/ Di Situ Saja
Di sini tak ada yang rela. Di sini tak ada yang berani bersedia lama.
Itulah alasan mengapa Marco Polo keluar dari dalam dan berpetualang ke seluruh dunia. Sedikit menjeda. Tidak lama lagi merana entah ke mana. Dengan siapa tak ada yang nekat menerka.
Pernah menduga, tapi tetap saja buta. Pernah berprasangka, tapi tetap menyangka-nyangka.
Waktu itu tengah malam.
Malam mendiam dan awan mengeras.
Derai hujan menggemuruh di ruang tamu. Dan kita meribut.
Langit menghitam, petir menghantam pohon-pohon di pinggir jalan. Tiang listrik tumbang dan ledakan-ledakan rindu dari dada kita menggema. Tak ada yang berani membaca.
Tiba-tiba semuanya mereda, dan kodok-kodok meribut. Hati kita bersuara, “perjumpaan inj jangan pernah berlalu sekali pun dunia berlalu”. Semoga tanah di kaca jendela mengendap dan mengabulkan doa-doa kita.
Ranting-ranting dan dedaunan kering diterbangkan angin. Kita tak tahu siapa yang salah, angin atau mata kita terlampau egois menyimpulkan secara singkat.
Pikiran kita berserakan di ruang tamu.
Kita tertawa mengandung tangisan. Dan sofa-sofa mendengarkan suara kita sebagai doa.
“Di situ saja, tempat yang suci dan damai bersemi.”
“Di situ saja kita menenun cinta, dan jangan di sini. Di sini sepi _dan mudah disiasati para pencuri hati.”
// Epilog
Gadis itu baru selesai membaca Mishima tulisan Goenawan Mohamad _dan ia tertawa lepas di tapal batas pantai. Ia dan epilog-epilog yang mengambang bimbang di dalam dadanya.
Ia bersimpul dunia ini sesempit yang dipikirkan dan seluas yang didramatisasikan. Selebihnya selebar yang diinginkan dan diciptakannya sendiri.
“Hidup adalah tentang epilog, bukan prolog. Semua orang digorok secara goblok pada epilog. Meskipun prolog ditampik dulu, baru mulai monolog _atau dialog.”
“Mengapa mesti epilog? “tanya kakaknya dari kejauhan.
“Mishima mengecam epilog pada situasi batasnya. Ujung-ujungnya ia harus terbaring, menatap langit-langit, dari tikar yang disepuh musim. Aku juga _dan semoga kau bebas.”
“Mestinya kita tidak melawan serbuan maut! “
“ Sapardi Djoko Damono benar bahwa aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan. Aku hanya mengecam prolog, tapi ternyata itu memang salah _dan berbicara tentang ketololanku sendiri. “
“Namum dalam doa-doamu, kau mohon agar bayang-bayang mendahului langkahmu! “
“Kalau epilog bersinar dari belakang. Kau tahu epilog menyongsong dari depan. Sudah kubilang doa selalu kalah dan salah. Ia selalu datang terlambat setelah kereta pergi! “
Sampai pada akhir larik-larik ini, gadis itu masih menggerutu.
“Jika kita mati, pertanda kita sedang berdiri di gerbang prolog baru.”
/// Tiba-Tiba; Aku?
Entah kapan prolog memulai _dan entah kata apa epilog mengakhiri. Perihal isi tak ada yang pasti dimengerti _dan belum tentu hanya yang mungkin dicari. Tentang peradaban, semuanya serba bukan terkaan, apalagi bergerak di atas sangkaan belaka. Ia mesti selalu disiasati dan menyatukan prolog yang tiba-tiba, isi yang tak pasti dan epilog yang memantik. Tak ada yang lolos dari awasan dan seleksi. Dan kita hidup serba tiba-tiba saja.
Tidak pada saatnya kau berdoa _dan setelahnya memaki Tuhan. Sebentar lagi menasihati orang lain _dan Tuhan tetap dibisukan di balik epifaring. Tidak pada saatnya kau pergi _pulang dari dalam otaknya _dan menyirami racun. Tidak pada saatnya kau berbicara sopan, pelan dan huru-hara. Termasuk tidak pada saatnya kau menangis kepergiannya dan kepulanganmu dari bayang-bayang yang lompat-lompat. Begitu juga bilamana kau tertawa melihat yang yatim piatu dan yang cacat berkeliaran di pinggiran jalan. Kau mulai membaca dan menulis tak ada yang bisa menerka. Seperti kau buat diri dan promosi diri. Tiba-tiba saja kau begitu.
Kemarin: entah kapan tepatnya dimulai sudah mencintai wilayah ini. Esok: entah siapa dan kata apa yang mengakhirinya dengan sedikit berbau permulaan.
*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere. Penyuka sastra dan penyair lepas.