Oleh: Sonny Kelen*
Bila aku menatapmu ibu, aku tersesat di sebuah sumur tua yang tak lagi subur. Tanpa air dan segala endapan-endapan kenangan yang menjelma menjadi pijakan. Dasar yang dingin dan lembab. Aku juga terperangkap pada jaringan laba-laba. Puas kawin, lalu membunuh jantannya. Hanya demi pewaris darah, lalu pula mengorbankan diri dengan membunuh darah dagingnya sendiri. Seperti itu yang aku alami ibu. Mungkin aku tidak pantas berpikiran seperti itu. Namun kenyataan yang memaksaku untuk berpikir seperti itu tentang dirimu. Perempuan yang aku kenal sebagai ibuku sendiri, tetapi bertingkah bukan seperti ibuku. Ibu kandungku.
Sesungguhnya aku mengetahui peta wajahmu ibu. Ada sebuah rumah kecil dengan bunga yang kau namai sebagai Sorga tempat pulang dari sebuah kepergian. Selain itu ada sebuah hutan kecil yang berpenghuni peri, malaikat serta perempuan-perempuan penenun yang kau sebut sebagai pelayan sinagoga waktu engkau mempersembahkanku di depan altar Tuhan.
Ibu, saat musim dingin tiba, rerumputan di hutan akan beku oleh dinginnya nyawa cuaca hingga bila kupijakkan kaki yang polos tanpa ada alas rumput-rumput yang pecah berkeping-keping. Kadang kepalaku lupa tertusuk pedang namun luka ditumitku perlahan menipis dan halus dengan sakit yang pedih.
Aku begitu mengetahui medan peta di wajahmu, ibu. Wajah yang polos bersolek di depan cermin lalu tak lupa kau berikan senyum manismu kepada cermin itu, karena dia memberikan kecantikan yang kau sukai. Tapi aku ibu, tak sedikit waktupun bahkan detik yang engkau berikan untuk menatap matamu yang sangat aku rindukan. Engkau menumpahkan cairan coklat senada di- ujung telunjuk lalu meratakannya di kulit muka. Jari-jemarimu yang melakukannya, dan mereka jadi hidup. Sedangkan aku, engkau biarkan ditempat tidur tanpa di perhatikan sedikitpun. Mengapa engkau melakukannya kepadaku ibu? Bukankah aku ini anakmu, buah cintaan pada malam pertama dari cinta yang bersemi pada bangku kuliahmu dulu dengan seorang laki-laki yang aku kenal sebagai ayah sekarang? Jujur ibu, bukan kekecewaan yang hidup dalam diriku tetapi kerinduan yang paling putih untuk mengenal peta diwajahmu lebih jauh lagi.
***
Pagi yang getas seger kabur setelah mentari berhasil ia tetas. Di atas, biru langit mencelang. Tanpa awan. Dea duduk di bawah beringin, memandangi rumah yang sekian lama menjadi tempat dia menenun sepi. Tanpa kata. Hanya ada bayangan hitam yang berbaring tenang, setenang matanya yang sayup. Yang menarik adalah Dea selalu diperlakukan baik oleh neneknya, yang sudah tua itu. Bagi Dea kasih sayang seorang nenek jauh lebih mulia dibandingkan dengan perempuan yang dia kenal sebagai ibu itu. Ibu kandungnya.
Pada senja yang limbung, matahari linglung akan jatuh, Dea dibaringkan dalam kekhawatiran yang pilu. Dea akan menghadapi tingkah ibunya yang selalu marah tanpa sebab. Dea seperti seorang musuh berat untuk ibunya. Kadang Dea bertanya mengapa aku, kau perlakukan seperti seorang musuh dalam hidupmu, ibu? Namun Dea tetap kuat karena dia yakin disuatu kesempatan semua penderitaanya akan berakhir. Lebih dari itu, karena Dea lahir sebagai seorang perempuan.
“Ibu, engkau sendiri tahu aku tak pernah bisa hidup tanpamu. Aku selalu tak kuat melewatkan malam-malam yang sepi tanpa dirimu. Dan belajarlah untuk tidak memaksaku supaya mencintai jarak.”
Pernah Dea mengungkapkan kekecewaannya yang selama ini dia tampung ketika suatu siang dia melihat ibunya memintal benang. Ibunya hanya diam lalu berdiri dan pergi begitu saja. Dan ini yang kesekian kalinya Dea berkata seperti itu. Tapi Dea tidak pernah mendapat jawaban dari ibunya.. Dan tak seorangpun yang peduli dengan keadaannya.
Dea terdiam sementara hujan sudah berhenti menjatuhkan dirinya. Dea masih duduk dengan tatapan kosong pada sebuah harapan. Kegelisahan di hatinya meninggi. Namun tidak ada yang paham dengan apa yang diinginkannya saat ini. Harapan satu-satunya sekarang adalah nenek. Ya. Nenek. Seorang wanita tua yang tak mau melihat cucunya sedih. Maka tidak mengherankan, kadang Dea menganggap neneknya sebagai ibunya sendiri, karena selalu memberikan perhatian yang penuh. Menyiapkan sarapan untuk Dea sampai menjempunya di sekolah.
***
“Sudah lama di sini?” ibunya bertanya. Dea mengangguk. Hanya itu satu-satunya gestikulasi yang mampu dihasilakan Dea. Bibirnya seakan ditinggalkan kata-kata. Dea membisu.
“Kau lihat semuanya?” sekali lagi ibunya bertanya.
Tidak ada jawaban dari Dea. Dea tahu, menjawab pertanyaan itu sama seperti mencungkil lagi luka di hatinya. Maka hanya ada kebisuan yang tersisa. Entah kapan ibunya sepakat untuk suka pada kesepian. Laki-laki yang barusan keluar dan dahinya basah oleh keringat dan pakaiannya sedikit berantakan, bahkan beberapa kancing di kemejanya belum terpasang. Dadanya terlihat jelas membuat Dea sadar bahwa ibunya telah melakukan ‘sesuatu’ dengan laki-laki itu. Tak bedanya dengan laki-laki tadi, rambut ibunya pun berantakan. Ada beberapa noda merah di lehernya seperti bekas gigitan. Hati Dea terasa amat sakit. Sakit sekali. Namun Dea takluk pada mata ibunya. Mata yang selalu melemahkan Dea, sebab sejak awal Dea benar-benar menemukan cinta di dalam mata ibunya itu. Juga seperti saat ini, cinta itu belum hilang dari matanya.
“Jangan beritahukan kepada ayahmu tentang hal ini” pinta ibunya. Dea mengangguk lagi.
“Kau paham.” Sambung ibunya. Mata ibunya menatap amat tajam namun Dea berusaha menghindarinya. Setelah sekian lama bertahan dengan keadaan seperti ini, kini Dea merasa sungguh lelah. Rasa sakit dan kecewa menghantuinya. Namun Dea sadar, dia sungguh mencintai ibunya. Dea tidak mau kehilangan ibunya, walaupun sering ibunya tidak memberikan perhatian kepada dia layaknya seorang ibu.
Sejak kejadian itu, hubungan Dea dengan ibunya seperti menciptakan jarak. Tidak hanya itu, ada kepalsuan yang terjadi. Ibunya berlaku baik terhadap Dea di depan ayahnya. Dea sungguh merasakan hal itu. Namun ketika ayahnya keluar rumah suasana kembali seperti semula.
Maka pada suatu saat yang entah, di tempat yang entah, dan dengan cara yang entah, Dea menyetubuhi bayangannya sendiri, bayangan yang entah bagaimana caranya lahir dari kesendiriannya yang tunggal. Mungkin dilahirkan oleh kecemasan akan kesendirian. Atau mungkin muncul dari keinginannya untuk memiliki pendapingan. Ya. Keinginan memang sering mampu melahirkan banyak hal, bukan? Dan Dea berhasil membunuh kesendiriannya. Hujan jatuh dengan beberapa irama yang sama, hanya Dea membiarkan dirinya luruh dari genggaman ibunya. Dea terpaksa tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. Baginya hal itu merupakan salah satu dari sekian banyak cara untuk tetap menyatuh dengan ibunya. Singkatnya Dea tidak mau kalau ibu dan ayahnya berpisah.
“Anak ayah kok, dari tadi diam terus? Dea sakit?” Tanya ayahnya penuh perhatian.
“Dea baik-baik saja, ayah.” jawabnya singkat. Sedangkan ibunya hanya menatap Dea penuh perhatian. Jauh semuanya itu, tatapan ibunya seperti sebuah kenyakinan yang menyakinkan bahwa dia sunguh-sungguh memperhatikan anaknya itu. Seketika itu juga air mata yang Dea berusaha bendung sedari tadi luruh di pipinya. Dadanya terasa semakin sesak. Dea memeluk ayahnya begitu erat. Air matanya gugur juga di kening ayahnya yang tidak mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Dea sekarang. Dea terus menangis dan mengingat apa yang telah dilakukan oleh ibunya kepada dia selama ini. Ayahnya hanya memeluk Dea dalam keadaan yang penuh kebingungan.
“Dea mengapa menangis?” Tanya ayahnya lagi. Dea tidak memberikan jawaban. Dea merasa dirinya seperti petualangan yang kehilangan arah untuk berjalan. Maka sekali lagi, kesendirian adalah dirinya yang utuh. Dan ingatan kembali menjelma belati yang melukai. Sedangkan neneknya hanya menyaksikan kejadian itu hanya diam.
Sesekali air matanya jatuh tanpa permisi karena dia tahu betul apa yang sedang dialami oleh cucunya itu. Kadang muncul sebuah kebencian dari dalam dirinya terhadap menantunya itu. Tapi apalah arti mertua menjadi jarum penusuk dalam kehidupan rumah tangga anaknya, ayah dari Dea sendiri. Dia sadar bahwa apa yang sedang dialami oleh Dea sekarang suatu waktu, entah kapan akan menjadi sebuah penyesalan dalam rumah ini saat Dea tidak ada.
***
Suasana makan malam terasa amat menyenangkan. Dea sibuk sekali bertanya kepada ayahnya berkaitan liburan akhir tahun. Baru kali ini Dea sebahagia itu. Banyak tawaran tempat liburan yang diusulkan oleh ayahnya. Namun bagi Dea semuanya itu akan menjadi liburan yang membahagiakan kalau ibunya ikut bersama-sama dengan Dea.
“Menurut Dea, tempat mana yang paling bagus untuk liburan kita nanti?” Tanya ayahnya.
“Kita ke Bali saja, ayah.” Jawabnya singkat. Ayahnya hanya tersenyum. Dea tahu bahwa ibunya tidak suka dengan kegiatan seperti itu. Tapi Dea sudah terbiasa dengan sikap ibunya seperti itu. Berkali-kali.
“Sebelum ayah lupa, besok ayah ke luar kota. Ada urusan kantor yang harus ayah kerjakan. Kemungkinan besar bulan depan baru ayah pulang.” Dea terhentak kaget, dan tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh ayahnya. Saat itu muncul ketakutan yang mendalam dalam dirinya. Dia seperti anak kecil yang belajar membaca. Dia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi selama ayahnya tidak ada di rumah.
Tiba-tiba muncul sosok laki-laki yang tidak dia kenal itu bersama ibunya. Sedangkan pada bibir ibunya tergambar sebuah senyuman yang menandakan bahwa ibunya senang sekali dengan apa yang barusan dikatakan oleh ayahnya tadi.
“Dea di rumah dengan ibu dan nenek ya.” Kata ayahnya sambil memberikan kecupan pada Dea. Dea tidak tahu lagi harus mengatakan apa kepada ayahnya.
“Jangan nakal. Ingat belajar dan jaga kesehatanmu baik-baik.” Tambah ayahnya.
***
“Ingat pesan ayah kemarin, nak. Ayah pergi bukan atas nama kesenangan semata, tapi demi hidup dan masa depanmu.” Kata ayahnya sambil memberikan senyum kepada Dea sebelum dia masuk ke dalam mobil. Dea ingin menangis. Tapi dia tidak mau ayahnya pergi dengan sebuah beban.
“Aku pergi dulu. Jaga Dea baik-baik.,” Pesan ayah kepada ibunya.
“Hati-hati di sana, pa.” pinta ibunya.
“Ayah, cepat pulang ya?” Dea memohon.
“Ia, sayang. Ayah segera pulang setelah urusan ayah selesai.”
Di berinya senyum kepada Dea dan istrinya sebelum dia pergi. Setelah ayahnya pergi, tiba-tiba Dea melihat sosok laki-laki yang tidak asing lagi baginya itu datang. Ibunya meraih tangan laki-laki itu dan masuk ke dalam rumah. Dea hanya menyaksikan hal itu. Dea tidak ingin menangis lagi. Baginya menangis hanyalah sebuah kesia-sian, karena hanya memeras air matanya. Ibunya tidak sedikitpun memahami kesedihannya. Dea mencoba berdamai dengan keadaan. Tapi tetap saja. Matanya selalu dibanjiri dengan air mata yang sangat dia benci. Namun apa boleh dikata, situasi memaksanya untuk menangis.
Beberapa jam kemudian, Dea mendengar bunyi mobil ayahnya. Dea kaget mengapa ayahnya pulang. Sebelum ayahnya keluar dari mobil, Dea sudah berdiri jaga didepan pintu. Dea cepat-cepat menghapus air matanya.
“Mengapa ayah pulang?” Tanya Dea.
“Ayah tidak jadi ke luar kota, karena terjadi kerusuan ditempat yang menjadi tujuan ayah pergi.” Jelas ayahnya.
Setelah itu, Dea dan ayahnya masuk ke dalam rumah, didapatinya ibu dan laki-laki tadi sedang duduk di dalam kamar.
“Ayah sudah pulang?” Tanya ibunya.
“Ohhh. Jadi ini alasanya mengapa Dea selalu menangis ketika aku tidak ada di rumah.”
“Ayah, tolong dengarkan penjelasan aku dulu.”
“Cukup Antonia. Jangan berpura-pura seperti itu.”suasana menjadi tegang. Tepatnya sebuah pertengkaran. Ketika itu juga ayahnya keluar dan Dea menangis ikut dari belakang. Diraihnya tangan ayahnya itu.
“Ayah, mau ke mana?” Tanya Dea.
“Maafkan ayah, nak. Ayah harus pergi. Ayah tidak bisa bersama dengan ibu lagi.”
“Jangan tinggalkan Dea. Dea takut.” Dea memohon. Namun permohonan itu tidak membawakan hasil. Ayahnya tetap pergi. Dea hanya menangis. Tidak ada yang mempedulikannya. Kini harapan satu-satunya adalah ibunya. Tapi tetap saja harapan itu pupus, karena ibunya memilih untuk mengikuti laki-laki itu. Semua usaha yang Dea lakukan untuk melarang ibunya supaya jangan pergi, hanyalah sia-sia.
“Ibu, jangan tinggalkan Dea sendiri, bu.”
“Maafkan ibu, nak. Ibu harus pergi. Tidak ada tempat lagi untuk ibu di rumah ini.”
Setelah itu ibunya pergi bersama dengan laki-laki itu. Kini Dea hanya menangis menyaksikan kepergiaan orang-orang yang paling dia sayangi. Suasana menjadi diam. Hujan barusan turun, seakan semesta juga ikut merasakan apa yang sedang dialami oleh Dea sekarang. Ketakutan Dea selama ini menjadi kenyataan. Ayah dan ibunya berpisah. Tidak ada yang diharapkan oleh Dea lagi. Hanya ada sepi dan nuansa menunggu yang tidak pasti didepan rumahnya. Ya. Cara satu-satunya yang dilakukan oleh Dea sekarang adalah menunggu. Singkatnya sebuah penantian.
***
16 tahun kemudian.
Di beranda rumah suatu sore ditemani secangkir teh, Antonia duduk menyulam kenangan tentang putrinya yang dia tinggalkan beberapa tahun lalu. Dia masih ingat, waktu putrinya menangis memohon kepadanya supaya dia jangan pergi. Ada rindu yang bermekar dalam hatinya. Baru kali ini dia merasa rindu sekali dengan putrinya itu. Ya, Dea. Ada penyesalan yang amat dalam karena tidak sedikit waktu yang dia berikannya untuk Dea ketika mereka masih bersama. Kini dengan hadirnya Ista, putri keduanya dari suaminya Alex, tapi dia masih merasakan kekosongan dalam hidupnya. Tidak ada yang kurang dari hidupnya sekarang. Semuanya serba ada. Tapi dia belum merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dan ketika dia berada dalam situasi seperti itu, selalu saja ada kerinduan dari dalam dirinya terhadap Dea. Akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Dea. Dia berjanji akan memperbaiki kesalahannya yang pernah dia buat terhadap Dea dan memenuhi semua keinginan Dea yang selama ini belum Dea dapat dari seorang ibu. Tepatnya kasih sayang seorang ibu.
Semuanya masih sama. Pelan-pelan dia berjalan masuk ke dalam rumah yang pernah menjadi saksi perjuangan antara hidup dan mati saat melahirkan Dea. Dilihatnya kamar Dea yang masih sama seperti dulu. Ruang tamu dan tempat jahit yang pernah dia gunakan untuk menjahit pakaian-pakain bekas.
Tiba-tiba dia mendengar suara perempuan yang sedang batuk. Dia mengikuti arah suara itu. Ternyata seorang perempuan tua yang pernah dia panggil sebagi ibu mertuanya sedang menapi beras. Ada ketakutan dari dalam dirinya.
“Bu. Bu.” Panggilnya. Perempuan tua itu tidak memberikan jawaban.
“Bu. Bu. Ini aku, Antonia.” Tambahnya. Tiba-tiba perempuan tua itu menangis.
“Mengapa kau kembali, saat Dea tidak ada lagi.”
“Di mana Dea sekarang, bu?” Tanyanya.
“Mungkin, tumpukan tanah itu belum kering Antonia.”
“Apa maksudmu, bu?”
“Ketika kau pergi meninggalkan dia pada tangga itu, Dea tidak pernah bangun dari tangga itu. Baru kemarin Dea bangun dari tempat itu dan memberikan ini untukku supaya aku memberikanny kepadamu.” Perempuan tua itu memeberikan kertas kumal kepada Antonia.
“Dea tetap mencintaimu dan merindukanmu dalam ketiadaannya” sambung perempuan itu. Antonia menerima kertas kumal itu dan membacanya.
“Ibu, di biru langit matamu kutemukan tempat tenang tuk berteduh dalam kesedihanku.
Walau kadang engkau menatapku seperti api membara yang menghanguskan telaga jiwaku yang teduh.
Tapi, tidak ada sedikitpun benci atau dendam tumbuh dihatiku yang tenang.
Aku tahu ibu, engkau sungguh mencintaiku.
Ibu, penantian yang sekian lama aku hidupi, kini aku telah mengakhirinya.
Maafkan aku, ibu kalau aku harus pergi secepat ini.
Supaya engkau tahu bahwa kepergianku merupakan satu-satunya cara agar aku bisa mengenal peta di wajahmu lebih jauh lagi, dan kita bisa bertemu kembali di tempat yang lain, di mana tidak ada lagi air mata yang memenjarakan kita.
Ibu, aku mencintaimu.”
Dea.
Antonia hanya memeluk kertas kumal itu dan menangis. Tidak ada yang dia buat selain menyesal yang disusul dengan air mata.
“Maafkan ibu, nak. Maafkan ibu.” Hanya itu kata-kata yang berhasil dia ucap. Sudah selesai. Selesai sudah. Harapan untuk bertemu dengan Dea berujung dengan duka yang dalam. Sesekali Antonia menguak menyaksikan luka yang dalam tertanam pada foto Dea yang tergantung di ruang tamu.
Dia tidak kuat melihat foto itu. Kini hanya ada sepi dan air mata. Bayangan tentang Dea kembali menghantuinya. Dan sejak saat itu dia tinggal disebuah rumah sakit bersama dengan orang-orang yang memiliki ganguan jiwa. Dia mengenal Dea dalam jelmaan boneka mainan yang sering dia perlakukan sebagai Dea yang terluka.*
*Penulis Sekarang Tinggal di Unit Gabriel Ledalero-Maumere.