Oleh: Paul Randjang
Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret
Pembicaraan mengenai intolerasi kembali menghangat belakangan ini. Media lokal pun nasional kelihatan menurunkan informasi mengenai tindakan intoleransi yang terjadi di beberapa daerah di tanah air. Memang berdasarkan catatan Setara Institute, dalam 12 tahun terakhir terdapat 600 kejadian intoleransi yang dilakukan warga (Kompas, 05/02/2020).
Dalam kaitan ini, ormas keagamaan sering kali tampil sebagai aktor non-negara yang melakukan 249 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Sementara negara yang didominasi oleh kepolisian tercatat melakukan tindakan intoleransi sebanyak 480 tindakan dan Pemda dengan 383 tindakan (Kompas, 16/12/2019).
Setali tiga uang dengan data di atas, Alamsyah M. Dja’far dalam bukunya (In)Toleransi: Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama (2018: 13-14) menjelaskan, bahwa wajah buram penegakan jaminan kemerdekaan beragama di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir terus menjadi ancaman.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama 2013 The Wahid Institute menyebut sepanjang Januari-Desember 2013 terdapat 245 kasus atau peristiwa dengan 278 tindakan. Dari intimidasi, penyesatan, pelarangan, hingga serangan fisik.
Tahun 2012, khususnya kasus pelanggaran ada 278 dengan 363 tindakan. Tiga tahun sebelumnya masing-masing peristiwa pelanggaran sebanyak 121 (2009), 184 (2010), dan 267 (2011).
Jika dicermati, deretan data di atas memperlihatkan kondisi negara Indonesia yang begitu lama ditawan skandal intolerasi berkepanjangan. Kalau ditanya mengapa intoleransi terus terjadi? Barangkali kita boleh menunjukkan tujuh faktor yang melatarinya (Dja’far, 2018).
Pertama, intoleransi muncul tatkala seorang atau sekelompok orang merasa kepentingannya terancam atau ketika mereka merasa akan kehilangan manfaat, kekuasaan dan hak ekslusif,
Kedua, intoleransi merupakan implikasi logis dari menguatnya sikap fanatisme dan dogamtisme, yaitu ‘’’pandangan dan keyakinan saya benar dan selalu benar’’.
Ketiga, Intoleransi disebabkan oleh praktik ‘’politik perut’’. Artinya, demi memperoleh pekerjaan, individu atau kelompok massa dengan mudah menghalalkan beragam cara, termasuk menyebar informasi palsu, bahkan merencanakan ‘’penghapusan’’ terhadap siapa pun yang tak disukai atau tak setuju.
Keempat, Ketika jalan dialog dan keterlibatan konstruktif dibatasi bahkan dimatikan. Hal ini bertautan erat dengan sikap kekecewaan terhadap lembaga-lembaga publik yang kerap dikelola secara ekslusif. Pada titik ekstrim, hal ini memicu kekerasan, dari pelampiasan rasa frustasi dan kemarahan.
Kelima, hasil dari pengabaian warga dan aktor politik tentang aturan demokrasi. Dalam banyak kasus misalnya, lebih sering warga kurang memahami aturan yang mendukung demokrasi.
Keenam, intoleransi itu tumbuh dalam lingkungan apapun dimana aturan main demokrasi yang baik tidak ada, tidak didefinisikan dengan jelas, tidak ditegakkan, atau ditegakkan dengan tak adil.
Ketujuh, Intoleransi merupakan hasil dari sikap aktor politik dan individu yang kehilangan daya tarik nasional dan popularitas hingga terpaksa menggunakan kartu ‘’suku atau etnis’’ untuk kelangsungan hidup politik mereka.
Kalau kita mengikuti perkembangan belakangan ini, faktor fanatisme dan keterancaman akan hilangnya manfaat, kekuasaan dan hak ekslusif kelompok mayoritas seakan mendominasi skandal intoleransi di negeri ini. Kita boleh melihat persoalan pembangunan rumah ibadat (Gereja) di Riau. Bahwa sekalipun pemerintah secara resmi menerbitkan IMB, gelombang demonstrasi penolakan tak kunjung usai dilancarkan.
Lewat dalil religius ‘’wilayah Karimun dihuni mayoritas muslim’’, aliansi masyarakat peduli Karimun dan Forum Umat Islam Bersatu seakan memutlakan kepemilikan Karimun ditangan mayoritas. Bukankah sejak awal diakui bahwa Indonesia ‘’bukan negara agama’’ tetapi juga ‘’bukan negara sekuler’’.
Nyatanya, arogansi agama mayoritas yang tampil dengan ‘’dalil-lalil religus’’ makin menggila. Bahkan terjadi semacam mekanisme ideologis dalam pola sinisme Peter Sloterdijk (2001), yakni ‘’mereka mengetahui dengan sangat baik yang mereka lakukan, tetapi tetap, mereka terus melakukannya’’.
Alhasil, hegemoni mayoritas ini seakan menjebol tanggul peradaban Indonesia dan menyeret evolusi sosial mundur ke masa lalu ketika manusia, dalam perspektif Hobbesian dikuasai oleh naluri animalis untuk saling memangsa.
Karena itu, kemewahan toleransi kian tergerus dan martabat manusia yang mengambil bentuk dalam ‘’identitas bersama’’ sebagai satu entitas sosial atas nama etnik, agama, ras, bahasa, ataupun bangsa itu makin dipertanyakan. Sama halnya kita akan terus bertanya, bagaimana alasan-alasan religius dapat diperhitungkan dalam demokrasi deliberatif tanpa melenyapkan toleransi dan tanpa mencedrai hak-hak asasi manusia yang mendasari demokrasi deliberatif ?(Hardiman, 2019).
Politik Toleransi
Pembumian semangat toleransi sebenarnya barusaja disimbolisasi dengan pembangunan terowongan bawah tanah yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta. Namun, bagaimanapun juga konstruksi bangunan toleransi itu tidak semata disokong oleh kemewahan fisik sebuah terowongan.
Kita boleh saja berbangga karena berhasil membangun terowongan sepanjang puluhan bahkan sampai ratusan meter, namun kalau penghargaan terhadap minoritas diabaikan, barangkali kita sedang bermimpi.
Kita mungkin berhasil mendirikan beragam ‘’simbol’’ kerukunan di negeri ini, namun kita gagal mendirikan bangunan berpikir yang pluralis dan toleran terhadap minoritas.
Ada bahaya, simbol-simbol tersebut sekadar memanipulasi rasionalitas publik atau dalam terang pemikiran Pierre Bourdieu bahwa simbol berdaya sihir/magical power yang berjalan dalam logika ‘’kesalahpengenalan’’ oleh pihak yang terdominasi (Haryanto, 2014).
Lebih jauh, sekalipun konstitusi Indonesia menjamin kemerdekaan beribadat, dalil-lalil religius kerap kali mendepak minoritas hingga tersungkur di hadapan kaki mayoritas. Hal ini mungkin akan berlanjut sebab dominasi agama mayoritas tak pernah usai mempertontonkan narsistas teologis di ruang publik.
Berbekal kosmetik teologisnya, agama mayoritas akan sering mampir ke kantor-kantor pemerintahan, ke pasar, jalan hingga ruang ibadah. Boleh jadi, dalil mayoritas mengutamakan prinsip mors tua vita mea (Kematianmu kehidupanku).
Karena itu, upaya membumikan toleransi terlalu sering tak sejalan dengan fitrahnya sebagai upaya sadar menggalang kebaikan bersama, justru keberagaman di bumi indonesia lebih sering memamerkan kegaduhan sosial yang mengoyak kebersamaan; mengoyak imajineri kolektif bersama sebagai sebuah bangsa.
Pada titik ini, Indonesia butuh politik toleransi. Politik toleransi menurut Dja’far (2018) dimaksudkan sebagai kesediaan mengakui dan mempeluas hak-hak dasar dan kebebasan sipil terhadap orang-orang dan kelompok-kelompok yang berbeda dari sudut pandang kita sendiri.
Selain itu, politik toleransi mengandaikan adanya pengakuan terhadap bentuk ekspresi keyakinan mereka yang berbeda; kekuasaan mayoritas juga harus menghormati hak-hak individu atau kelompok minoritas. Tanpa perlindungan dan penghormatan itu, demokrasi bisa beresiko jatuh menjadi tirani mayoritas. Politik toleransi ini penting, sebab: Pertama, toleransi membantu menjaga masyarakat bersama-sama, bahkan dalam menghadapi konflik yang intens. Toleransi dalam kaitan ini menjadi kekuatan utama demokrasi karena masyarakat tidak benar-benar homogen.
Kedua, toleransi merupakan bagian dari hak-hak sipil di mana individu-individu mendapat harapan dalam demokrasi. Individu atau kelompok seyogianya menjalani kehidupannya tanpa mengindap ketakutan terhadap dominasi mayoritas.
Atas dasar itu pemerintah (pemda) tidak boleh bersikap lembek di hadapan mayoritas yang kerap menawan daerah-daerah tertentu agar pembuatan atura-aturan didasarkan pada agamanya. Ironisnya, pemda kadang bersikap apatis. Di dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat sebenarnya telah diatur kewenangan pemda memfasilitasi rumah ibadat sementara bagi umat beragama yang belum bisa mendirikan rumah ibadat.
Selain itu, ada pula jaminan dari pemda sendiri mengenai kelancaran perizinan rumah ibadat sehingga umat beragama dapat menjalankan ibadahnya.
Karena itu, pemerintah mesti pastikan bahwa di wilayah struktural tidak ada lagi sejumlah regulasi dan kebijakan pemerintah yang berpotensi melahirkan tindakan diskriminatif seperti: UU Haji, UU Zakat, RUU RUU Jaminan Produk Halal (JPH), RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB), dan RUU Ormas.
Alasannya jelas, karena bagaimana pun juga prinsip pembuatan undang-undang tidak hanya mengikat satu kelompok (Mayoritas) tertentu, tetapi berlaku umum untuk seluruh warga negara (Wahihuddin Adams, 2010: 3-4).
De facto, tugas ini merupakan sine qua non (baca: tak terelakan/wajib) yang mutlak diperjuangkan. Sebab, yang diperjuangkan ialah penghormatan martabat yang oleh Francis Fukuyuma dalam bukunya yang berjudul Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentmen (2018) bahwa martabat adalah esensi ontologis manusia yang menuntut adanya pengakuan (sosial), teristimewa pengakuan terhadap eksistensi minoritas.