiah dari Jiwasraya yang akan digunakan untuk maksud dan tujuan politik kekuasaan. Diduga kuat dana-dana tersebut teralir dalam PILEG dan PILPRES. (VoN)