Oleh: Ichan Pryatno
Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Sejak otoritarianisme Orde Baru runtuh berkat reformasi suci yang digalakan para mahasiswa pada tahun 1998, Indonesia akhirnya memasuki suatu lanskap politik baru.
Sejak reformasi tersebut, nuansa demokrasi begitu mewarna dan kebebasan PERS begitu tampak. Sementara itu, hak individual untuk berbicara, berserikat, dan berkumpul pun terjawab.
Selain dari pada itu, euforia reformasi juga ditandai dengan pluralitas keberadaan partai politik. Kemunculan banyak partai politik pada era reformasi ini ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah interregnum B.J. Habibie untuk menerapkan kembali sistem multi-partai (Elfriza, 2019).
Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, aneka partai dengan corak ideologisnya pun kian bermunculan. Pada awal reformasi jumlah parpol yang didirikan mencapai 184 partai dan 141 di antaranya memperoleh pengesahan sebagai badan hukum. Dari jumlah tersebut, yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu 1999 hanya 48 parpol.
Sementara itu, pada pemilu 2004 jumlah partai yang dibentuk mencapai 200 partai dan yang layak mengikuti pemilu kala itu hanya 50 parpol (Lili Romli, 2011).
Jika disimak secara mantap, sistem multi-partai yang diterapkan semasa reformasi dapat dirayakan sebagai sebuah kemenangan demokrasi. Pasalnya, penerapan sistem multi-partai tersebut menunjukan sinyalemen kebebasan dalam demokrasi. Sistem multi-partai yang diterapkan memungkinkan akomodasi gagasan, visi, misi, maupun interese rakyat.
Selain itu, penerapan sistem multi-partai yang dimaksud turut mendukung sosialisasi dan formasi politik (political–formation) serta memungkinkan adanya kaderisasi bagi para anggotanya. Dengan itu, harapan untuk menciptakan aktor politik yang bermutu dapat digapai.
Meski demikian, kemunculan partai politik yang beragam semasa reformasi turut menimbulkan keresahan publik yang luar biasa. Dalam perkembangan selanjutnya, kepercayaan publik terhadap kualitas partai politik kian kolaps.
Dari hasil survei Charta-Politika pada 2018 lalu, misalnya, tingkat kepercayaan publik pada partai politik hanya mencapai 32,5 %. Rendahnya kepercayaan ini didasarkan pada kerja parpol yang nirefektif dan ramainya keterlibatan aktor parpol dalam pusaran korupsi.
Keterlibatan kader partai politik dalam pusaran korupsi untuk beberapa waktu belakangan ini cukup nampak. Beberapa diantarnya: Muhammad Nazaruddin dan Anas Urbaningrum (kader Partai Demokrat), Luthfi Ishaaq (Presiden PKS), Setya Novanto (Ketua Umum Partai Golkar), Romahurmuziy (Ketua Umum PPP), dan lain sebagainya (tirto.com, diakses pada 23 Januari 2020).
Untuk konteks mutakhir, kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik tampak dalam perkara suap yang melibatkan Wahyu Setiawan, mantan Komisioner KPU, dan Harun Masiku. Meski masih dalam tatataran investigatif, tetapi yang pasti kasus tersebut sudah menemui beberapa titik terang.
Disinyalir Harun Masiku, Politisi PDI-P, melakukan transaksi dengan memberikan sejumlah uang kepada Wahyu Setiawan. Suap tersebut bertujuan agar Wahyu mengamankan kursi DPR untuk Harun Masiku, caleg PDI-P dapil Sumatera Selatan I (bdk. Kompas, 12 Januari 2020).
Bahwasannya keterlibatan sejumlah kader partai dalam eskalasi persoalan korupsi dalam kurun waktu terakhir sungguh merisaukan publik. Itu karena kader partai yang diyakini punya integritas dan kapasitas berpolitik mumpuni ternyata terlibat dalam skandal korupsi.
Selain itu, keterlibatan demikian menunjukan rontoknya signifikansi partai sebagai organisasi politik yang mengafirmasi keberadaan demokrasi. Sebagaimana Miriam Budiardjo, keberadaan partai politik dalam sebuah ranah demokrasi disadari sangat penting. Itu karena disamping sebagai sarana komunikasi, rekrutmen politik, dan pengaturan konflik (conflict management), keberadaan partai politik turut berperan sebagai ladang sosialisasi politik.
Fungsi ini terlihat dalam geliat mendidik anggota-anggota menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional (Budiardjo, 2018: 408).
Namun, sangat disayangkan signifikansi demikian justru runtuh akibat merangkaknya faktum keterlibatan para kader partai dalam kasus korupsi belakangan ini. Masifnya korupsi yang dibidani anak partai menggambarkan nirsignifikansi partai sebagai ‘rumah politik’ yang mendidik anggota-anggotanya menjadi insan yang bertanggung jawab dan berintegritas.
Dengan kata lain, partai-partai politik kini gagal mencetak ‘kader politik’ yang beradab. Sebab sudah terbukti, kader yang dihasilkan justru menjadi aktor utama dalam beragam kasus korupsi belakangan ini.
Malahan juga intensifikasi keterlibatan para kader partai dalam kasus korupsi belakangan tersebut menunjukan kesejatian partai sebagai agen afirmasi demokrasi menjadi runtuh. Yang terjadi, partai justru menjadi agen yang memenjara demokrasi, dengan jalan memerankan kader partai yang tak berkualitas. Kader partai-partai yang dihasilkan sudah barang-tentu bergeliat ‘membonsai’ kepentingan publik sambil melakukan korupsi besar-besaran.
Partai dan Penetrasi Oligarki
Sebagaimana dijelaskan Jeffry Winters dalam karyanya Oligarchy, lengsernya Soeharto berkat pergolakan mahasiswa pada tahun 1998 justru membawa konsekuensi ganda. Selain mengantar Indonesia pada nuansa negara yang lebih demokratis, dengan dilengsernya Soeharto, Indonesia justru turut dirongrong perkara oligarki bercorak kolektif tak jinak (Winters, 2011:266). Para konstituen oligarki kolektif tak jinak adalah para kroni Soeharto yang semasa orde baru turut terlibat dalam pelbagai pelbagai mal-praktik politik semasa itu.
Sebagaimana oligarki pada umumnya, tipikal oligarki kolektif tak jinak turut mengarah pada politik pertahanan kekayaan. Politik pertahanan kekayaan itu dilakukan dengan mengamankan klaim hak milik dan menjaga sebanyak mungkin sumber akumulasi kekayaan.
Karena itu, untuk menjaga sumber akumulasi kekayaan itu, para oligark justru membajak habis demokrasi semasa reformasi. Para oligark terjun ke dalam lingkaran instansi dan partai politik tertentu untuk menjadikan itu sebagai ladang kepentingan mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya, penetrasi oligarki dalam tubuh partai politik justru membawa konsekuensi serius. Keterlibatan mereka membuat partai politik justru enggan menampilkan kesejatiannya sebagai agen afirmasi demokrasi. Akibat kehadiran para oligark, partai kini lalai menunjukan signifikansinya sebagai organisasi politik yang mendidik anggota-anggotanya menjadi insan yang berintegritas.
Partai kini gagal mencetak kader-kader beradab, sebab eksistensinya digenggam para oligark. Karena itu menurut penulis, kegagalan partai dalam dalam mencetak kader-kader beradab, pertama-tama karena partai sudah diringkus sebagai ladang kepentingan para oligark.
Para oligark yang menguasai partai cenderung menjadikan partainya sebagai ladang akumulasi kekayaan. Integritas para calon sama sekali tidak diperhatikan, yang penting para kader bekerja demi mengafirmasi kekayaan partai. Kualitas sikap para kader tidak dibentuk. Malahan mereka sepertinya diarahkan untuk melakukan korupsi demi akumulasi kepentingan partai.
Geliat mengarahkan anak partai agar bertindak koruptif, dapat dibaca dalam konteks mekanisme pencalonan yang terkesan mahal. Kader yang diusung untuk menjadi kontestan dalam pemilihan diberi syarat agar memiliki kekuatan finansial yang kuat.
Karenanya, para kader berlomba-lomba mengafirmasi kekuataannya. Niscaya, afirmasi kekuatan finansial ditempuh dengan menjalin kerja-sama dengan pihak kapital atau melakukan korupsi semasa mereka menjabat sebagai anggota legislatif ataupun eksekutif.
Maka dari itu, penelitian Pramono Anung Wibowo benar. Bahwasannya mereka yang menjadi wakil rakyat tidak hanya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi lebih karena ‘motivasi ekonomi’ (bdk. Madung, 2017:149). Itu menjadi pilihan yang pas. Sebab dengan itu, mereka dapat memenuhi akumulasi kepentingan partai yang sudah banyak dibajak kalangan oligarki.
Berkaca pada kenyataan risau yang ditampilkan para kader dan partai politik belakangan ini, penulis menyadari betapa pentingnya kehadiran partai politik progresif dalam kancah demokrasi di Indonesia.
Partai politik progresif merupakan suatu corak partai yang diisi oleh insan-insan yang membawa nuansa politik baru: yang anti-oligarki dan sangat demokratis. Kehadirannya partai ini disadari sangat penting, sebab dia sungguh-sungguh menampilkan kesejatiannya sebagai agen afirmasi demokrasi. Kesejatiannya sebagai agen afirmasi demokrasi terlihat dalam usahanya untuk mencetak kader-kader partai yang berintegritas dan punya idealisme yang sama yakni: ‘mengadabkan demokrasi’.